TKDN: Buah Simalakama bagi Pengembangan Industri Nasional (Bagian I)

Negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat pada 16–23 April 2025 kembali menempatkan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam sorotan. Dalam forum bilateral di Washington DC, pemerintah AS secara eksplisit mendesak pelonggaran ketentuan TKDN yang dianggap menghambat akses produk mereka ke proyek pemerintah Indonesia. Desakan ini disampaikan berdasarkan laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) 2025, yang menyebut TKDN Indonesia sebagai hambatan signifikan dalam sektor energi, telekomunikasi, dan farmasi, serta mengaitkannya dengan penerapan tarif resiprokal atas ekspor Indonesia.

Tekanan eksternal ini muncul di tengah kompleksitas tantangan domestik atas penerapan TKDN. Sejumlah pelaku industri di dalam negeri menghadapi dilema antara memenuhi kewajiban TKDN dan menjaga efisiensi serta daya saing. Masalah umum yang mengemuka meliputi keterbatasan pasokan, kualitas produk lokal yang belum konsisten, serta harga komponen dalam negeri yang relatif lebih mahal dibanding impor. Industri hilir kerap menjadi pihak yang paling terdampak, terutama untuk proyek berskala besar yang menuntut spesifikasi tinggi dan kepastian pasokan.

Tekanan dari luar dan kendala dari dalam ini menjadikan kebijakan TKDN sebagai buah simalakama bagi industri nasional. Di satu sisi, TKDN dibutuhkan sebagai instrumen untuk melindungi industri dalam negeri atas praktik perdagangan tidak adil. Di sisi lain, penerapan kebijakan TKDN yang kurang komprehensif berpotensi memperlemah daya saing industri hilir dan memicu friksi dagang di luar negeri. Dalam konteks inilah, penataan ulang strategi TKDN menjadi sangat penting: bukan untuk melemahkan perlindungan industri, tetapi agar tetap adaptif dalam menjawab realitas tantangan domestik dan pasar global.

Kebijakan Global, Bukan Anomali

Kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), atau local content requirement, bukanlah kebijakan khusus yang hanya diterapkan Pemerintah Indonesia, melainkan bagian dari arus kebijakan industri yang telah menjadi praktik umum di banyak negara. Berbagai negara justru memperkuat kebijakan preferensi terhadap produk lokal sebagai respons atas ketegangan geopolitik, disrupsi rantai pasok global, serta bangkitnya kembali proteksionisme. TKDN digunakan tidak hanya sebagai instrumen perlindungan, tetapi juga sebagai alat strategis untuk membangun kapasitas industri domestik, memperkuat kemandirian teknologi, dan menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah tekanan eksternal.

Amerika Serikat menjadi salah satu contoh paling eksplisit dalam menerapkan kebijakan preferensi produk lokal. Pemerintahan Presiden Joe Biden memperkuat Buy American Act melalui Infrastructure Investment and Jobs Act tahun 2021, yang mensyaratkan minimal 55% komponen produksi dalam negeri untuk proyek federal. Selain itu, Inflation Reduction Act (IRA) 2022 menetapkan insentif kendaraan listrik hanya berlaku penuh jika 40–80% baterai dan mineral pentingnya berasal dari AS atau mitra dagang FTA, dengan target peningkatan bertahap hingga 2027. 

National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) 2025 mencatat secara sistematis bagaimana kebijakan preferensi produk lokal diterapkan secara luas di berbagai negara. Seluruh uraian di bawah ini mengacu pada laporan tersebut, dengan fokus pada bentuk-bentuk kebijakan yang memiliki relevansi langsung terhadap konsep TKDN.

India juga menjalankan kebijakan preferensi produk lokal secara sistematik melalui program Make in India. Pemerintah menetapkan ambang batas kandungan lokal di berbagai sektor strategis seperti elektronik, energi surya, kendaraan listrik, pertahanan, dan farmasi. Proyek-proyek bernilai besar hanya dapat diikuti oleh perusahaan yang memenuhi rasio kandungan domestik tertentu. Selain itu, India juga menggunakan standar teknis yang ketat dan tender terbatas sebagai instrumen untuk mendukung produsen lokal.

Uni Eropa, meskipun secara normatif menolak proteksionisme, menjalankan kebijakan preferensi produk lokal melalui mekanisme seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan ketentuan ketertelusuran rantai pasok yang ketat. Instrumen ini mendorong produsen dari luar kawasan untuk menyesuaikan proses produksinya dengan standar sosial dan lingkungan Eropa, sehingga menciptakan preferensi tidak langsung terhadap produk yang diproduksi di dalam UE atau oleh mitra dekatnya. Dalam pengadaan publik, negara-negara anggota UE juga kerap mengutamakan produsen lokal melalui justifikasi keberlanjutan, stabilitas pasok, dan kontribusi terhadap transisi energi.

Jepang melaksanakan kebijakan preferensi lokal dalam pengadaan pemerintah melalui prinsip Value for Money, yang memberikan bobot tambahan terhadap efisiensi jangka panjang dan nilai tambah domestik. Dalam sektor pertahanan dan teknologi strategis, pemerintah Jepang mewajibkan kerja sama antara perusahaan asing dan mitra lokal untuk seluruh pengadaan bernilai besar. Pendekatan ini tidak hanya mempertahankan kedaulatan teknologi nasional, tetapi juga menjamin pengembangan kapasitas industri dalam negeri.

Korea Selatan secara aktif menerapkan kebijakan substitusi impor melalui preferensi terhadap produk nasional dalam proyek-proyek teknologi tinggi. Pemerintah menyediakan fasilitas pembiayaan murah, subsidi R&D, dan insentif fiskal untuk perusahaan yang mampu menggantikan produk impor, khususnya di sektor semikonduktor, permesinan, baterai, dan energi terbarukan.

Di kawasan ASEAN, kebijakan preferensi produk lokal dijalankan dengan pendekatan yang beragam. Vietnam menetapkan kewajiban keterlibatan perusahaan lokal dalam kawasan industri strategis, Malaysia mewajibkan penggunaan barang dan jasa lokal dalam kontrak migas yang dikelola oleh Petronas, dan Thailand memberikan preferensi kepada penyedia barang dan jasa dalam negeri melalui kriteria non-harga seperti transfer teknologi dan pelatihan tenaga kerja lokal. Filipina secara tegas mengatur kandungan lokal dalam pengadaan publik, sementara Singapura tetap mempertimbangkan kapasitas lokal melalui prinsip efisiensi dan keandalan dalam sistem pengadaan digital pemerintah, meskipun tidak menetapkan TKDN formal.

Dengan mencermati berbagai contoh tersebut, menjadi jelas bahwa kebijakan TKDN merupakan praktik yang diterapkan luas secara global sebagai bagian dari strategi pembangunan industri nasional, termasuk oleh negara-negara maju. Ketika Indonesia menghadapi tekanan untuk melonggarkan kebijakan TKDN, kenyataan kebijakan global justru memperlihatkan bahwa preferensi lokal terus diperkuat dalam berbagai bentuk. Maka, memahami praktik ini sebagai norma internasional sangat penting agar Indonesia dapat mempertahankan posisi industrinya tanpa terjebak dalam narasi liberalisasi sepihak yang merugikan daya saing nasional.

Melindungi Industri Nasional dari Praktik Perdagangan Tidak Adil

Indonesia menghadapi tekanan besar dari membanjirnya produk impor yang masuk ke pasar domestik melalui mekanisme yang tidak mencerminkan persaingan sehat. Produk-produk tersebut tidak hadir karena efisiensi produksi yang lebih baik, melainkan karena didorong oleh berbagai bentuk dukungan dan subsidi dari negara asal yang menciptakan distorsi harga. Dalam situasi ini, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi salah satu instrumen penting untuk memberikan ruang tumbuh bagi industri dalam negeri, yang sedang dibangun namun dipaksa bersaing di medan yang tidak setara.

Tiongkok merupakan negara dengan dampak paling luas terhadap struktur industri Indonesia akibat kebijakan ekspor yang disokong oleh berbagai bentuk dukungan negara. Berbagai sektor strategis nasional—mulai dari baja, tekstil, petrokimia, elektronika, hingga komponen energi—menghadapi tekanan berat dari masuknya produk Tiongkok yang harganya tidak mencerminkan biaya produksi yang wajar. Produk baja dari Tiongkok masuk ke pasar Indonesia dengan harga yang lebih rendah dari biaya lokal karena perusahaan-perusahaan di sektor ini menerima dukungan pembiayaan berbiaya rendah, subsidi energi, subsidi lahan industri dan utilities, cash grant, dan insentif ekspor dan lainnya. Hal yang sama terjadi di sektor tekstil dan garmen, di mana produsen Tiongkok memperoleh keunggulan biaya dari integrasi rantai pasok yang didukung penuh oleh negara, termasuk dalam bentuk tax rebate, fasilitas ekspor, dan investasi pemerintah daerah dalam infrastruktur pabrik. Di sektor elektronik dan peralatan rumah tangga, produk Tiongkok mendominasi pasar Indonesia dengan harga yang tidak sepadan dengan struktur biaya produksi Indonesia, menyebabkan pelaku industri lokal kehilangan pangsa pasar. Semua praktik ini terdokumentasi secara eksplisit dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) 2025, yang mencatat bahwa kebijakan industri Tiongkok telah menyebabkan kelebihan kapasitas produksi yang didorong ke pasar global, mengganggu pasar domestik negara-negara lain. Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak karena belum memiliki sistem pengamanan perdagangan yang kuat dan skema subsidi fiskal yang setara. Tanpa tindakan korektif seperti TKDN, Indonesia akan terus menjadi pasar akhir dari kelebihan pasokan industri Tiongkok, dengan risiko jangka panjang berupa deindustrialisasi, pengangguran, dan runtuhnya struktur rantai pasok domestik.

Uni Eropa juga menerapkan kebijakan yang berkontribusi pada masuknya produk bersubsidi ke pasar Indonesia. Selain insentif energi dan pembiayaan transisi hijau untuk sektor industri, produsen manufaktur Eropa juga mendapat dukungan riset, pembebasan pajak karbon, dan pengurangan biaya logistik untuk ekspor. Produk seperti mesin industri, peralatan otomasi, dan komponen kelistrikan masuk ke Indonesia dengan harga yang sulit ditandingi oleh produsen dalam negeri. Praktik ini didokumentasikan dalam NTE Report sebagai bentuk hambatan tidak langsung yang melemahkan peluang produsen negara berkembang bersaing di sektor menengah-tinggi.

Jepang, sebagai mitra dagang utama Indonesia di sektor teknologi dan otomotif, memiliki kebijakan ekspor yang menyertakan berbagai bentuk dukungan implisit. Produsen otomotif dan komponen Jepang mendapat insentif dari pemerintah dalam bentuk pembebasan bea untuk bahan baku impor, perlindungan pasar domestik yang ketat, serta akses kepada dana R&D negara. Dukungan ini memungkinkan produk jadi dari Jepang—seperti kendaraan listrik, komponen mesin presisi, dan peralatan medis—masuk ke pasar Indonesia dalam kondisi harga yang telah disubsidi di hulu, bukan berdasarkan efisiensi. Laporan NTE 2025 menyoroti hal ini sebagai salah satu alasan produk Jepang sangat dominan di pasar ASEAN.

Korea Selatan juga mendorong ekspor industrinya secara agresif, khususnya di sektor baja, kimia, dan semikonduktor. Pemerintah Korea memberikan subsidi ekspor terselubung melalui Korea Development Bank, pinjaman berbunga rendah, serta program ekspansi global untuk perusahaan besar yang tergabung dalam konglomerat. Produk-produk seperti baja lembaran, bahan kimia plastik, dan peralatan optik asal Korea masuk ke Indonesia dengan harga yang sulit ditandingi oleh pemain lokal. Meski berasal dari negara OECD, laporan NTE mengklasifikasikan kebijakan ekspor Korea sebagai penyebab distorsi harga di berbagai pasar tujuan, termasuk Indonesia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “TKDN: Buah Simalakama Pengembangan Industri Nasional (Bagian I)”, Klik untuk baca di Kompas: https://money.kompas.com/read/2025/04/25/125620126/tkdn-buah-simalakama-pengembangan-industri-nasional-bagian-i.