
Semester I 2025: Ekspor Baja China Naik, Indonesia Jadi Target Utama Pengalihan Pasar
Di tengah tekanan global berupa perang dagang, tarif tinggi dari Amerika Serikat, serta gelombang proteksionisme dari berbagai negara, ekspor baja China justru mencatat rekor baru. Sepanjang Januari hingga Juni 2025, ekspor produk baja jadi (finished steel) China mencapai 58,15 juta ton. Data ini bersumber dari General Administration of Customs China (GACC), sebagaimana dikutip oleh SteelOrbis dan BIGMINT pada 14 Juli 2025. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, angka tersebut menunjukkan kenaikan sebesar 9,2 persen.
Lonjakan ini memunculkan sejumlah proyeksi baru. Menurut SteelOrbis, jika tren bulanan ini berlanjut hingga akhir tahun, total ekspor baja China pada 2025 bisa mencapai 116 juta ton—melampaui ekspektasi awal sebesar 100 juta ton yang ditetapkan pada akhir 2024. Sementara itu, analis yang dikutip oleh @Sino_Market memperkirakan bahwa ekspor tahun 2025, termasuk produk semi-finished, dapat menyentuh angka 125 juta ton, atau naik sekitar 7 persen dibanding tahun sebelumnya. Namun demikian, pencapaian tersebut sangat bergantung pada efektivitas langkah-langkah proteksi dagang yang diberlakukan oleh negara-negara mitra dagang dalam menahan laju ekspor China pada paruh kedua tahun ini.
Salah satu kunci di balik lonjakan ekspor ini adalah strategi eksportir China dalam menghindari hambatan tarif. Mereka mengalihkan fokus ekspor ke produk-produk yang tidak dikenai bea masuk serta menyasar pasar dengan hambatan dagang yang lebih longgar. Menurut laporan @Sino_Market, terjadi lonjakan signifikan ekspor ke Indonesia, Arab Saudi, dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya. Ekspor produk semi-finished bahkan tercatat melonjak lebih dari 300 persen selama lima bulan pertama 2025. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara tujuan ekspor yang mengalami kenaikan paling tajam dari China.
Peningkatan ekspor China juga telah mendorong tekanan harga di pasar internasional. Laporan BIGMINT mencatat bahwa harga ekspor hot-rolled coil (HRC) asal China pada bulan Juni 2025 berada di angka USD 445 per ton FOB Rizhao. Harga ini turun USD 10 dibanding bulan sebelumnya, turun USD 22,5 dibanding Januari 2025, dan melemah hingga USD 77 per ton dibandingkan dengan harga pada Juni 2024 yang sebesar USD 522. Penurunan harga ini memperbesar penetrasi produk asal China ke berbagai pasar global, namun sekaligus menekan harga domestik di negara-negara importir dan mempersempit ruang bagi produsen lokal untuk bersaing secara wajar.
Tekanan tersebut sejatinya telah mulai terasa di Indonesia bahkan sebelum semester pertama 2025 berakhir. Meskipun tarif baja Trump sebesar 25 persen baru mulai berlaku pada 12 Maret 2025 dan tarif lanjutan sebesar 50 persen baru akan efektif pada 4 Juni 2025, eksportir baja dari berbagai negara tampaknya telah lebih dulu mengantisipasi dampaknya dengan mulai mengalihkan ekspor ke pasar-pasar alternatif. Berdasarkan data Global Steel Trade Monitor (GSTM), impor produk semi-finished dari China ke Indonesia melonjak dari 39 ribu ton pada Januari–April 2024 menjadi 830 ribu ton pada periode yang sama tahun 2025. Sementara itu, impor produk baja jadi dari China meningkat dari 1,29 juta ton menjadi 1,34 juta ton, atau naik sekitar 3,9 persen.
Secara keseluruhan, impor produk baja jadi (finished products) dari seluruh negara selama periode empat bulan pada tahun 2025 dibandingkan 2024 meningkat dari 2,46 juta ton menjadi 2,86 juta ton atau naik sekitar 16,3 persen. Impor semi-finished juga meningkat tajam dari 1,2 juta ton menjadi 1,68 juta ton, naik sekitar 40 persen. Selain China, beberapa negara lainnya juga mencatat peningkatan ekspor ke Indonesia: Korea Selatan dari 254 ribu ton menjadi 325 ribu ton (naik 28 persen), Jepang dari 534 menjadi 733 ribu ton (naik 37 persen), Vietnam dari 197 menjadi 247 ribu ton (naik 25 persen), serta Malaysia dari 23 menjadi 35 ribu ton (naik 52 persen).
Kondisi ini memperkuat kekhawatiran yang telah disampaikan SMInsights sebelumnya yang memprediksi akan terjadinya peningkatan ekspor baja dengan tujuan ke Indonesia sebagai pengalihan dari pasar-pasar ekspor yang lebih proteksionis seperti Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. SMInsights telah mengingatkan bahwa:
“Kebijakan tarif AS telah memicu gelombang respons proteksionisme global. Pemerintah Tiongkok telah mengenakan tarif balasan sebesar 125%. Uni Eropa berencana membalas dengan tarif 25%, sementara Kanada turut menerapkan langkah proteksi. Kondisi ini semakin memperparah persaingan pasar baja global, mengingat beberapa negara sesungguhnya telah menerapkan proteksi atas produk baja dari Tiongkok bahkan sebelum pemberlakuan tarif baru AS. Efek dominonya jelas: tidak hanya pasar AS, pasar global makin tertutup, sementara ekspor akan dialihkan ke negara-negara dengan sistem perlindungan lemah. Indonesia, dengan minimnya tindakan pengamanan atas produk baja, berada dalam posisi sangat rentan.”
( https://steel-mining-policy.id/tarif-trump-tantangan-dan-peluang-industri-baja)
Perkembangan ini seharusnya menjadi alarm serius bagi pemerintah dan pelaku industri baja nasional. Jika tidak diantisipasi secara cepat dan terukur, gelombang ekspor baja China yang kini mengarah ke negara-negara dengan hambatan dagang yang relatif rendah—termasuk Indonesia—berpotensi memicu lonjakan impor dan semakin menekan produsen baja dalam negeri pada paruh kedua tahun 2025. Tekanan ini akan semakin diperparah oleh limpahan ekspor dari negara-negara lain yang turut terdampak kebijakan tarif proteksionis Amerika Serikat, seperti Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan Malaysia, yang terbukti telah meningkatkan ekspornya ke Indonesia sepanjang periode Januari hingga April 2025. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan India juga akan memanfaatkan celah ini, melihat Indonesia sebagai pasar alternatif yang belum memiliki sistem perlindungan memadai.
Dalam konteks ini, pemerintah perlu segera memperkuat kebijakan pengamanan perdagangan (trade remedies) seperti anti-dumping, countervailing duty, dan safeguard, sekaligus memastikan implementasi nyata dari program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), strategi substitusi impor, serta penerapan instrumen non-tarif seperti Standar Nasional Indonesia (SNI). Seluruh langkah tersebut harus dibarengi dengan pengawasan pasar yang ketat dan penegakan regulasi yang lebih konsisten.
Di sisi lain, strategi agresif yang dijalankan oleh China untuk menavigasi berbagai hambatan dagang global juga perlu dicermati dan dipelajari secara serius. Bukan hanya untuk membendung dampak ekspornya ke pasar domestik, tetapi juga sebagai sumber inspirasi dalam menyusun strategi ekspor Indonesia yang lebih adaptif, terarah, dan berbasis intelijen pasar.
Dalam lanskap perdagangan internasional yang semakin proteksionis dan kompetitif, diperlukan sinergi dan kolaborasi erat antara pemerintah dan pelaku industri baja nasional untuk memperkuat ketahanan industri dalam negeri, sekaligus membangun strategi ekspor yang tangguh dan berdaya saing global.
3 thoughts on “Hot News: Indonesia Target Ekspor Baja China Semester I 2025”
Comments are closed.