
Gelombang proteksi perdagangan baja dunia kian menguat, menandai pergeseran besar dari era pasar bebas menuju era keamanan ekonomi. Ketika negara-negara besar menutup pasar mereka terhadap baja murah asal Tiongkok, arus ekspor global berpotensi beralih ke negara-negara yang pasarnya masih terbuka, termasuk Indonesia. Di tengah lonjakan tindakan antidumping, safeguards, dan tarif baru di berbagai kawasan, risiko banjir impor baja kini menjadi ancaman nyata yang perlu diantisipasi dengan segera melalui kebijakan perdagangan yang lebih tangguh, terukur, dan terkoordinasi.
Gelombang Proteksi Global
Gelombang proteksi terhadap baja Tiongkok kini mencapai titik tertinggi dalam dua dekade terakhir. Data terbaru GMK Center (6 Oktober 2025) menunjukkan bahwa 62 negara telah memberlakukan 207 tindakan pembatasan terhadap produk baja asal Tiongkok, terdiri dari 168 bea antidumping dan 33 bea imbalan (countervailing duties). Amerika Serikat menjadi negara paling aktif dengan 26 instrumen proteksi, disusul Kanada (20), Australia (18), Uni Eropa (18), Inggris (13), Meksiko (12), Thailand (12), Brasil (10), dan Turki (8). Peta ini menunjukkan bahwa kebijakan proteksi terhadap baja Tiongkok kini telah menjadi arus utama kebijakan perdagangan global.
Negara-negara besar memperkuat pertahanan industrinya melalui tarif tinggi, pembatasan kuota, dan kebijakan berbasis economic security. Amerika Serikat menaikkan tarif baja berdasarkan Section 232 menjadi 50 persen per Juni 2025, sementara Uni Eropa merencanakan untuk memperketat mekanisme tariff-rate quota (TRQ) dengan memangkas kuota impor hingga setengahnya dan menaikkan tarif di luar kuota menjadi 50 persen mulai tahun depan. Kanada mengenakan surtax 25 persen untuk produk yang dilebur (melted and poured) di Tiongkok, sedangkan Australia, Meksiko, dan Thailand memperluas cakupan produk yang dilindungi oleh bea antidumping. Langkah ini mencerminkan tren global bahwa proteksi kini menjadi alat kebijakan industri yang sah untuk menjaga kepentingan industri yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kepentingan nasional.
Akar Masalah: Subsidi dan Distorsi Pasar
Kebijakan proteksi yang meluas ini berakar pada distorsi harga akibat subsidi besar-besaran di Tiongkok. Menurut OECD, sebagaimana dikutip GMK Center, tingkat subsidiisasi produsen baja Tiongkok kini mencapai lima kali lipat lebih tinggi dibanding rata-rata negara mitra dagang, memungkinkan ekspor baja murah bahkan ketika perusahaan beroperasi dalam kondisi rugi.
Kajian Money for Metal: A Detailed Examination of Chinese Government Subsidies to its Steel Industry (Wiley Rein LLP, 2007) mengidentifikasi sedikitnya sepuluh kategori subsidi utama, termasuk pinjaman preferensial dan directed credit dari bank milik negara, injeksi ekuitas dan konversi utang menjadi saham, hibah tunai, hak guna lahan di bawah harga pasar, merger yang diamanatkan pemerintah, insentif pajak dan restitusi PPN, kontrol harga energi dan bahan baku, undervaluasi mata uang, serta pelonggaran standar lingkungan. Temuan ini diperkuat oleh Report on Market Research into the PRC Steel Industry – Part 1 (Steel Industry Coalition, 2016) dan Shell Game: Case Studies in Chinese Steel Subsidies (Wiley Rein LLP, 2024), yang menunjukkan bahwa kebijakan subsidi dan konsolidasi terarah terus menopang ekspansi kapasitas baja baru yang tidak efisien secara komersial namun tetap kompetitif secara harga di pasar global. Sebagaimana telah dibahas dalam artikel SMInsights sebelumnya, “Ekspor Baja Melonjak, Saatnya Menata Kemandirian Industri Nasional.”
Dampaknya sangat signifikan. Ekspor baja Tiongkok melonjak dua kali lipat sejak 2020, mencapai 118 juta ton pada 2024, dan berpotensi menembus rekor baru tahun ini setelah 77,5 juta ton diekspor hanya dalam delapan bulan pertama 2025, naik 10 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Arus ekspor baja murah ini telah menekan harga global, menggerus margin produsen di berbagai negara, dan mendorong munculnya gelombang proteksi lintas kawasan sebagai upaya untuk menyeimbangkan pasar.
Indonesia Harus Bergerak Cepat
Bagi Indonesia, tren proteksi global ini merupakan alarm perdagangan yang tak boleh diabaikan. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, Indonesia saat ini baru menerapkan lima instrumen proteksi berupa bea masuk antidumping untuk lima kelompok produk baja utama asal Tiongkok, yaitu Hot Rolled Coil, Hot Rolled Plate, Tinplate, I dan H Section, serta Hot Rolled Coil Alloy (PMK 2024–2025). Jumlah ini tergolong sangat sedikit dibandingkan dengan Amerika Serikat (26), Kanada (20), Uni Eropa (18), dan bahkan Thailand yang telah memberlakukan 12 tindakan pembatasan terhadap baja Tiongkok.
Keterbatasan instrumen ini menimbulkan risiko strategis yang perlu diantisipasi dengan serius. Ketika pasar-pasar besar dunia semakin tertutup oleh tarif tinggi dan kuota ketat, arus ekspor baja Tiongkok akan mencari pasar alternatif yang masih terbuka—dan Indonesia menjadi salah satu tujuan utama.
Langkah perlindungan yang telah diambil pemerintah perlu diapreasiasi, namun perlu diperkuat segera dengan pendekatan yang lebih komprehensif mengingat gelombang proteksionism global yang semakin deras. Penguatan dapat dilakukan melalui koordinasi lintas lembaga antara KADI, KPPI, dan Bea Cukai, perluasan cakupan trade remedies seperti safeguard dan countervailing duties, serta penerapan kerangka kebijakan keamanan ekonomi (economic security framework) sebagaimana diterapkan oleh AS dan UE. Pendekatan ini penting agar Indonesia memiliki ruang kebijakan yang setara dalam melindungi industrinya tanpa menimbulkan ketegangan dagang internasional.
Gelombang proteksi global harus dijadikan momentum untuk memperkuat fondasi kebijakan industri nasional. Ketika negara-negara lain memperkokoh benteng perdagangannya, Indonesia perlu memastikan bahwa pasar domestiknya tidak menjadi korban dari arus baja murah dunia. Langkah proteksi yang terukur dan berorientasi jangka panjang bukan hanya diperlukan untuk menjaga industri baja nasional tetap bertahan, tetapi juga menjadi bagian penting dalam mewujudkan kemandirian industri dan visi Indonesia Emas 2045.