
Pada 22 Juli 2025, Indonesia dan Amerika Serikat mengumumkan Joint Statement on Reciprocal Trade Agreement yang menyatakan bahwa produk asal Indonesia akan dikenai tarif masuk sebesar 19% sebagaimana diatur dalam Executive Order (EO) 14257. Namun, ketentuan ini tidak berlaku untuk produk baja, karena secara eksplisit diatur secara khusus dalam EO tersebut dan tunduk pada mekanisme tarif khusus Section 232.
Ketentuan Hukum Terkait Tarif Baja AS
- Joint Statement (22 Juli 2025):
Menyatakan tarif 19% untuk produk Indonesia berdasarkan EO 14257. - Executive Order 14257 (2 April 2025):
a. Menetapkan tarif 19% secara umum.
b. Namun dalam Section 3(b)(ii) menyebutkan baja dan aluminium tetap tunduk pada ketentuan tarif Section 232, bukan tarif 19%. - Rangkaian Proclamation Section 232:
No | Dokumen | Isi Pokok | Tarif Baja |
1 | Procl. 9705 (2018) | Tarif 25% untuk baja dari berbagai negara | 25% |
2 | Procl. 9980 (2020) | Perluasan ke produk turunan baja | 25% |
3 | Procl. 10896 (2025) | Berlaku ke semua negara, termasuk sekutu AS | 25% |
4 | Procl. 10947 (2025) | Meningkatkan tarif menjadi 50% | 50% |
Tarif Efektif Produk Baja Indonesia ke AS
Tarif efektif terhadap produk baja Indonesia di pasar Amerika Serikat tidak hanya mencakup tarif dasar Section 232 sebesar 50%, tetapi juga dapat ditambah dengan tindakan trade remedies berupa bea antidumping (AD) dan/atau countervailing duties (CVD) pada produk-produk tertentu. Akumulasi tarif ini menyebabkan total bea masuk yang harus ditanggung eksportir Indonesia dapat melebihi 100%, sehingga secara praktis menyulitkan akses ekspor ke pasar AS bagi produk yang dikenai trade remedies. Namun demikian, peluang ekspor tetap terbuka untuk jenis produk baja yang tidak dikenakan tindakan tersebut.
Produk | Section 232 | Trade Remedies | Tarif Total |
HRC, Plate, Rebar, PC Strand | +50% | AD/CVD 58–72% | 108–122% |
Produk coated steel, stainless dan alloy tertentu | +50% | – | ±50–55% |
Sumber: USITC & US DOC 2023–2024
Dampak Terhadap Perdagangan Baja Indonesia
- AS bukanlah tujuan ekspor baja Indonesia: dampaknya terhadap ekspor baja Indonesia secara keseluruhan tidak terlalu signifikan.
- Potensi Pasar AS terbuka: Harga HRC AS (Midwest) > US$ 900/short-ton, jauh lebih tinggi dibanding harga baja di negara lain, sehingga meskipun terdapat ketentuan tarif 50%, peluang ekspor tetap terbuka bagi produk baja tertentu yang tidak dikenai tindakan trade remedies.
- Banjir Impor ke Indonesia: Dampak terbesar dari pemberlakuan tarif adalah potensi pengalihan produk ekspor dari berbagai negara yang semula ke AS menjadi masuk ke pasar Indonesia (lihat: Hot News: Indonesia Target Ekspor Baja China Semester I 2025 dan Tarif Trump: Tantangan dan Peluang Baru bagi Industri Baja Indonesia).
- Risiko Perang Harga di Pasar Domestik: Pengalihan ekspor ke Indonesia berpotensi menimbulkan kelebihan pasokan di pasar lokal, yang dapat memicu persaingan harga tidak sehat. Produsen dalam negeri berisiko menghadapi tekanan harga di bawah biaya produksi jika tidak ada kebijakan pengamanan yang memadai.
Rekomendasi Strategis dan Kebijakan
- Penguatan instrumen perlindungan pasar domestik: Dampak paling nyata dari kebijakan tarif baja AS adalah terjadinya peralihan arus ekspor global ke negara-negara yang masih terbuka seperti Indonesia. Jika tidak diantisipasi, limpahan impor ini akan menekan harga baja dalam negeri dan merugikan industri nasional. Pemerintah perlu segera memperkuat penggunaan instrumen perlindungan perdagangan seperti safeguard, antidumping, dan bea imbalan untuk memastikan industri baja nasional tetap dapat tumbuh dan berkontribusi terhadap penguatan ekonomi nasional.
- Diversifikasi pasar ekspor ke kawasan non-tradisional: Di tengah semakin ketatnya akses ke pasar negara maju dan risiko kelebihan kapasitas global, Indonesia perlu memperluas jangkauan ekspor ke wilayah yang menunjukkan potensi pertumbuhan permintaan baja seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Diversifikasi pasar akan menjadi kunci untuk menjaga stabilitas volume ekspor sekaligus memperluas posisi strategis Indonesia dalam rantai pasok baja global.
- Negosiasi kuota tarif dengan Amerika Serikat: Di tengah ketatnya kebijakan proteksi di AS, Indonesia dapat menempuh jalur negosiasi bilateral untuk memperoleh kuota tarif tertentu seperti yang berhasil dicapai Jepang dan Korea Selatan. Melalui mekanisme ini, ekspor baja Indonesia dapat tetap masuk ke pasar AS dalam volume tertentu dengan tarif preferensial (0–25%), sehingga menjaga akses dan daya saing produk Indonesia di pasar premium.
- Integrasi strategi perdagangan dan kebijakan hilirisasi baja secara nasional: Respons terhadap tekanan eksternal seperti tarif AS seharusnya tidak dilakukan secara sektoral dan parsial. Pemerintah perlu menyusun strategi industri baja yang menyatukan kebijakan hilirisasi, ekspor, dan perlindungan pasar dalam satu kerangka nasional. Hal ini mencakup pemetaan kapasitas hulu-hilir, kebutuhan investasi, diplomasi dagang, dan sinkronisasi antar instansi. Tanpa koordinasi kebijakan yang utuh, Indonesia akan selalu bersifat reaktif dan sulit membangun posisi strategis dalam peta industri baja global.
Kesimpulan
Kesepakatan tarif 19% antara Indonesia dan Amerika Serikat tidak berlaku untuk produk baja. Seluruh ekspor baja Indonesia tetap dikenai tarif sebesar 50% atau lebih, sesuai dengan ketentuan dalam rezim Section 232 dan sejumlah tindakan trade remedies lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor baja nasional tidak memperoleh perlakuan preferensial dan tetap berada dalam posisi tertekan dalam lanskap perdagangan global.
Namun demikian, peluang tetap terbuka bagi jenis produk baja tertentu yang tidak dikenai tindakan trade remedies, terutama mengingat harga baja di pasar domestik AS berada pada tingkat premium dan jauh lebih tinggi dibanding harga internasional.
Di sisi lain, pemberlakuan tarif tinggi oleh Amerika Serikat juga berpotensi mendorong pengalihan ekspor dari berbagai negara ke pasar lain yang lebih terbuka, termasuk Indonesia. Tanpa kebijakan proteksi yang memadai, hal ini dapat menimbulkan ancaman banjir impor yang menekan harga dan mengganggu keberlangsungan industri baja dalam negeri.
Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah strategis dan terkoordinasi dari pemerintah dan pelaku industri baja nasional untuk menavigasi tantangan ini secara tepat—baik dalam melindungi pasar domestik, memperluas akses ekspor, maupun meningkatkan daya saing jangka panjang di tengah dinamika kebijakan global yang semakin kompleks dan proteksionis.
One thought on “Policy Brief: Tarif Baja Indonesia ke AS: Realita >50 Persen di Balik Harapan Tarif 19 Persen”
Comments are closed.