
Pekan pertama Oktober 2025 kembali diwarnai tekanan berlapis dalam lanskap industri baja global. Lonjakan ekspor Tiongkok yang diproyeksikan melampaui 115 juta ton sebagaimana telah diperkirakan dalam beberapa pekan sebelumnya terjadi di tengah gelombang proteksi dagang dari berbagai negara: Ukraina memperpanjang bea AD, Thailand menyusun sunset review, dan India membuka penyelidikan baru. Di sisi lain, Indonesia mencatat kemenangan di WTO atas Uni Eropa dalam sengketa bea masuk baja, yang menjadi bukti keberhasilan memperjuangkan akses pasar ekspor dan semestinya menjadi pijakan untuk memperkuat perlindungan domestik. Harga baja internasional relatif stabil namun tertahan oleh lemahnya permintaan. Sementara itu, arah investasi global semakin dinamis: Eropa mulai menunda proyek karena tekanan biaya dan ketidakpastian politik, sedangkan Asia Tenggara terus mendorong ekspansi kapasitas konvensional. Di tengah kondisi ini, banjir impor murah ke Indonesia kian nyata. Situasi ini menuntut kebijakan perlindungan perdagangan baja yang segera dan menyeluruh agar keberlangsungan industri dalam negeri tetap terjaga.
I. Perkembangan Harga Baja Minggu I Oktober 2025
Di Tiongkok, harga baja melemah di hampir seluruh lini seiring penurunan aktivitas industri menjelang libur nasional. Harga HRC domestik turun ke kisaran USD 455–460 per ton, sementara harga ekspor tetap di USD 470 per ton FOB. Produk hilir juga tertekan, dengan CRC di USD 535–540 per ton, GI USD 565–570 per ton, serta color coated USD 685–690 per ton. Harga pipa las berada di USD 485–490 per ton, sedangkan rebar dan wire rod masing-masing turun ke USD 405–435 dan USD 460–465 per ton. Data dari beberapa sumber menunjukkan penurunan serentak di hampir semua indeks spot domestik, menandakan lemahnya permintaan di pasar China.
Di Asia Tenggara, harga baja relatif stabil. HRC ditawarkan pada kisaran USD 500 per ton CFR, sedangkan rebar bertahan di USD 475 per ton CFR. Tidak ada perubahan berarti dibanding minggu sebelumnya, dan selisih harga dengan ekspor China tetap di kisaran USD 30 per ton, memperlihatkan bahwa arus impor dari China masih menekan pasar regional.
Di India, harga baja tetap tinggi namun stabil. HRC berada pada kisaran USD 580–655 per ton, CRC USD 700–730 per ton, dan GI USD 775–785 per ton. Produk long juga tidak mengalami perubahan, dengan rebar USD 470–515 per ton, wire rod USD 470–480 per ton, dan round bar sekitar USD 685 per ton. Harga scrap HMS 80:20 di pelabuhan Nhava Sheva tercatat USD 329 per ton, stabil dibanding minggu sebelumnya.
Di Turki dan kawasan CIS, pasar menunjukkan stabilitas relatif. Rebar dan wire rod masing-masing bertahan di USD 540–545 dan USD 540–550 per ton FOB, sedangkan HRC Rusia di USD 470–480 per ton dan billet USD 435–440 per ton FOB. Sementara itu, harga scrap HMS 80:20 CFR Turki naik menjadi USD 340 per ton, menandakan permintaan bahan baku mulai meningkat di pasar Mediterania.
Di Eropa, harga HRC domestik masih datar akibat lemahnya aktivitas pembelian. Eropa Utara berada di USD 590–610 per ton, Italia di USD 580 per ton, sementara penawaran impor dari Turki dan India berada di USD 545–555 per ton. Impor dari Asia tercatat di USD 515–525 per ton, namun transaksi tetap terbatas karena pelaku pasar menunggu kejelasan kuota safeguard dan ketentuan CBAM.
Di Amerika Serikat, harga baja tetap tinggi dan stabil. HRC spot berada di kisaran USD 810–850 per ton, dengan kontrak produsen besar seperti Nucor (CSP) di USD 875 per ton. Beberapa penawaran bahkan mencapai USD 900-an per ton, namun tidak disertai peningkatan volume pembelian. Pelaku pasar AS masih berhati-hati di tengah ketidakpastian ekonomi dan lambatnya proyek konstruksi.
Di Timur Tengah, khususnya Mesir, harga rebar domestik stabil di kisaran EGP 34.500–38.200 per ton, atau sekitar USD 715–790 per ton setelah konversi. Perbedaan harga antarprodusen seperti Ezz Steel, Suez, dan Beshay masih dipengaruhi biaya energi dan fluktuasi nilai tukar, namun pasar cenderung tenang tanpa kenaikan signifikan.
Ringkasan Harga Baja – Minggu I Oktober 2025 (USD/ton)
Kawasan | HRC | CRC | Galvanis (GI) | Color Coated | Pipa Las | Rebar | Wire Rod | Scrap |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Tiongkok | 455–460 ↓ (dom.) / 470 ↓ (exp.) | 535–540 ↓ | 565–570 ↓ | 685–690 ↓ | 485–490 ↓ | 405–435 ↓ | 460–465 ↓ | 335–340 → |
ASEAN | 500 → | n/a | n/a | n/a | n/a | 475 → | n/a | n/a |
India | 580–655 → | 700–730 → | 775–785 → | n/a | n/a | 470–515 → | 470–480 → | 329 → |
Turki / CIS | 470–480 → | n/a | n/a | n/a | n/a | 540–545 → | 540–550 → | 340 ↑ |
Eropa | 590–610 → (North EU) / 580 → (Italy) | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a |
AS | 810–850 → (CSP: 875) | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a |
Middle East (Egypt) | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | 715–790 → | n/a | n/a |
Keterangan:
↑ naik w/w; ↓ turun w/w; → stabil (≤±0,5%); n/a tidak tersedia pekan ini.
Kurs konversi yang digunakan: 1 CNY = 0.135 USD, 1 INR = 0.012 USD, 1 EUR = 1.05 USD, 1 EGP = 0.0207 USD
II. Perkembangan Perdagangan Baja Global
Perdagangan baja global memasuki fase yang semakin kompleks dan dinamis menjelang akhir Oktober 2025. Sinyal ekspansi ekspor dari Tiongkok terus berlanjut, sekaligus mendorong eskalasi ketegangan dengan negara-negara mitra dagangnya. Di sisi lain, langkah strategis Beijing terhadap rantai pasok bahan baku juga mengindikasikan pergeseran dominasi dalam arsitektur perdagangan baja global.
Eksportir baja terbesar dunia ini diproyeksikan mencetak rekor ekspor sepanjang sejarah, mencapai 115–120 juta ton pada 2025—naik 4% hingga 9% dibanding tahun lalu. Lonjakan ini terjadi di tengah meluasnya tindakan proteksi: hingga awal Oktober, sekitar 54 tarif dan hambatan dagang telah dikenakan terhadap baja Tiongkok. Namun ekspansi pasar tetap berjalan, terutama dengan pergeseran pasar tujuan ke kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika Utara, sebagaimana disampaikan Baosteel. Strategi ini dilakukan untuk mengkompensasi penurunan permintaan domestik akibat krisis properti, di mana konsumsi baja di Tiongkok melambat setelah mencapai puncaknya pada 2020.
Perluasan ekspor ini memicu kekhawatiran di Uni Eropa yang sejak 1 Oktober 2025 telah mencatat status overtonnage dari 12 kombinasi negara dan produk. India melampaui kuota ekspor produk tin mill ke UE hingga 525%, Vietnam menembus 301% pada produk organic coated sheet, dan Tiongkok secara konsisten melewati kuota pada berbagai kategori—termasuk stainless bar, hollow section, coated sheet, hingga piling. Ini menjadi indikasi kuat bahwa relokasi pasar Tiongkok tidak hanya mengarah ke negara berkembang, tetapi juga tetap menekan pasar di negara maju yang sudah menerapkan kuota ketat.
Sementara itu, Iran tetap mempertahankan posisinya sebagai eksportir utama baja kawasan MENA di tengah kondisi yang menantang. Mobarakeh Steel Company (MSC), produsen baja terbesar di Iran, melaporkan penurunan produksi sebesar 6,5% pada April–September 2024 dan anjlok 24% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, ekspor MSC justru melonjak signifikan menjadi 0,756 juta ton, naik lebih dari dua kali lipat dari 0,339 juta ton di tahun lalu. Kinerja ekspor ini dicapai meskipun Iran mengalami krisis listrik akibat gelombang panas ekstrem yang memukul industri sejak April.
Pergeseran terbesar justru terlihat dari strategi Tiongkok terhadap rantai pasok bahan baku. Dalam perkembangan dramatis, China Mineral Resources Group (CMRG)—pembeli bijih besi milik negara—memerintahkan seluruh pelaku industri baja domestik untuk menghentikan pembelian kargo bijih besi dari BHP, termasuk yang sudah dalam perjalanan ke pelabuhan Tiongkok. Langkah ini menandai eskalasi konflik harga antara BHP dan CMRG setelah negosiasi gagal memperbarui kontrak jangka panjang. Penghentian ini tidak hanya menyasar pengiriman baru, tetapi juga melarang pengambilan kargo dollar-denominated di pelabuhan China, dan mengarahkan pembelian hanya pada kontrak yang berbasis yuan.
Dampaknya langsung terasa: harga futures iron ore di Singapura naik 1,8% menjadi USD 105,05 per ton, sementara saham BHP anjlok hingga 4,8% di London—terburuk sejak April 2025. Beberapa analis menilai larangan ini bukan sekadar negosiasi harga, melainkan bagian dari strategi jangka panjang Beijing untuk memperkuat posisi tawar atas pasokan global, terutama saat pasokan baru dari proyek Simandou Guinea mulai masuk pasar.
Langkah ini berpotensi menggeser keseimbangan dominasi dalam perdagangan bahan baku baja dunia, di mana Tiongkok bukan hanya sebagai konsumen utama tetapi juga pengendali arah permintaan. Bagi eksportir bahan baku seperti Australia dan Brasil, perubahan ini bisa berdampak besar terhadap nilai kontrak dan stabilitas pasar. Bagi negara seperti Indonesia, dinamika ini menjadi pengingat bahwa strategi hilirisasi perlu dibarengi ketahanan terhadap guncangan pasokan global, baik dari sisi volume maupun struktur harga.
III. Kebijakan & Trade Remedies
Pekan ini, kebijakan perdagangan baja global mencerminkan dua arus utama: perluasan tindakan proteksi formal oleh negara-negara maju, dan reaksi strategis dari negara berkembang yang menghadapi tekanan pasar dan ketegangan geopolitik dagang. Uni Eropa resmi memberlakukan bea anti-dumping definitif selama lima tahun atas produk flat carbon steel HS 7208–7226 dari Mesir, Jepang, dan Vietnam, memperkuat pagar dagang atas lini HRC yang menjadi tulang punggung ekspor Asia. Dalam waktu bersamaan, Komisi Eropa mengajukan reformasi sistem kuota baja yang mencakup pemangkasan alokasi hingga 50 persen dan pengenaan tarif 50 persen atas volume yang melampaui batas kuota. Untuk menutup celah penghindaran asal barang, UE juga mengusulkan penerapan prinsip “melted and poured” sebagai kriteria sah dalam pemanfaatan kuota. Reformasi ini secara langsung menarget praktik transhipment dan ekspor ulang dari negara ketiga yang selama ini dimanfaatkan eksportir Tiongkok.
Sementara itu, Pemerintah Indonesia secara resmi mendesak Uni Eropa untuk mencabut bea masuk atas produk stainless steel menyusul keputusan panel WTO yang menyatakan tindakan UE bertentangan dengan ketentuan perjanjian SCM dan AD Agreement.
Di sisi lain, India, melalui DGTR, melanjutkan penyelidikan anti-dumping atas impor stainless cold-rolled dari Tiongkok, Indonesia, dan Vietnam. Investigasi ini menambah panjang daftar tindakan proteksi India terhadap produk flat dari Asia, seiring dengan meningkatnya tekanan margin di pasar domestik.
Beberapa negara lain juga memperbarui instrumen perlindungannya. Pakistan membuka investigasi safeguard terhadap lonjakan impor billet dan rebar dari Tiongkok, sementara Brasil memperpanjang bea anti-dumping atas cold-rolled coil dari Tiongkok dan Korea Selatan untuk lima tahun ke depan. Di Ukraina, bea masuk atas produk fasteners asal Tiongkok diperpanjang sementara sambil menunggu hasil tinjauan ulang menyeluruh. Thailand mengusulkan perpanjangan bea masuk atas produk cold-reduced carbon steel dari Vietnam, China, dan Taiwan, termasuk perluasan cakupan ke produk ZAM coated asal Tiongkok yang diduga digunakan untuk circumvention. Pemerintah Vietnam sendiri memperketat pengawasan atas ekspor ulang produk baja asal Tiongkok, terutama untuk HRC dan billet, guna menghindari potensi sanksi dari mitra dagang utama seperti AS dan UE.
Secara keseluruhan, lanskap trade remedies pekan ini mencerminkan respons global terhadap lonjakan ekspor dari kawasan Asia dan kekhawatiran atas praktik perdagangan sirkumvensi. Negara-negara besar memperluas dan memperdalam pagar tarifnya, sementara negara berkembang juga mulai memperkuat perlindungan pasar domestik sambil menyesuaikan kebijakan ekspor dan regulasi dalam negeri demi menjaga keseimbangan di tengah sistem perdagangan multilateral yang semakin tertekan. Dalam kondisi seperti ini, risiko limpahan ekspor ke pasar yang belum memiliki sistem perlindungan menyeluruh—seperti Indonesia—semakin tinggi. Tanpa langkah antisipatif yang sistemik, pasar domestik berpotensi menjadi pelampung sementara bagi kelebihan pasokan global.
Ringkasan Trade Remedies – Minggu I Oktober 2025
Yurisdiksi | Instrumen | Produk | Asal | Tarif/Status | Tanggal/Status |
Uni Eropa | Bea AD definitif | Flat carbon steel (HS 7208–7226) | Mesir, Jepang, Vietnam | Duties 5 tahun: Egypt 11,7%, Japan 6,9–30%, Vietnam 12,1% | Efektif 2 Okt 2025 |
Uni Eropa | Reformasi kuota & tarif | Semua baja dalam sistem kuota | Global | Kuota dipangkas 50%, tarif out-of-quota 50%, konsep “melted & poured” | Rilis kebijakan 7 Okt |
Indonesia | Gugatan WTO – permintaan pencabutan AD+CVD | Stainless steel | UE | Diajukan pasca putusan panel WTO menyatakan bea UE tidak sah | 3 Okt 2025 |
India | Investigasi anti-dumping | Stainless CRC | China, Indonesia, Vietnam | Investigasi lanjutan, petisi dari ISSDA, JSL, SAIL | 4 Okt 2025 |
Brasil | Perpanjangan bea AD | CRC | China, Korea Selatan | Duties diperpanjang 5 tahun | 7 Okt 2025 |
Pakistan | Investigasi safeguard | Billet, rebar | China | Investigasi resmi dibuka oleh National Tariff Commission | 29 Sep 2025 |
Ukraina | Perpanjangan sementara bea AD | Steel fasteners | China | Perpanjangan masa berlaku sambil tunggu hasil review akhir | 29 Sep 2025 |
Thailand | Rekomendasi perpanjangan AD | Cold-reduced carbon steel | Vietnam, China, Taiwan | Usulan 5 tahun, potensi circumvention via ZAM steel China | 2–3 Okt 2025 |
Vietnam | Pengawasan ekspor ulang | HRC, billet | Re-ekspor dari China | Pembatasan ekspor ulang ke negara ketiga, terkait praktik circumvention | 5 Okt 2025 |
IV. Investasi Peningkatan Kapasitas & Green Steel
Peta investasi global dalam sektor baja terus menunjukkan polarisasi yang tajam antara dorongan ekspansi kapasitas di kawasan berkembang dan transisi hijau di negara-negara maju. Di satu sisi, negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Vietnam masih gencar mengembangkan kapasitas produksi konvensional berbasis blast furnace dan EAF, tanpa peta jalan transisi emisi yang terstruktur. Di sisi lain, Eropa mulai mempercepat implementasi green steel berbasis hidrogen, sementara Amerika Serikat menghadapi dilema baru: di tengah retorika kampanye Donald Trump yang menolak kebijakan iklim dan meremehkan pentingnya emisi, tetap terjadi kemajuan inisiatif swasta yang mengarah pada dekarbonisasi—meskipun lebih bertumpu pada pasar dan strategi perusahaan, bukan regulasi pemerintah.
Salah satu contoh terbaru adalah investasi Steelscape di Amerika Serikat yang mengumumkan proyek ekspansi fasilitas cold rolling dengan tambahan 650.000 ton per tahun, senilai USD 400 juta. Proyek ini menyasar segmen baja bernilai tambah untuk konstruksi dan otomotif, namun tidak disertai komponen transisi emisi, menunjukkan bahwa sebagian produsen masih melihat pertumbuhan permintaan sebagai peluang ekspansi kapasitas konvensional. Di kawasan lain, Baosteel dan Tsingtuo mengumumkan penguatan sinergi pada proyek smelter stainless di Indonesia melalui entitas Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), yang dikabarkan telah memasuki fase konsolidasi penuh jalur produksi hulu hingga hilir. Sementara itu, di Malaysia, proyek Sabah Green Steel tetap menjadi satu-satunya contoh nyata inisiatif green steel di Asia Tenggara, dengan fokus pada produksi HBI berbasis energi terbarukan dan target pasar ekspor.
Meskipun sebagian proyek di negara berkembang mulai mengadopsi narasi rendah emisi, belum terdapat kejelasan tentang standar, pengukuran, maupun dukungan kebijakan nasional terhadap pengembangan ekosistem baja hijau. Di tengah kondisi tersebut, risiko overcapacity di Asia Tenggara tetap membayangi, karena ekspansi kapasitas terus berlangsung tanpa kontrol regional yang memadai. Dengan tekanan proteksi dari negara maju yang makin dipicu oleh isu iklim, ketidaksiapan ini justru bisa menjadi hambatan baru bagi ekspor baja dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Diperlukan intervensi kebijakan strategis untuk mengarahkan investasi ke arah transisi, agar pertumbuhan industri tidak justru menjadi sumber kerentanan baru di masa depan.
Ringkasan Investasi & Green Steel – Minggu I Oktober 2025
Proyek / Entitas | Teknologi & Kapasitas | Nilai Investasi (USD) | Status / Tahap | Catatan |
Steelscape (AS) | Cold rolling mill tambahan 650.000 short ton/tahun | 400 juta | Diumumkan | Untuk pasar otomotif & konstruksi; belum berorientasi hijau |
Baosteel–Tsingtuo (Indonesia / ITSS) | Integrasi hulu-hilir stainless steel | Tidak disebut | Konsolidasi korporasi | Penguatan kendali rantai produksi; belum berbasis green |
Sabah Green Steel (Malaysia) | Pabrik HBI berbasis energi terbarukan | 180 juta | Penggalangan pendanaan awal | Ditujukan untuk ekspor ke Jepang dan Korea |
V. Isu Strategis yang Perlu Dicermati
Beberapa perkembangan yang perlu mendapat perhatian serius dari pelaku industri dan pembuat kebijakan Indonesia.
Pertama, lonjakan ekspor Tiongkok yang makin mendekati rekor tahun lalu memperbesar risiko banjir impor baja di kuartal terakhir 2025. Hal ini menuntut pemerintah untuk segera menetapkan kebijakan perlindungan yang semakin komprehensif, termasuk di kawasan pelabuhan bebas yang saat ini tidak terjangkau oleh instrumen trade remedies seperti BMAD, BMTP, dan BMIm. Jika tidak segera ditangani, situasi ini berpotensi mengganggu utilisasi pabrik domestik dan menciptakan ketimpangan struktural dalam pasar baja nasional.
Kedua, proteksionisme global terus meluas dan semakin terkoordinasi lintas instrumen. Amerika Serikat memperluas cakupan investigasi Section 232, Uni Eropa dan India melanjutkan penyelidikan antidumping dan safeguard, sementara Afrika Selatan dan Mesir mengonsolidasikan tarif umum serta pembatasan kuota impor. Hal ini menandakan bahwa tren global tidak lagi mendorong liberalisasi perdagangan, tetapi justru memperketat hambatan tarif dan non-tarif. Indonesia harus segera menyesuaikan arah kebijakan perdagangannya agar tidak tertinggal, termasuk dengan mendorong percepatan keputusan KADI, memperluas cakupan penyelidikan, dan menyiapkan sistem monitoring otomatis terhadap lonjakan impor.
Ketiga, dari sisi investasi, terjadi divergensi antara ekspansi kapasitas konvensional dan inisiatif green steel berbasis energi rendah emisi. Negara-negara seperti Malaysia mulai membangun fasilitas HBI berbasis energi hijau, sementara ekspansi di Indonesia dan Asia Tenggara masih bertumpu pada teknologi lama tanpa skema transisi yang jelas. Jika arah ini tidak segera diimbangi dengan roadmap transisi nasional yang terstruktur, Indonesia berisiko kehilangan akses pasar ekspor akibat standar emisi negara tujuan. Pelaku industri perlu mendorong percepatan dukungan pemerintah untuk green procurement, insentif transisi, dan kerja sama teknologi lintas sektor. Namun di sisi lain, jika transisi dilakukan terlalu cepat tanpa perlindungan dan dukungan kebijakan yang memadai, industri baja nasional justru akan kehilangan daya saing—baik di pasar ekspor maupun domestik.
Di luar itu, kemenangan Indonesia atas Uni Eropa dalam gugatan WTO terkait bea masuk baja juga menjadi sinyal penting. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa negara mampu memperjuangkan kepentingan industrinya secara tegas di forum internasional. Jika Indonesia bisa menegakkan haknya di pasar ekspor, maka keberanian dan ketegasan serupa harus diterapkan pula dalam melindungi pasar domestik, yang kini menjadi titik rawan akibat lemahnya respons terhadap arus masuk produk murah. Keberhasilan di WTO seharusnya menjadi pijakan untuk memperkuat legitimasi dan keberanian kebijakan perlindungan nasional.
Secara keseluruhan, pekan ini menjadi pengingat bahwa daya saing industri baja nasional tidak hanya ditentukan oleh kapasitas dan biaya, tetapi juga oleh kecakapan kebijakan dalam merespons arah global yang terus bergerak. Tanpa kesiapan regulasi, instrumen perlindungan yang adaptif, dan strategi transisi yang terstruktur, industri baja Indonesia akan sulit menjaga pangsa pasar domestik dan semakin tersisih dari peta rantai pasok internasional.
Sumber Data: SunSirs, CUSteel, SteelMint, Fastmarkets, Eurometal, Steel Market Update (SMU), AISU, Argus/Platts, TradingEconomics, AustralianSteel.com, LME, SFM.