
SMInsights: Berita Baja Mingguan (19–25 Juli 2025) merangkum perkembangan penting industri baja global selama sepekan terakhir. Berita disajikan secara tematik, mencakup dinamika perdagangan, kebijakan proteksi dagang, arah investasi, serta transisi menuju green steel. Laporan ini ditujukan untuk membantu pelaku industri dan pengambil kebijakan mencermati isu-isu strategis yang memengaruhi daya saing dan arah kebijakan industri baja nasional.
1. Harga Baja
Berita tentang harga baja disajikan khusus dalam laporan terpisah:
👉 SMInsights: Harga Baja Mingguan (19–25 Juli 2025)
2. Produksi dan Perdagangan Global
Menurut data terbaru yang dirilis oleh World Steel Association (WSA), produksi baja global pada Juni 2025 mencapai 151,4 juta ton, turun 5,8% dibandingkan Juni tahun sebelumnya. Penurunan tajam secara bulanan terjadi di kawasan Asia dan Oceania (-6,2%), Uni Eropa (-8,2%), dan Eropa lainnya (-8,4%). Sebaliknya, Amerika Utara mencatat pertumbuhan 1,2% YoY, dengan produksi mencapai 8,7 juta ton, dan Amerika Selatan tumbuh 1,3%.
Secara kumulatif, produksi baja global selama Januari–Juni 2025 mencapai 934,3 juta ton, turun 2,2% YoY. Penurunan terbesar secara semesteran tercatat di kawasan Eropa lainnya (-7,1%), disusul Rusia dan CIS termasuk Ukraina serta Timur Tengah (masing-masing -5,4%). Sementara itu, India mencatat pertumbuhan tertinggi secara konsisten, dengan produksi naik 13,3% YoY pada Juni dan 9,2% secara semesteran, mencapai total 80,9 juta ton.
Berbanding terbalik dengan tren produksi yang melemah, ekspor baja China justru mencatat lonjakan signifikan. Menurut data resmi Administrasi Bea Cukai China yang dilaporkan oleh GMK Center, ekspor baja China selama Januari–Juni 2025 mencapai 58,15 juta ton, naik 9,2% YoY, dengan impor hanya sekitar 3 juta ton. Dengan demikian, China mencatat surplus ekspor bersih hampir 55 juta ton. Strategi ekspor agresif ini dilaksanakan di tengah tekanan proteksi dari negara-negara maju dan diarahkan ke negara-negara berkembang yang belum memiliki hambatan dagang tinggi.
Dampak paling mencolok dari ekspansi ekspor China tersebut terjadi di Indonesia, sebagaimana diungkap secara rinci dalam laporan SMInsights yang dirilis dalam periode pelaporan ini. Berdasarkan data Global Steel Trade Monitor (GSTM), impor produk semi-finished dari China ke Indonesia melonjak dari 39 ribu ton pada Januari–April 2024 menjadi 830 ribu ton pada periode yang sama tahun 2025. Sementara itu, impor produk baja jadi dari China meningkat dari 1,29 juta ton menjadi 1,34 juta ton, atau naik sekitar 3,9%.
Kenaikan ini bahkan terjadi sebelum tarif proteksi penuh dari Amerika Serikat berlaku efektif pada Juni, menandakan bahwa Indonesia telah menjadi target prioritas dalam strategi pengalihan ekspor China sejak awal tahun. Namun tekanan terhadap pasar domestik tidak hanya datang dari China. Dalam periode yang sama, menurut laporan yang sama dari SMInsights, Jepang juga mencatatkan peningkatan ekspor baja jadi ke Indonesia dari 534 ribu ton menjadi 733 ribu ton (naik 37%), Korea Selatan dari 254 ribu ton menjadi 325 ribu ton (naik 28%), Vietnam dari 197 ribu ton menjadi 247 ribu ton (naik 25%), serta Malaysia dari 23 ribu ton menjadi 35 ribu ton (naik 52%).
Temuan ini memperlihatkan bahwa Indonesia menjadi salah satu pasar paling terbuka dan paling dibanjiri baja impor selama paruh pertama 2025. Tanpa proteksi dan penguatan industri domestik, banjir impor dari berbagai negara berisiko terus menekan harga dalam negeri dan memperlemah utilisasi kapasitas produksi nasional.
3. Perdagangan Baja Global
Di tengah meningkatnya ekspor baja China, negara-negara mitra dagang global terus memperkuat kebijakan proteksinya. Selama periode 19–25 Juli 2025, sejumlah langkah penting tercatat di berbagai kawasan:
Kanada memperketat impor baja dari negara-negara tanpa perjanjian perdagangan bebas, termasuk China. Pemerintah memberlakukan tarif-kuota (tariff-rate quotas / TRQ) untuk lima kategori produk baja, sebagai bagian dari strategi perlindungan industri domestik. Kebijakan ini diumumkan dalam July Announcement oleh PM Mark Carney dan mulai berlaku pada akhir Juli 2025 (McMillan Law, 23 Juli 2025).
Jepang memulai penyelidikan anti-dumping terhadap produk cold-rolled stainless steel coil dan strip dari China dan Taiwan, atas permintaan tiga produsen domestik: Nippon Steel, Nippon Yakin Kogyo, dan NAS Stainless. Pemerintah Jepang mengumumkan dimulainya investigasi tersebut pada 22 Juli 2025 (METI Japan, 22 Juli 2025).
Uni Eropa mengoreksi bea anti-dumping terhadap produk baja lapis timah (tinplate) asal China. Dalam revisi final yang dirilis 25 Juli 2025, bea untuk Baosteel diturunkan menjadi 13,1%, sementara sejumlah produsen lain tetap dikenai tarif tinggi hingga 62,3% (Eurometal, 25 Juli 2025).
Uni Eropa juga membuka konsultasi publik untuk merancang kebijakan pengganti steel safeguard yang akan berakhir pada Juni 2026. Salah satu opsi yang dikaji adalah penerapan kuota-tarif berbasis produk, bukan negara. Indonesia menjadi sorotan karena lonjakan ekspor HRC ke Uni Eropa dari 64.213 ton (Januari–April 2024) menjadi 213.152 ton (Januari–April 2025) yang berpotensi memicu tindakan pengamanan atau anti-dumping (Eurometal, 23 Juli 2025).
Inggris mewajibkan registrasi impor hot-rolled steel plate asal Korea Selatan. Langkah ini menandai potensi dimulainya investigasi anti-dumping atau tindakan pengamanan apabila ditemukan lonjakan volume atau praktik tidak wajar (UK Government, 23 Juli 2025).
4. Investasi & Green Steel
Meskipun industri baja global menghadapi kelebihan kapasitas hingga lebih dari 600 juta ton, namun di berbagai negara investasi pengembangan kapasitas terus dilakukan mengingat industri baja sangat strategis dan tidak ada negara yang ingin bergantung pada negara lainnya untuk pemenuhan kebutuhan baja. Pada periode 19–25 Juli 2025 ditandai oleh sejumlah investasi besar yang menunjukkan arah baru sektor baja menuju dekarbonisasi dan peningkatan kapasitas:
Prancis memperkuat posisinya dalam green steel melalui proyek DRI berbasis hidrogen. Perusahaan GravitHy resmi menandatangani perjanjian konsesi lahan dengan Pelabuhan Marseille pada 25 Juli 2025 untuk pembangunan pabrik DRI/HBI senilai EUR 2,2 miliar dengan kapasitas hingga 2 juta ton per tahun. Pabrik direncanakan mulai beroperasi pada 2029 (Kallanish, 25 Juli 2025).
Nigeria memperoleh komitmen investasi senilai USD 20 miliar dari konsorsium investor China untuk pengembangan industri baja, energi, dan logistik, sebagai bagian dari proyek strategis Nigeria-China Strategic Partnership (NCSP) (The Sun Nigeria, 23 Juli 2025).
Aljazair melalui Tosyali Algerie mengamankan pembiayaan obligasi sebesar USD 110 juta untuk proyek ekspansi flat steel domestik. Pendanaan ini menunjukkan meningkatnya kepercayaan investor lokal terhadap sektor baja Aljazair (SteelRadar, 23 Juli 2025).
Inggris mengumumkan investasi lebih dari GBP 400 juta di fasilitas Sheffield Forgemasters untuk mendukung modernisasi teknologi dan penguatan kapasitas baja strategis, khususnya di sektor pertahanan dan infrastruktur (Yorkshire.com, 23 Juli 2025).
Isu Strategis yang Perlu Dicermati
Indonesia Berisiko Menjadi Tujuan Limpahan Ekspor Global
Lonjakan ekspor baja—terutama dari China—berisiko menjadikan Indonesia sebagai pasar alternatif utama akibat lemahnya proteksi impor nasional. Ketika negara-negara besar memperketat akses masuk baja melalui tarif dan bea anti-dumping, arus ekspor global cenderung dialihkan ke negara yang belum membangun benteng perdagangan. Tanpa penguatan sistem monitoring dan instrumen trade remedies, tekanan terhadap pasar domestik akan semakin besar dan dapat mengancam keberlanjutan industri baja nasional.
Proteksionisme Global Semakin Sistematis dan Terus Menguat
Langkah kolektif negara-negara mitra dagang dalam memperketat pasar menunjukkan bahwa kebijakan proteksi kini bukan respons ad hoc, melainkan strategi permanen. Indonesia perlu memperhatikan dan menyusun kebijakan secara sistemik, bukan kasus per kasus, agar kebijakan dagangnya adaptif terhadap arus global baru, khususnya di sektor baja.
Keanggotaan GFSE: Antara Tekanan Global dan Kebutuhan Industrialisasi Nasional
Keputusan Indonesia untuk bergabung dalam Global Forum on Steel Excess Capacity harus disikapi dengan penuh kehati-hatian. Di satu sisi, forum ini sering menjadi ajang tekanan politik terhadap negara-negara yang sedang membangun kapasitas industri baja. Di sisi lain, Indonesia membutuhkan tambahan kapasitas hingga 100 juta ton pada 2045 untuk mendukung visi Indonesia Emas. Tanpa ekspansi kapasitas dalam negeri, Indonesia akan terus bergantung pada impor baja dari negara lain dan akan kehilangan kemandirian industri. Pemerintah perlu memastikan bahwa partisipasi Indonesia dalam GFSE tidak menjadi hambatan bagi strategi industrialisasi nasional yang sejalan dengan agenda pembangunan jangka panjang.
Investasi & Green Steel: Strategis di Tengah Kelebihan Kapasitas
Meskipun industri baja global saat ini mengalami kelebihan kapasitas lebih dari 600 juta ton, investasi pengembangan kapasitas tetap berlangsung di berbagai negara. Hal ini mencerminkan bahwa baja dipandang sebagai sektor strategis yang tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada pasar global—tidak ada negara yang ingin bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan baja nasionalnya. Selama periode 19–25 Juli 2025, sejumlah investasi besar menegaskan arah baru industri ini: kombinasi antara peningkatan kapasitas domestik dan transisi menuju teknologi rendah emisi. Kedua arah ini—baik ekspansi kapasitas maupun dekarbonisasi—dilakukan oleh masing-masing negara sesuai dengan kebutuhan nasional dan tuntutan global yang terus berkembang.