Saatnya Danantara dan Krakatau Steel Hadir dalam Arsitektur Industri Stainless Steel Nasional

Penandatanganan kerja sama antara POSCO Holdings dan Tsingshan Group untuk membangun fasilitas produksi stainless steel di Morowali menjadi momentum penting bagi Indonesia. Proyek ini bukan sekadar ekspansi kapasitas, tetapi menandai babak baru dalam rantai pasok nikel global yang seluruh fondasinya bersumber dari kekayaan alam nasional. Kini, saatnya Indonesia lebih berperan aktif dan menjadi pemegang kendali atas arah pengembangan industrinya.

Tanpa kehadiran negara dalam struktur kepemilikan, nilai tambah dan arah pengembangan industri akan tetap ditentukan kepentingan bisnis investor. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk menata kembali arsitektur hilirisasi nikel nasional, agar prosesnya tidak berhenti di tahap smelter, tetapi berlanjut ke manufaktur bernilai tinggi yang dikendalikan oleh bangsa sendiri. Dalam konteks inilah, Danantara memiliki peran strategis sebagai instrumen investasi negara untuk memastikan bahwa hilirisasi menjadi penggerak industrialisasi berkelanjutan dan manfaatnya benar-benar kembali ke ekonomi nasional.

Nilai Strategis Industri Stainless Steel

Stainless steel bukan sekadar produk baja tahan karat; ia adalah material strategis yang menopang fondasi ekonomi industri modern. Hampir seluruh sektor bernilai tambah tinggi bergantung padanya—mulai dari energi bersih, kimia, alat kesehatan, teknologi presisi, hingga pertahanan dan transportasi laut. Lebih dari sekadar material, stainless steel merupakan bagian integral dari arsitektur ekonomi modern—membangun keterkaitan lintas sektor yang menentukan daya saing industri nasional.

Negara-negara dengan basis industri maju menempatkan stainless steel sebagai bagian dari strategi industrialisasi jangka panjang. Tiongkok memperkuat posisinya melalui konsolidasi BUMN seperti Baowu–TISCO, Ansteel, dan JISCO yang menguasai rantai nilai dari hulu hingga hilir, India memadukan peran SAIL sebagai BUMN dengan Jindal Stainless sebagai produsen nasional swasta, sementara Finlandia mempertahankan kendali strategis melalui kepemilikan negara di Outokumpu. Di sisi lain, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menegakkan peran negara melalui kebijakan industri, riset, energi, dan proteksi pasar yang memastikan keberlanjutan daya saing industrinya. Meskipun pola keterlibatan negara tampak berbeda, prinsip dasarnya sama: negara tidak pernah absen, melainkan hadir untuk memastikan arah pengembangan industri tetap selaras dengan kepentingan nasional dan agar nilai tambahnya bertumpu di dalam negeri.

Bagi Indonesia, pembelajaran ini sangat relevan. Keunggulan sumber daya alam berupa nikel dan batubara memberikan fondasi biaya produksi yang kompetitif, menjadikan Indonesia salah satu produsen stainless steel berbiaya terendah di dunia. Namun keunggulan daya saing biaya tanpa arah kebijakan dan kepemilikan strategis hanya akan menempatkan Indonesia sebagai pemasok pasif bagi kebutuhan global, bukan sebagai pemain utama yang mampu menentukan arah dan strategi pengembangan rantai nilai stainless nasional maupun internasional. Agar potensi tersebut benar-benar menjadi kekuatan industri, negara perlu mengambil peran aktif dalam investasi dan kemitraan strategis sehingga seluruh proses hilirisasi dapat menghasilkan nilai tambah, kemandirian, dan kapabilitas industri di dalam negeri.

Indonesia menargetkan diri menjadi negara maju pada 2045. Pencapaian visi tersebut hanya mungkin jika industrialisasi dijalankan secara terarah dan berorientasi nilai tambah tinggi. Dalam kerangka itu, stainless steel menempati posisi sangat strategis—bukan semata karena potensinya secara ekonomi, tetapi karena perannya sebagai material dasar bagi sektor-sektor yang menopang kemajuan industri modern. Dengan kebijakan dan kepemilikan yang tepat, stainless steel dapat menjadi salah satu pilar utama transformasi ekonomi Indonesia menuju struktur industri yang kuat, mandiri, dan berdaya saing global.

Mengapa Negara Harus Hadir: Urgensi Peran Danantara dan Krakatau Steel

Hilirisasi nikel telah membawa kemajuan besar bagi industri nasional, namun tahap perkembangannya masih menyisakan ruang untuk penyempurnaan dalam membangun arsitektur industri yang lebih utuh dan berkelanjutan. Ekspansi investasi memang berhasil meningkatkan kapasitas produksi dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, tetapi nilai tambah yang tercipta belum sepenuhnya tertanam di dalam negeri. Karena itu, penguatan peran negara menjadi penting agar hilirisasi tidak berhenti pada peningkatan volume produksi, melainkan berkembang menjadi sarana membangun kapabilitas industri nasional secara berkelanjutan.

Pertama, negara perlu hadir untuk memastikan bahwa hilirisasi tidak berhenti pada produksi hulu yang hanya memenuhi kepentingan industri luar negeri. Saat ini, sebagian besar hasil hilirisasi stainless steel masih berupa produk antara seperti nickel pig iron (NPI), slab, dan billet stainless yang diekspor untuk memenuhi kebutuhan pabrik mitra investor di luar negeri. Kondisi ini wajar di fase awal, tetapi ke depan perlu diimbangi dengan penguatan kapasitas hilir agar nilai tambahnya lebih besar dinikmati di dalam negeri.

Kedua, peran negara juga diperlukan agar manfaat ekonomi dari hilirisasi dapat dirasakan secara langsung, bukan hanya melalui penerimaan pajak dan royalti. Keterlibatan negara dalam sektor bernilai tambah tinggi memungkinkan pemerintah memperoleh manfaat ekonomi yang lebih besar dan berkelanjutan, sekaligus menjadikan hilirisasi sebagai sumber penerimaan produktif yang memperkuat struktur industri dan kemandirian nasional.

Ketiga, Danantara memiliki mandat kelembagaan untuk memperkuat kehadiran negara dalam sektor-sektor strategis bernilai tinggi. Sebagai instrumen investasi negara, Danantara dirancang untuk mengoptimalkan pengelolaan aset publik sekaligus mendorong partisipasi nasional dalam kegiatan ekonomi jangka panjang. Melalui peran ini, pemerintah dapat memastikan hilirisasi bergerak menuju manufaktur bernilai tinggi yang memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian nasional.

Keempat, Krakatau Steel perlu memperkuat portofolio industrinya dengan masuk ke sektor yang memiliki daya saing struktural dan prospek jangka panjang lebih baik. Selama ini, industri baja karbon yang menjadi basis utama KS menghadapi tekanan karena ketergantungan pada bahan baku impor. Sebaliknya, industri stainless berbasis nikel domestik memiliki keunggulan biaya dan keberlanjutan pasokan yang lebih baik. Keterlibatan KS dalam industri stainless akan menjadi langkah strategis untuk membangun portofolio baru yang efisien, bernilai tambah tinggi, dan berkontribusi langsung terhadap agenda hilirisasi nasional.

Bagi pemerintah, keterlibatan dalam industri stainless merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa arah hilirisasi berjalan selaras dengan kepentingan nasional dan memberikan manfaat optimal bagi bangsa. Selama ini, hilirisasi stainless steel memang telah berkembang pesat, bahkan mulai memasuki tahap yang lebih hilir melalui investasi seperti JV POSCO–Tsingshan. Namun tanpa kehadiran negara dalam struktur kepemilikan, arah pengembangan industri berisiko lebih banyak ditentukan oleh kepentingan bisnis global, bukan strategi industrialisasi Indonesia. Dengan keterlibatan langsung, pemerintah dapat memastikan agar setiap tahap pengembangan—dari peleburan hingga manufaktur akhir—memberikan manfaat ekonomi yang maksimal di dalam negeri, mencakup perluasan lapangan kerja berkualitas, peningkatan nilai tambah dan kapabilitas industri nasional, perbaikan neraca perdagangan, serta dividen sebagai manfaat finansial tambahan bagi negara.

Strategi dan Arah Kebijakan ke Depan

Rencana JV POSCO–Tsingshan menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk menata kembali arsitektur industri stainless steel nasional. Namun langkah ini tidak boleh dipandang sebagai satu-satunya jalur. Pemerintah memiliki ruang yang luas untuk memperkuat keterlibatannya melalui berbagai bentuk kemitraan dan kepemilikan strategis di bagian lain rantai pasok—mulai dari pengolahan bahan baku hingga manufaktur produk akhir—agar kendali atas arah hilirisasi nasional tetap berada di tangan bangsa sendiri.

Keterlibatan negara sebagai anchor state-owned enterprise akan memastikan arah hilirisasi tetap selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Danantara berperan sebagai katalis investasi dan penjaga kepentingan strategis negara, sementara Krakatau Steel membawa pengalaman teknis dan kapasitas manufaktur untuk memperkuat basis industri dalam negeri. Pada saat yang sama, sinergi dengan pemilik IUP milik BUMN seperti Antam dan MIND ID, serta kemitraan dengan pelaku swasta nasional, akan memperkuat posisi negara dalam menentukan arah pengembangan industri dan memastikan bahwa nilai tambahnya tetap terakumulasi di dalam negeri.

Lebih jauh, arah keterlibatan negara perlu difokuskan pada pengembangan produk stainless bernilai tinggi yang mendukung transformasi menuju industri berteknologi maju. Segmen dasar seperti peralatan makan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat menjadi titik awal perluasan pasar domestik, namun arah strategisnya harus bergerak ke sektor-sektor berpresisi tinggi dan berlingkungan ekstrem. Stainless steel kelas atas digunakan dalam sistem bertekanan dan bersuhu tinggi, serta proses industri canggih—seperti heat recovery system, hydrogen production, dan nuclear cooling system di sektor energi; surgical instruments, sterile processing equipment, dan pharmaceutical reactors di sektor kesehatan dan bioteknologi; hingga offshore platform, desalination unit, dan chemical tanker system di industri kelautan dan petrokimia. Penguasaan pada segmen ini akan menempatkan Indonesia dalam lintasan penguasaan teknologi material canggih yang menjadi fondasi utama industrialisasi berkelanjutan.

Indonesia telah menjadi produsen stainless steel terbesar kedua di dunia, namun sebagian besar nilai tambahnya masih dinikmati di luar negeri. Momentum investasi besar seperti JV POSCO–Tsingshan harus dimanfaatkan untuk menegaskan kehadiran negara dalam membangun kemandirian industri stainless nasional. Kehadiran negara dalam struktur industri menjadi faktor kunci agar hilirisasi nikel benar-benar berpihak pada kepentingan nasional dan menghasilkan manfaat ekonomi yang berkelanjutan.

Danantara dan Krakatau Steel perlu hadir dalam struktur industri stainless steel sebagai bagian integral dari arsitektur pembangunan industri nasional. Melalui keterlibatan strategis ini, negara dapat memastikan bahwa hilirisasi nikel menjadi sarana membangun kapabilitas industri nasional, memperkuat kedaulatan ekonomi, dan meletakkan fondasi bagi pencapaian visi Indonesia Emas 2045.