
Setiap 17 Agustus, kita merayakan hari ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun di abad ke-21, kemerdekaan bukan lagi hanya soal berkibarnya bendera atau tegaknya kedaulatan wilayah, tetapi juga soal kemampuan bangsa berdiri di atas kaki sendiri dalam memenuhi kebutuhan strategisnya. Dalam konteks ini, industri baja menempati posisi yang tak tergantikan. Baja adalah fondasi fisik dari kedaulatan: membentuk jembatan yang menghubungkan pulau-pulau, rel kereta yang menggerakkan perdagangan, gedung yang menopang pusat pemerintahan, hingga kapal perang dan alutsista yang menjaga pertahanan negara. Tanpa industri baja yang kuat, pembangunan infrastruktur akan bergantung pada impor, rantai pasok pertahanan menjadi rapuh, dan daya tawar ekonomi melemah. Bagi bangsa yang ingin benar-benar merdeka, penguasaan industri baja bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan bagian dari strategi mempertahankan kemerdekaan itu sendiri.
Setelah hampir delapan dekade merdeka, Indonesia telah membuktikan kemampuannya menjaga kedaulatan politik. Namun, kemerdekaan ekonomi—termasuk di sektor baja—masih menjadi pekerjaan besar. Di satu sisi, kita telah berhasil membangun kapasitas produksi yang lebih besar dibanding masa lalu, bahkan menjadi salah satu pemain utama baja tahan karat di dunia. Di sisi lain, kebutuhan baja karbon untuk infrastruktur, otomotif, dan pertahanan masih sebagian besar bergantung pada impor. Kondisi ini membuat kita rawan terhadap fluktuasi harga global, kebijakan proteksionis negara lain, dan gangguan rantai pasok internasional.
Pelajaran dari dunia menunjukkan bahwa negara-negara yang memandang baja sebagai sektor strategis mampu menggunakannya sebagai alat mempertahankan kedaulatan. Amerika Serikat, misalnya, menempatkan industri baja sebagai komponen keamanan nasional dan berani melindunginya dengan tarif tinggi serta pembatasan kepemilikan asing. Tiongkok menjadikan baja sebagai motor industrialisasi dan instrumen diplomasi ekonominya, sementara Uni Eropa menganggap baja sebagai bagian dari otonomi strategis yang harus dilindungi dari kompetisi tidak sehat. India, sebagai negara berkembang dengan visi kemandirian, membangun kapasitas bajanya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk menjadi eksportir yang disegani.
Bahkan di negara yang sedang berperang seperti Ukraina, industri baja menjadi bagian dari kekuatan bertahan hidup. Pabrik-pabrik baja bukan hanya menopang ekonomi, tetapi juga berperan langsung memproduksi material untuk pertahanan. Dari pengalaman negara-negara tersebut, jelas bahwa baja bukan sekadar komoditas industri, melainkan salah satu fondasi utama untuk menjaga kemerdekaan bernegara dan kemerdekaan ekonomi.
Amerika Serikat: Baja sebagai Pilar Keamanan dan Kedaulatan Ekonomi
Bagi Amerika Serikat, industri baja bukan sekadar sektor manufaktur; ia adalah pilar kekuatan nasional yang menopang kedaulatan ekonomi dan pertahanan negara. Sejak awal abad ke-20, baja domestik menjadi fondasi pembangunan infrastruktur raksasa dan kekuatan militernya. Pada masa Perang Dunia II, pabrik-pabrik baja di Pittsburgh, Chicago, dan wilayah Midwest bekerja tanpa henti memproduksi baja untuk tank, kapal perang, pesawat, dan senjata. Keyakinan bahwa tanpa baja buatan sendiri Amerika tidak akan mampu mempertahankan posisinya sebagai kekuatan dunia terus tertanam, membentuk dasar kebijakan proteksionis yang konsisten lintas dekade.
Jejak sejarahnya panjang. Pada 1930, Presiden Herbert Hoover memberlakukan Smoot-Hawley Tariff Act yang menaikkan tarif baja dan ratusan komoditas lain hingga di atas 50 persen. Presiden Richard Nixon pada 1971 menerapkan Nixon Shock dengan tarif tambahan 10 persen terhadap semua impor, termasuk baja. Ronald Reagan pada 1984 membuat Voluntary Restraint Agreements (VRAs) yang membatasi ekspor baja Jepang, Korea Selatan, dan Eropa ke AS. George W. Bush pada 2002 menerapkan safeguard tariffs hingga 30 persen, Barack Obama fokus pada trade remedies seperti anti-dumping dan countervailing duties, sedangkan Donald Trump pada 2018 meluncurkan tarif 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium dengan alasan keamanan nasional.
Konsistensi ini berlanjut di era Joe Biden yang mempertahankan tarif baja 25 persen sambil menyesuaikannya dengan tariff-rate quota untuk sekutu seperti Uni Eropa. Namun proteksionisme baja memasuki fase baru di 2025. Pada 10 Februari 2025, Trump memperluas cakupan Section 232 dan mengakhiri berbagai pengecualian negara maupun produk, sambil mempertahankan tarif baja di level 25 persen. Kemudian pada 2 April, ia meluncurkan paket “Liberation Day tariffs” sebagai kerangka kebijakan proteksi luas lintas komoditas.
Puncaknya datang pada 30 Mei 2025, ketika Trump mengumumkan rencana menggandakan tarif baja menjadi 50 persen dalam pidato di fasilitas U.S. Steel Mon Valley Works–Irvin Plant, Pennsylvania. Kenaikan ini resmi berlaku pada 4 Juni 2025, setelah Gedung Putih merilis ketentuan final yang menetapkan tarif baja dan aluminium di level 50 persen untuk semua negara pengekspor. Langkah ini menjadi loncatan tarif terbesar dalam sejarah baja AS sejak Smoot-Hawley, dengan tujuan melindungi lapangan kerja, memulihkan kapasitas industri domestik, dan memperkuat kemandirian rantai pasok nasional.
Kebijakan tarif 50 persen ini berjalan paralel dengan penguatan kontrol strategis pemerintah atas industri baja, salah satunya melalui penerapan golden share pada US Steel sebagai bagian dari National Security Agreement pada 18 Juni 2025. Meski instrumennya berbeda, kedua kebijakan ini lahir dari prinsip yang sama: baja adalah aset kedaulatan ekonomi yang harus dijaga negara, baik melalui tembok tarif maupun pengawasan langsung terhadap perusahaan strategis.
Bagi Indonesia, pesan dari Amerika Serikat jelas: bahkan negara yang selama ini menjadi simbol perdagangan bebas pun tidak ragu mengambil langkah ekstrem untuk melindungi industrinya ketika menyangkut baja. Jika AS berani memagari pasarnya dengan tarif setinggi itu, negara berkembang seperti Indonesia perlu memikirkan strategi serupa—tentu disesuaikan dengan kondisi domestik—untuk memastikan industri baja tetap menjadi fondasi kemandirian ekonomi dan keamanan nasional.
Tiongkok: Raksasa Baja untuk Kemandirian dan Kekuatan Global
Jika abad ke-20 pernah dikuasai oleh Amerika Serikat dalam produksi baja, maka abad ke-21 adalah panggung bagi Tiongkok. Dalam kurun waktu kurang dari tiga dekade, negeri ini bertransformasi dari importir baja menjadi produsen terbesar dunia, menguasai lebih dari separuh output global. Perubahan dramatis ini bukanlah hasil pasar bebas semata, melainkan buah dari strategi negara yang memandang baja sebagai fondasi kemandirian ekonomi dan kekuatan nasional.
Sejak awal 2000-an, Beijing menetapkan swasembada industri berat sebagai prioritas pembangunan. Pemerintah memobilisasi subsidi, proteksi, insentif fiskal, dan dukungan pembiayaan bank milik negara untuk mendorong ekspansi kapasitas baja. Dalam periode 2000–2019, kapasitas produksi baja Tiongkok melonjak sekitar 930 juta ton per tahun—setara penambahan yang lebih besar daripada total kapasitas seluruh negara produsen lain pada saat itu. Infrastruktur skala raksasa—dari jaringan kereta cepat ribuan kilometer, bendungan, hingga kota-kota metropolitan baru—menciptakan permintaan domestik baja dalam jumlah luar biasa, yang semuanya dipenuhi oleh pabrik-pabrik dalam negeri.
Dominasi baja domestik memberi Tiongkok dua keuntungan strategis. Pertama, jaminan pasokan untuk pembangunan dan pertahanan. Militer Tiongkok (PLA) membutuhkan baja berkekuatan tinggi untuk kapal perang, kendaraan lapis baja, dan sistem persenjataan canggih. Dengan kapasitas produksi yang terkonsentrasi di dalam negeri, Beijing tidak perlu khawatir terhadap embargo atau gangguan suplai dari luar negeri. Kedua, daya tawar ekonomi di pasar global. Surplus kapasitas yang besar memungkinkan Tiongkok mengekspor baja ke seluruh dunia dengan harga kompetitif. Meskipun banyak negara menganggap ini sebagai praktik dumping yang merusak industri mereka, bagi Beijing ekspor tersebut memperkuat pengaruh ekonominya, memperdalam keterikatan negara lain pada pasokan baja Tiongkok, dan membantu menjaga utilisasi industri dalam negeri.
Strategi Tiongkok juga mencakup ekspansi ke luar negeri. Melalui perusahaan-perusahaan raksasa seperti Baowu Steel dan HBIS, Tiongkok berinvestasi di pabrik baja di Asia Tenggara, Afrika, hingga Eropa Timur. Tujuannya berlapis: mengamankan pasar ekspor, mem-bypass hambatan dagang, dan mengamankan sumber bahan baku seperti bijih besi dan batubara metalurgi. Langkah ini memperkuat integrasi Tiongkok dalam rantai pasok baja global sekaligus mengurangi ketergantungan pada pemasok tunggal.
Bersamaan dengan keberhasilannya menjadi raksasa baja dunia, Tiongkok juga menghadapi tantangan besar berupa kelebihan kapasitas yang telah menjadi isu global selama lebih dari satu dekade. Surplus produksi ini kerap memicu perang dagang dan mendorong negara-negara lain menerapkan langkah proteksi untuk melindungi industrinya. Menyadari tekanan internasional tersebut, Beijing kini melakukan langkah besar-besaran untuk merombak struktur industrinya. Selain menutup pabrik-pabrik yang boros energi dan tinggi emisi, Tiongkok juga mengembangkan berbagai teknologi produksi baja rendah emisi dan memperluas penggunaan energi terbarukan dalam proses produksinya. Langkah-langkah ini tidak hanya dimaksudkan untuk meredam ketegangan dagang, tetapi juga untuk memenuhi target pengurangan emisi sektor baja, sejalan dengan komitmen mencapai puncak emisi sebelum 2030 dan netral karbon pada 2060.
Bagi Beijing, baja bukan sekadar industri, melainkan instrumen kedaulatan. Menguasai rantai nilai dari hulu hingga hilir memungkinkan negara mengendalikan harga domestik, menjamin pasokan untuk sektor strategis, dan menggunakan ekspor sebagai alat diplomasi ekonomi. Bahkan ketika ditekan oleh tarif tinggi seperti yang diberlakukan AS, Tiongkok masih mampu mempertahankan posisinya sebagai penentu tren harga global.
Pelajaran bagi Indonesia dari pengalaman Tiongkok jelas: membangun industri baja yang kuat memerlukan keberpihakan negara, keberanian berinvestasi dalam kapasitas besar, dan strategi terintegrasi dari bahan baku hingga produk akhir. Swasembada baja bukan hanya soal memenuhi kebutuhan konstruksi, tetapi juga menciptakan ketahanan nasional dan posisi tawar di panggung global.
Uni Eropa: Dari Simbol Perdamaian ke Pilar Kedaulatan Strategis
Sejarah modern Uni Eropa tidak bisa dilepaskan dari baja. Setelah Perang Dunia II, para pemimpin Eropa Barat menyadari bahwa baja dan batu bara adalah inti dari kemampuan militer. Menteri Luar Negeri Prancis Robert Schuman pada 9 Mei 1950 mengusulkan agar industri batu bara dan baja Prancis serta Jerman Barat disatukan dalam satu otoritas supranasional. Gagasannya sederhana namun revolusioner: jika dua komoditas yang menjadi jantung persenjataan dan perang dikelola bersama, maka kemungkinan pecahnya konflik besar di benua Eropa akan berkurang drastis.
Hasilnya adalah pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC) pada 1952, organisasi pendahulu Uni Eropa yang mengintegrasikan industri baja dan batu bara enam negara pendiri (Prancis, Jerman Barat, Italia, Belgia, Belanda, dan Luksemburg). ECSC bukan hanya proyek ekonomi, tetapi juga proyek perdamaian—mencegah persaingan memproduksi baja untuk perang dan menggantinya dengan kolaborasi untuk membangun kembali benua yang hancur. Selama dekade 1950–1960, baja Eropa dialirkan untuk rekonstruksi kota, pembangunan infrastruktur, dan modernisasi industri.
Memasuki abad ke-21, peran baja di Eropa telah bergeser dari simbol perdamaian menjadi pilar kedaulatan strategis. Istilah ini merujuk pada kemampuan Uni Eropa untuk memenuhi kebutuhan sektor-sektor vitalnya—termasuk baja—tanpa bergantung berlebihan pada pihak luar, sehingga dapat mengambil keputusan industri dan ekonomi berdasarkan kepentingan internal, bahkan di tengah guncangan global. Seperti ditekankan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada 2025, baja Eropa harus “diproduksi oleh Eropa, untuk Eropa” agar tetap menjadi fondasi keamanan ekonomi dan ketahanan industri di tengah persaingan global.
Industri baja Eropa saat ini mencakup lebih dari 500 fasilitas di 22 negara anggota, berkontribusi sekitar €80 miliar per tahun terhadap PDB, dan menyediakan jutaan lapangan kerja langsung maupun tidak langsung. Baja Eropa menjadi tulang punggung bagi sektor otomotif, konstruksi, energi, dan pertahanan. Namun, industri ini menghadapi tekanan serius. Masuknya baja murah dari luar, khususnya dari Tiongkok, memicu penurunan harga dan ancaman deindustrialisasi. Krisis energi pasca invasi Rusia ke Ukraina memperparah beban biaya produksi, memaksa beberapa pabrik mengurangi kapasitas atau bahkan tutup sementara.
Uni Eropa merespons dengan instrumen anti-dumping dan safeguard measures untuk membatasi masuknya baja murah, sekaligus menggelontorkan dana untuk transisi ke baja rendah emisi agar tetap kompetitif di era dekarbonisasi. Pada 2025, Komisi Eropa meluncurkan Steel and Metals Action Plan sebagai bagian dari upaya memperkuat kedaulatan industri strategis. Dalam kerangka ini, baja tidak lagi dipandang sekadar produk industri, tetapi sebagai pilar keamanan ekonomi dan daya tahan Eropa menghadapi guncangan global.
Pengalaman Uni Eropa memberi pelajaran berharga bagi Indonesia: pengelolaan baja tidak hanya soal kapasitas produksi, tetapi juga strategi menjaga keberlanjutan industri di tengah kompetisi global. Integrasi kebijakan perdagangan, inovasi teknologi, dan perlindungan pasar menjadi kunci agar baja tetap menjadi instrumen kedaulatan ekonomi, bukan sekadar komoditas yang mudah tergantikan oleh impor.
India: Komitmen Politik Kementerian Baja dan Kemandirian
India memproklamasikan kemerdekaannya pada 1947, hanya dua tahun setelah Indonesia. Namun, jalur pembangunan industrinya membuat negeri itu kini melesat jauh di sektor baja. Pada 2025, kapasitas produksi baja India telah mencapai sekitar 205 juta ton per tahun, menjadikannya produsen terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Pemerintah India menargetkan kapasitas ini naik menjadi 300 juta ton pada 2030 dan 500 juta ton pada 2047, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaannya. Sebagai perbandingan, Indonesia yang merdeka lebih dulu baru memiliki kapasitas sekitar 21 juta ton pada 2025, menargetkan 27 juta ton pada 2029, dan diperkirakan membutuhkan lebih dari 100 juta ton pada 2045 untuk menopang visi Indonesia Emas. Kesenjangan ini mencerminkan perbedaan arah dan konsistensi kebijakan industri yang dijalankan kedua negara selama puluhan tahun.
Sejak awal kemerdekaannya, para pemimpin India seperti Jawaharlal Nehru memandang industrialisasi sebagai jalan menuju bangsa yang benar-benar berdiri di atas kaki sendiri. Di antara sektor industri yang diprioritaskan, baja menempati posisi sentral. Nehru bahkan menyebut pabrik baja sebagai “kuil-kuil modern” — simbol kekuatan industri yang akan menopang masa depan negara. Pemerintah segera mengambil langkah konkret dengan membangun pabrik baja berskala besar di Bhilai, Rourkela, dan Durgapur pada 1950-an, bekerja sama dengan mitra internasional tetapi tetap dengan kendali domestik yang kuat.
Komitmen pembangunan industri baja telah nampak sejak pembentukan Kementerian Baja, Tambang dan Bahan Bakar pada tahun 1957, yang diperkuat dan dilembagakan secara permanen melalui pembentukan Kementerian Baja (Ministry of Steel) pada tahun 1966. Langkah ini menunjukkan keseriusan India dalam menjaga kedaulatan industri baja sejak era pascakemerdekaan, dengan menempatkannya di bawah perhatian dan koordinasi langsung kementerian khusus. Keberadaan kementerian ini memastikan bahwa kebijakan, investasi, dan pengawasan industri baja berada di bawah mandat nasional tertinggi.
Strategi swasembada baja ini berlanjut lintas pemerintahan. Pemerintah India secara konsisten mengarahkan investasi ke sektor baja, baik melalui perusahaan negara seperti Steel Authority of India Limited (SAIL) maupun kemitraan dengan sektor swasta. Kebijakan National Steel Policy menargetkan peningkatan kapasitas secara bertahap, sekaligus mendorong hilirisasi untuk menghasilkan baja bernilai tambah tinggi. Fokusnya tidak hanya pada volume produksi, tetapi juga kualitas dan keberagaman produk, termasuk baja otomotif berkekuatan tinggi, baja listrik untuk motor kendaraan listrik, dan baja khusus untuk konstruksi infrastruktur besar.
Namun, perjalanan menuju kemandirian baja tidak bebas tantangan. India memang memiliki cadangan bijih besi yang melimpah, tetapi sangat bergantung pada impor batubara metalurgi untuk proses produksi, yang membuat biaya produksinya rentan terhadap fluktuasi harga global. Persaingan ketat dari baja murah Tiongkok memaksa pemerintah menerapkan kebijakan anti-dumping dan safeguard untuk melindungi produsen domestik. Selain itu, India dihadapkan pada tuntutan global untuk mengurangi emisi karbon di sektor baja, yang menjadi pendorong pengembangan teknologi produksi rendah emisi dan peningkatan efisiensi energi di industri ini.
Baja juga ditempatkan dalam strategi pertahanan nasional India. Baja berkekuatan tinggi untuk kapal perang, tank, dan proyek infrastruktur militer diproduksi oleh perusahaan domestik bekerja sama dengan lembaga penelitian pertahanan seperti Defence Research and Development Organisation (DRDO). Langkah ini memastikan bahwa kebutuhan baja untuk alutsista dapat dipenuhi tanpa bergantung pada pemasok asing, sehingga kemandirian ekonomi berjalan seiring dengan kemandirian pertahanan.
Pelajaran bagi Indonesia: Keberadaan Kementerian Baja di India adalah simbol komitmen politik dan institusional yang kuat terhadap industri ini. Indonesia, yang hingga kini belum memiliki struktur kelembagaan setara, dapat mempertimbangkan langkah serupa agar kebijakan sektor baja lebih terkoordinasi, terukur, dan berkesinambungan. Kemandirian baja memerlukan visi jangka panjang, investasi besar, perlindungan pasar, serta dukungan kelembagaan yang konsisten. Seperti India, Indonesia perlu menempatkan baja sebagai tulang punggung pembangunan infrastruktur dan sektor strategis lainnya, bukan sekadar komoditas industri. Kemandirian ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga pondasi bagi kemerdekaan politik yang berkelanjutan.
Negara dalam Konflik: Baja sebagai Penopang Ketahanan Nasional
Perang sering kali menguji bukan hanya kekuatan militer suatu negara, tetapi juga ketahanan industrinya. Baja, sebagai bahan dasar peralatan tempur, infrastruktur logistik, dan rekonstruksi pascaperang, menjadi salah satu elemen paling vital dalam bertahan hidupnya sebuah negara di tengah konflik. Kemampuan memproduksi baja secara mandiri menjadi penentu bukan hanya bagi kelangsungan operasi militer, tetapi juga bagi stabilitas ekonomi. Baja diperlukan untuk dua tujuan strategis sekaligus: mendukung kemampuan tempur melalui pasokan material bagi alutsista dan infrastruktur pertahanan, serta menjaga ketahanan ekonomi dengan memenuhi kebutuhan domestik dan mempertahankan posisi neraca perdagangan melalui ekspor maupun pengendalian impor.
Contoh paling jelas terlihat di Ukraina. Sebelum pecahnya perang pada 2022, Ukraina adalah salah satu produsen baja terbesar di Eropa, dengan pabrik Azovstal di Mariupol sebagai simbol kekuatan industrinya. Pabrik ini tidak hanya menyumbang porsi besar produksi baja nasional, tetapi juga menjadi benteng pertahanan dalam pertempuran — para tentara dan warga sipil bertahan berminggu-minggu di terowongan dan bunker pabrik saat pengepungan. Kehancuran Azovstal mengurangi kapasitas industri baja Ukraina secara signifikan, melemahkan kemampuan negara tersebut untuk menopang upaya pertahanan dan rekonstruksi.
Pentingnya baja dalam konteks konflik juga terlihat dari bagaimana industri Ukraina beradaptasi. Perusahaan-perusahaan baja yang masih beroperasi mengalihkan sebagian kapasitasnya untuk memproduksi lempengan baja bagi rompi antipeluru, helm, dan kebutuhan militer lainnya, sekaligus mempertahankan produksi komersial untuk mendukung posisi neraca perdagangan negara. Para eksekutif industri di sana secara terbuka menyatakan bahwa pekerja baja sama pentingnya bagi keberlangsungan negara seperti halnya prajurit di garis depan — menegaskan bahwa ekonomi dan pertahanan adalah dua sisi dari koin yang sama.
Iran memberikan contoh lain. Meski berada di bawah sanksi ekonomi berat selama bertahun-tahun, negara ini terus mengembangkan industri bajanya hingga menjadi salah satu produsen terbesar di Timur Tengah. Baja menjadi salah satu komoditas utama yang memperkuat neraca perdagangan di luar minyak, sekaligus menopang sektor pertahanan domestik. Ketahanan industri baja memungkinkan Iran tetap memiliki kapasitas produksi peralatan militer dan infrastruktur strategis meski akses ke pasar internasional sangat terbatas.
Rusia sendiri menunjukkan sisi lain dari spektrum ini. Dengan kapasitas baja yang besar dan terintegrasi, negara tersebut mampu menopang kebutuhan industrinya sendiri serta mengalihkan ekspor ke pasar alternatif ketika akses ke pasar tertentu mengalami pembatasan. Hal ini memperlihatkan bahwa negara dengan basis baja mandiri memiliki fleksibilitas lebih besar dalam menghadapi tekanan eksternal dan perubahan kondisi pasar global, sambil mempertahankan pasokan material penting bagi sektor pertahanan dan posisi neraca perdagangannya.
Pelajaran dari negara-negara dalam konflik ini jelas: baja adalah penopang ganda — menopang kekuatan militer dan menjaga ketahanan ekonomi secara bersamaan. Kehilangan kapasitas produksi baja dapat membuat sebuah negara lumpuh di tengah perang atau krisis, sementara memilikinya memberi landasan untuk bertahan, beradaptasi, dan memulihkan diri. Bagi Indonesia, yang berkomitmen menjaga kedaulatan di tengah ketidakpastian geopolitik, membangun dan melindungi industri baja berarti memperkuat ketahanan nasional secara menyeluruh.
Baja untuk Kedaulatan dan Kemerdekaan Ekonomi Indonesia
Sejarah dan pengalaman berbagai negara membuktikan bahwa industri baja bukan sekadar urusan industri manufaktur, melainkan pilar kedaulatan dan kemerdekaan ekonomi. Amerika Serikat menempatkan baja sebagai aset strategis dengan melindunginya melalui kebijakan tarif tinggi hingga kontrol langsung pemerintah. Tiongkok menjadikan baja sebagai ujung tombak industrialisasi dan kekuatan ekonominya, meski kini menghadapi tantangan kelebihan kapasitas dan transisi rendah emisi. Uni Eropa menempatkan baja dalam kerangka strategic autonomy, menjaga rantai pasok domestik demi menghindari ketergantungan yang melemahkan posisi tawar. India menunjukkan konsistensi politik dan kelembagaan dengan membentuk Kementerian Baja sebagai pusat koordinasi kebijakan, sementara negara-negara dalam konflik seperti Ukraina, Iran, dan Rusia menegaskan bahwa baja adalah penopang ganda — menopang kekuatan militer dan menjaga ketahanan ekonomi melalui penguatan neraca perdagangan.
Pelajaran bagi Indonesia jelas. Pertama, kemandirian industri baja memerlukan visi jangka panjang yang disertai keberpihakan kebijakan. Semua negara yang berhasil menempatkan baja di jantung perekonomian mereka memiliki arah strategis yang konsisten lintas pemerintahan, dengan target kapasitas, teknologi, dan kualitas produk yang terukur. Kedua, perlindungan dan penguatan pasar domestik menjadi syarat mutlak. Tanpa kebijakan yang melindungi industri dalam negeri dari serbuan impor berbiaya rendah, kapasitas produksi nasional akan sulit tumbuh. Ketiga, kelembagaan yang kuat seperti Kementerian Baja di India menunjukkan bahwa koordinasi lintas sektor, investasi, dan kebijakan tidak bisa berjalan efektif jika hanya dikelola secara parsial di bawah kementerian umum. Keempat, ketahanan pasokan bahan baku dan energi perlu dipastikan, baik melalui pengelolaan sumber daya domestik maupun strategi diversifikasi dan perjanjian jangka panjang dengan mitra internasional. Kelima, antisipasi tantangan masa depan melalui inovasi teknologi dan transisi hijau. Tekanan global terhadap emisi mungkin belum terasa sekarang, namun tren pengembangan industri baja dunia menunjukkan tuntutan baja rendah emisi akan datang dan menjadi aspek daya saing penting di masa mendatang.
Peringatan Hari Kemerdekaan RI seharusnya menjadi momentum untuk menegaskan bahwa kedaulatan politik tidak akan lengkap tanpa kemerdekaan ekonomi yang nyata, dan kemerdekaan ekonomi tidak akan kokoh tanpa basis industri strategis yang mandiri. Indonesia menargetkan kapasitas baja lebih dari 100 juta ton pada 2045, tetapi target itu hanya akan berarti jika diiringi penguasaan teknologi, penguatan pasar domestik, dan keberpihakan kebijakan yang konsisten. Tanpa itu, Indonesia berisiko menjadi pasar bagi baja impor ketika kebutuhan infrastruktur, industri, dan pertahanan meningkat, sehingga bergantung pada pihak luar di saat kebutuhan strategis mencapai puncaknya.
Membangun industri baja bukanlah proyek satu-dua tahun. Ia adalah proyek peradaban, sebagaimana dipandang oleh Nehru di India, atau oleh para pembuat kebijakan di AS, Tiongkok, dan Eropa. Bagi Indonesia, membangun kapasitas industri baja berarti membangun fondasi untuk menjamin ketersediaan bahan bagi infrastruktur, alat pertahanan, transportasi, energi, serta kebutuhan pembangunan nasional lainnya — semua yang menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti yang diperlihatkan oleh negara-negara dalam konflik, memiliki industri baja yang kuat adalah jaminan untuk bertahan dalam situasi paling sulit sekalipun.
Di tengah dinamika geopolitik global, proteksionisme perdagangan, dan transisi energi, Indonesia harus terus memainkan peran penting. Kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus harus dimaknai sebagai dorongan untuk menguasai sektor-sektor strategis, dan baja adalah salah satunya yang paling mendasar. Dengan menempatkan industri baja sebagai agenda nasional, memperkuat kelembagaan pengelolaannya, dan menjalankan strategi terintegrasi dari hulu hingga hilir, Indonesia dapat memastikan bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan pengorbanan itu akan berdiri kokoh di atas fondasi kemandirian ekonomi yang sejati.