Ekspor Baja Melonjak, Saatnya Menata Kemandirian Industri Nasional

Indonesia patut berbangga atas capaian ekspor baja yang terus menanjak dalam lima tahun terakhir. Kebijakan hilirisasi mineral yang dijalankan sejak 2020 telah menunjukkan hasil konkret, menjadikan Indonesia salah satu eksportir baja terbesar di Asia. Namun di balik capaian yang impresif itu, masih tersimpan  agenda lanjutan: bagaimana memastikan bahwa lonjakan ekspor benar-benar berujung pada kemandirian industri nasional, mengingat pasar dalam negeri sendiri masih dipenuhi oleh baja impor dalam jumlah besar sebuah tantangan yang kini juga direspons Pemerintah antara lain melalui penerbitan regulasi TKDN baru, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), penerapan SNI Wajib, dan penegakan instrumen trade. Pertanyaan inilah yang kini mengemuka di tengah dinamika proteksionisme global, kelebihan kapasitas produksi dunia, dan banjir produk impor yang terus menguji daya tahan industri baja nasional.

Lonjakan Ekspor dan Awan Proteksionisme Baru

Kementerian Perdagangan baru saja mengumumkan capaian yang patut diapresiasi: ekspor baja Indonesia meningkat 22,18 persen dalam lima tahun terakhir, dari 12,05 miliar dolar AS pada 2020 menjadi 29,23 miliar dolar AS pada 2024. Dalam delapan bulan pertama tahun 2025, nilainya telah mencapai 19,58 miliar dolar, tumbuh 3,55 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Di tengah gejolak proteksionisme dan perlambatan ekonomi global, capaian ini menunjukkan ketangguhan industri baja nasional di pasar ekspor —buah dari konsistensi kebijakan hilirisasi dan fasilitasi ekspor yang ditempuh Pemerintah. Kinerja ekspor ke Tiongkok masih menjadi penyumbang utama, sementara potensi pemulihan pasar ke Uni Eropa mulai terbuka setelah Indonesia memenangkan gugatan terhadap kebijakan anti dumping dan bea imbalan Uni Eropa di WTO pada awal Oktober 2025.

Kemenangan di WTO tentu memberi angin segar bagi diplomasi perdagangan Indonesia. Namun, di balik capaian itu tersimpan  tantangan yang lebih mendasar: lonjakan ekspor ternyata belum sepenuhnya mencerminkan kemandirian industri nasional. Sebagian besar pertumbuhan ekspor berasal dari produk hulu stainless steel berbasis nikel, bukan dari manufaktur baja hilir yang menopang kebutuhan domestik. Sementara itu, pasar dalam negeri untuk baja karbon—yang sebenarnya telah mampu dipenuhi oleh industri nasional—masih dibanjiri produk impor yang masuk dengan harga lebih rendah melalui berbagai praktik perdagangan tidak.

Kombinasi praktik dumping, subsidi, circumvention, serta dukungan kebijakan di negara asal—termasuk energi murah, kredit preferensial, dan insentif fiskal—telah menciptakan distorsi harga yang membuat produk impor sering kali masuk jauh di bawah struktur biaya produsen dalam negeri. Praktik ini tidak berdiri sendiri, melainkan ditopang oleh berbagai bentuk intervensi negara sebagaimana dibuktikan dalam sejumlah laporan internasional.

Kajian Money for Metal: A Detailed Examination of Chinese Government Subsidies to its Steel Industry (Wiley Rein LLP, 2007) mengidentifikasi sedikitnya sepuluh kategori subsidi utama: pinjaman preferensial dan directed credit dari bank milik negara, injeksi ekuitas dan konversi utang menjadi saham, hibah tunai, hak guna lahan di bawah harga pasar, merger yang diamanatkan pemerintah, insentif pajak dan restitusi PPN, kontrol harga bahan baku dan energi/listrik, undervaluasi mata uang, serta pelonggaran standar lingkungan. Temuan serupa dikonfirmasi dalam Report on Market Research into the PRC Steel Industry – Part 1 (Steel Industry Coalition, 2016), yang menunjukkan bagaimana kombinasi cash grants, equity infusions, preferential loans, subsidi utilitas, dan kebijakan pajak memungkinkan kapasitas baja tetap bertahan bahkan ketika tidak efisien secara komersial. Sementara laporan terbaru Shell Game: Case Studies in Chinese Steel Subsidies (Wiley Rein LLP, 2024) menegaskan bahwa intervensi pemerintah melalui konsolidasi terarah, relokasi fasilitas, dan dukungan ekspor terus menopang ekspansi kapasitas baru yang seharusnya sudah tidak kompetitif.

Akumulasi berbagai bentuk dukungan tersebut, ditambah praktik circumvention—yakni penghindaran bea melalui pengalihan asal barang, perubahan minor pada komposisi produk, atau re-routing melalui negara ketiga—serta maraknya peredaran produk non-standar yang tidak memenuhi spesifikasi teknis nasional, telah menekan pasar domestik Indonesia secara sistematis. Dampaknya nyata: utilisasi pabrik menurun, pangsa pasar terkikis, kemampuan investasi hilang, dan daya saing baja karbon nasional terus tergerus di pasar sendiri.

Pertumbuhan ekspor baja Indonesia selama ini sebagian besar ditopang oleh kelompok stainless steel, terutama produk hulu berbasis Ni-ferroalloy dan slab atau billet stainless. Struktur ekspor yang demikian membuat kinerja perdagangan tampak gemilang, namun belum sepenuhnya mencerminkan kemandirian industri nasional. Berdasarkan data neraca perdagangan baja 2024, ekspor stainless steel Indonesia mencapai USD 22,27 miliar dengan impor hanya USD 2,23 miliar, menciptakan surplus besar senilai USD 20,04 miliar. Sebaliknya, ekspor baja karbon hanya USD 3,44 miliar—jauh tertinggal dibanding impornya yang mencapai USD 5,99 miliar—sehingga menimbulkan defisit perdagangan sebesar USD 2,56 miliar. Dari sisi volume, ekspor baja karbon total sekitar 6,486 juta ton sementara impor 9,115 juta ton, menghasilkan defisit ±2,629 juta ton. Ketimpangan ini bahkan lebih besar pada segmen non-hulu baja karbon—terutama HRC, CRC, baja lapis, dan produk hilir yang menopang kebutuhan konstruksi dan manufaktur nasional—dengan ekspor sekitar 2,109 juta ton dan impor 5,228 juta ton, sehingga defisitnya mencapai ±3,119 juta ton.

Ketimpangan ini menegaskan bahwa penguatan hilirisasi dan peningkatan ekspor harus diimbangi dengan kebijakan perlindungan yang mampu menjaga keseimbangan struktur industri nasional, terutama pada sektor baja karbon. Peningkatan ekspor perlu berjalan seiring dengan penguatan mekanisme pertahanan industri—baik melalui tindakan anti-dumping (AD), countervailing duty (CVD), tindakan pengamanan (safeguard), penerapan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), konsistensi penerapan TKDN, maupun penegakan Standar Nasional Indonesia (SNI) serta instrumen lain yang diperlukan untuk menghindari distorsi kebijakan—agar industri dalam negeri tidak kehilangan pangsa pasarnya di tengah tekanan global yang semakin berat. Langkah ini sejalan dengan arah kebijakan Pemerintah untuk memperkuat level playing field bagi seluruh produsen baja nasional.

Berbagai negara telah bertindak cepat dan memberikan perlindungan luas bagi industrinya. Amerika Serikat menjalankan kebijakan proteksi baja melalui kombinasi ratusan tindakan AD/CVD yang terus diperbarui serta gelombang penyelidikan baru. Berdasarkan laporan semi-tahunan AS ke WTO per 31 Desember 2024, terdapat 182 tindakan anti-dumping dan 61 tindakan anti-subsidi (CVD) yang masih berlaku efektif untuk produk baja. Di luar itu, AS juga menerapkan tarif Section 232 sebesar 50 persen sejak awal Juni 2025. Cakupan perlindungan tersebut tidak hanya menyasar produk baja primer, tetapi juga diperluas ke sekitar 400 pos tarif tambahan yang mencakup berbagai produk manufaktur hilir—mulai dari struktur baja, peralatan industri dan rumah tangga, serta komponen mesin dan peralatan berat, hingga rangka kendaraan dan komponen transportasi—sehingga kebijakan Section 232 kini bekerja dari hulu hingga hilir rantai pasok baja Amerika Serikat.

Selain kebijakan tarif dan trade remedies, Amerika Serikat juga memperkuat penggunaan produk baja domestik melalui melalui ketentuan Buy American Act dan perluasannya dalam Build America, Buy America Act (BABA). Kedua regulasi ini mewajibkan setiap proyek infrastruktur publik untuk menggunakan baja dan besi buatan dalam negeri. Melalui kombinasi tarif impor, kewajiban penggunaan baja lokal, dan insentif fiskal bagi investasi industri strategis, Amerika Serikat menegaskan baja bukan sekadar komoditas perdagangan, melainkan bagian dari strategi keamanan ekonomi nasional.

Uni Eropa tidak ketinggalan. Selain terus menjalankan berbagai instrumen trade remedies, Uni Eropa berencana memperkuat perlindungan industrinya melalui penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM)mulai awal tahun depan.Di saat yang sama, Komisi Eropa juga tengah menyiapkan mekanisme pembatasan impor berbasis kuota yang akan memangkas jatahnya hingga separuh dan mengenakan bea tambahan sebesar 50 persen di atas batas kuota. Kebijakan ganda ini menandai pergeseran Eropa menuju bentuk baru proteksionisme berbasis iklim dan keamanan ekonomi, yang dapat memperketat persaingan di pasar baja global dan mengurangi manfaat dari kemenangan Indonesia di WTO.

Gelombang proteksionisme terus menguat sepanjang 2025 dan diikuti banyak negara. Kanada mengaktifkan kembali AD sementara untuk steel wire, memperpanjang AD pipa struktural, membuka penyelidikan pipa OCTG, dan mengelola arus masuk melalui tariff rate quota (TRQ) dengan surtax tinggi untuk volume di luar kuota. India mengusulkan safeguard jangka panjang untuk produk flat dan menetapkan AD. Korea Selatan memberlakukan AD sementara atas HRC dari Tiongkok dan Jepang. Mesir mengenakan safeguard sementara berbasis tarif ad-valorem dan harga minimum. Meksiko meluncurkan paket tarif 5–50 persen untuk ratusan pos baja. Pakistan membuka safeguard untuk billet dan rebar, Thailand merekomendasikan perpanjangan AD CRC, Vietnam menutup celah re-export dan memfinalkan AD HRC Tiongkok, sementara Ukraina memperpanjang sementara AD atas fasteners. Arah kebijakan ini menegaskan proteksionisme sebagai arus utama perdagangan global.

Tanpa penataan bauran kebijakan yang tepat, Indonesia berisiko menjadi penampung limpahan impor. Pengalaman internasional juga menunjukkan bahwa tidak ada produsen baja yang mampu bertahan di tengah kondisi global saat ini tanpa dukungan penuh dari pemerintahnya. Karena itu, Indonesia perlu menata ulang bauran kebijakan perdagangan dan industri agar kemandirian sektor baja benar-benar terwujud.

Dua Wajah Industri Baja Nasional

Industri baja Indonesia kini hidup dalam dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, Indonesia telah menjelma menjadi pemain besar dalam rantai pasok stainless steel global, menempati posisi kedua setelah Tiongkok. Investasi besar di Morowali dan Weda Bay telah menjadikan Indonesia pusat ekspor logam berbasis nikel di kawasan. Namun di sisi lain, sektor baja karbon masih berjuang mempertahankan pangsa pasarnya di dalam negeri. Produk-produk impor membanjiri pasar nasional dengan harga yang lebih murah akibat praktik perdagangan tidak adil dan  celah perlindungan domestik yang perlu terus diperkuat.

Ironinya, sebagian besar produk baja karbon yang diimpor sebenarnya sudah dapat diproduksi di Indonesia, namun kalah bersaing karena perbedaan dukungan kebijakan antarnegara yang menciptakan disparitas daya saing biaya. Akibatnya, industri baja karbon kehilangan pangsa pasar domestik dan kapasitas yang ada tidak termanfaatkan secara optimal. Dalam konteks inilah, lonjakan ekspor stainless steel justru menjadi paradoks: Indonesia tampil unggul di pasar global, tetapi rapuh di rumah sendiri.

Fenomena dua wajah industri baja ini sebelumnya telah diulas dalam Opini Katadata berjudul Masalah Struktural di Balik Kilau Kinerja Industri Baja Nasional, yang menyoroti ketimpangan mendasar antara keberhasilan ekspor stainless dan lemahnya kemandirian baja karbon. Kini, tantangannya bukan lagi sekadar mempertahankan kinerja ekspor stainless steel, melainkan memastikan sektor baja karbon dapat tumbuh dengan daya saing yang sepadan. Industrialisasi baja hanya akan bermakna bila kedua sektor ini tumbuh seimbang dan saling menopang dalam rantai pasok nasional.

Dari Surplus ke Kedaulatan Industri

Lonjakan ekspor baja mencerminkan keberhasilan nyata dari kebijakan hilirisasi yang dijalankan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Namun keberhasilan ekspor perlu ditransformasikan menjadi penguatan struktur industri dalam negeri agar manfaatnya merata dari hulu ke hilir. Ketimpangan antara sektor stainless yang berkembang pesat dan sektor baja karbon yang masih tertekan di pasar domestik menunjukkan bahwa agenda kemandirian industri masih perlu disempurnakan secara bertahap. Akar masalahnya adalah disparitas kebijakan antarnegara yang menciptakan distorsi pasar.

Berbagai studi internasional yang telah dipaparkan sebelumnya membuktikan bahwa dukungan pemerintah terhadap industri baja di sejumlah negara besar berlangsung luas dan berlapis—mencakup kebijakan energi melalui harga gas dan listrik bersubsidi; kebijakan kredit berupa pinjaman berbunga rendah dan directed credit dari bank milik negara; kebijakan fiskal dalam bentuk insentif pajak, restitusi PPN, dan pembebasan bea; serta insentif ekspor seperti export rebate, kemudahan logistik, dan dukungan promosi pasar luar negeri. Bentuk dukungan lainnya juga mencakup pemberian hak guna lahan dengan nilai di bawah pasar, penyediaan bahan baku strategis dengan harga preferensial, serta pelonggaran regulasi lingkungan yang menekan biaya kepatuhan industri. Akibat dari berbagai skema tersebut, biaya produksi di negara-negara tersebut dapat ditekan jauh di bawah harga wajar, memungkinkan produk mereka membanjiri pasar global dengan harga yang sulit ditandingi produsen nasional. Dalam kondisi seperti ini, industri baja Indonesia menghadapi arena persaingan yang tidak setara, karena beroperasi tanpa perlindungan dan subsidi sebanding, sementara pasar domestik tetap terbuka lebar bagi arus impor berbiaya rendah.

Dalam kondisi seperti ini, industri baja Indonesia menghadapi arena persaingan yang tidak setara, karena beroperasi tanpa perlindungan dan subsidi sebanding, sementara pasar domestik tetap terbuka lebar bagi arus impor berbiaya rendah.Karena itu, langkah pemerintah ke depan perlu diarahkan untuk menjawab sumber-sumber distorsi tersebut. Pemerintah telah memiliki fondasi kebijakan yang kuat melalui hilirisasi dan berbagai insentif investasi; ke depan, penguatan sistem trade remedies—baik anti-dumping, countervailing duty, maupun anti-circumvention—menjadi kunci untuk mengimbangi praktik subsidi, kredit preferensial, dan penghindaran bea yang dilakukan oleh negara pesaing. Instrumen ini harus dijalankan secara lebih cepat, adaptif, dan terintegrasi agar perlindungan terhadap industri baja karbon semakin efektif dan dampak distorsi global dapat ditekan sejak dini. Di sisi lain, kebijakan energi, beserta penerapannya, perlu terus dijaga agar harga gas dan listrik tetap kompetitif, karena inilah bentuk koreksi terhadap keunggulan biaya yang dihasilkan oleh subsidi energi di negara lain. Pengawasan mutu juga perlu diperkuat melalui penerapan, perluasan, dan penegakan SNI wajib serta konsistensi penerapan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk menutup celah masuknya produk non-standar dan memastikan proyek publik menyerap produk baja nasional. Selain itu, instrumen fiskal dan kredit domestik perlu diarahkan secara selektif untuk menciptakan level playing field—memberikan akses pembiayaan yang setara dengan skema kredit murah dan insentif fiskal yang diterapkan negara lain terhadap industrinya. Pada saat yang sama, dukungan perlindungan lain yang relevan juga perlu dipastikan hadir secara terpadu untuk menciptakan level playing field.

Lebih jauh, pemerintah perlu menempatkan baja sebagai bagian dari economic security nasional—sebagaimana dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dalam kerangka ini, industri baja tidak lagi dipandang semata sebagai sektor ekonomi, melainkan sebagai fondasi strategis bagi ketahanan industri dan kedaulatan pembangunan. Untuk mewujudkannya, Indonesia perlu mempertimbangkan kebijakan tambahan di luar mekanisme trade remedies, seperti penerapan tindakan berbasis keamanan nasional yang serupa dengan Section 232 di Amerika Serikat, atau pembatasan kuota impor dengan tarif tambahan sebagaimana dilakukan Uni Eropa. Pendekatan ini akan memberi ruang bagi pemerintah untuk melindungi industri baja dalam negeri dari lonjakan impor yang mengancam keberlanjutan industri baja nasional.

Pengalaman global menunjukkan bahwa tidak ada produsen baja besar di dunia yang mampu bertahan tanpa dukungan pemerintahnya. Dukungan negara menjadi faktor pembeda utama yang menentukan daya saing, keberlanjutan, dan ketahanan industri baja di tengah persaingan global yang semakin tidak seimbang.

Pemerintah patut mendapat apresiasi atas keberhasilan kebijakan hilirisasi yang telah membawa ekspor baja Indonesia tumbuh pesat dan mendorong terciptanya surplus perdagangan selama lima tahun terakhir. Namun, keberhasilan tersebut harus menjadi batu loncatan menuju tahap berikutnya, yakni membangun kemandirian industri dalam negeri—terutama pada sektor baja karbon—melalui penyusunan dan konsolidasi kebijakan yang mampu menciptakan level playing field. Keberhasilan sejati hilirisasi tidak hanya diukur dari besarnya ekspor, tetapi dari kemampuan Indonesia menjaga dan memperkuat pasarnya sendiri—sebuah langkah penting menuju kedaulatan industri baja nasional dan pencapaian visi Indonesia Emas 2045.