
Industri baja dunia tengah berada dalam tekanan berat akibat ketidakseimbangan struktural antara kapasitas dan permintaan. Data OECD tahun 2024 mencatat kapasitas produksi baja global mencapai 2.432 juta ton pada 2023, sementara produksi aktual hanya 1.889 juta ton. Kelebihan kapasitas sebesar 543 juta ton ini sebagian besar bersumber dari Tiongkok, yang terus mendorong ekspor produk bajanya untuk mengatasi kelebihan kapasitas, melemahnya permintaan dalam negeri dan menjaga keberlangsungan industri. Banyak ekspor dilakukan melalui praktik perdagangan tidak adil seperti dumping, subsidi ekspor, hingga penghindaran bea masuk melalui praktik circumvention.
Indonesia menjadi salah satu pasar utama yang menerima limpahan ekspor baja murah ini karena masih lemahnya sistem perlindungan perdagangan dalam bentuk bea masuk anti dumping, anti subsidi dan tindakan pengamanan. Saat ini, Indonesia hanya memiliki lima instrumen pengamanan perdagangan aktif untuk baja, jauh tertinggal dibanding Amerika Serikat (321), Kanada (115), atau Uni Eropa (100). Akibatnya, sejak kebijakan tarif baja AS diberlakukan pada 2018, impor baja dari Tiongkok ke Indonesia melonjak tajam dari sekitar 2 juta ton menjadi lebih dari 6 juta ton pada 2024. Utilisasi kapasitas industri baja nasional sangat rendah hanya 50–60% pada beberapa segmen, jauh di bawah tingkat ideal untuk operasi efisien.
Pada 2 April 2025, Presiden Trump mengumumkan kebijakan baru bertajuk “Liberation Day Tariffs” yang menetapkan tarif resiprokal terhadap seluruh negara dan jenis produk, termasuk baja. Tidak seperti kebijakan tarif 2018 yang masih memberi pengecualian kepada negara sekutu, kebijakan ini menyasar semua negara tanpa terkecuali. Negara eksportir besar produk baja seperti Kanada, Brasil, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan lainnya kehilangan akses ke pasar AS yang mencapai 26 juta ton baja (2024), dan kini akan mengalihkan ekspor mereka ke pasar-pasar lain — termasuk Indonesia.
Kebijakan tarif AS telah memicu gelombang respons proteksionisme global. Pemerintah Tiongkok telah mengenakan tarif balasan sebesar 125%. Uni Eropa berencana membalas dengan tarif 25%, sementara Kanada turut menerapkan langkah proteksi. Kondisi ini semakin memperparah persaingan pasar baja global mengingat beberapa negara sesungguhnya telah menerapkan proteksi atas produk baja dari Tiongkok sebelum pemberlakuan tarif baru AS. Efek dominonya jelas: tidak hanya pasar AS, pasar global makin tertutup, sementara ekspor akan dialihkan ke negara-negara dengan sistem perlindungan lemah. Indonesia, dengan minimnya tindakan pengamanan atas produk baja, berada dalam posisi sangat rentan.
Disparitas harga baja global menjadi cerminan efektivitas kebijakan proteksi masing-masing negara. Menurut CRU Group dan Platts (2024), harga HRC di pasar Indonesia dan kawasan ASEAN berkisar antara USD 530–570 per ton, jauh lebih rendah dibandingkan di pasar Amerika Serikat (USD 900–950) dan Uni Eropa (USD 800–850). Perbedaan ini mencerminkan lemahnya sistem pengamanan perdagangan Indonesia yang tidak mampu menahan masuknya baja murah, yang pada akhirnya menekan margin produsen dalam negeri karena harga jual tidak mencerminkan biaya produksi sebenarnya. Akibatnya, margin keuntungan produsen nasional terus tergerus, proyek investasi baru tertunda, dan ancaman kehilangan lapangan kerja semakin nyata.
Peluang di Tengah Ketidakpastian Global
Di tengah ancaman banjir impor akibat perang dagang Amerika Serikat-China dan ketimpangan perlindungan perdagangan global, Indonesia perlu mencari peluang pasar baru dalam perdagangan baja global. Peluang ekspor muncul dari negara-negara yang telah menerapkan tindakan trade remedies terhadap produk baja asal Tiongkok namun belum memberlakukan tindakan serupa terhadap Indonesia.
Negara-negara seperti Vietnam, Filipina, Arab Saudi, Mesir, Polandia, Italia, dan Spanyol merupakan contoh kawasan dengan kebutuhan baja yang tinggi serta kecenderungan untuk mencari pemasok alternatif selain Tiongkok. Dalam dua tahun terakhir, produsen baja nasional seperti Krakatau Steel, Tata Metal Indonesia, PT Gunung Garuda, Krakatau Posco, dan PT Gunung Raja Paksi (GRP) telah berhasil menembus pasar ekspor nontradisional, antara lain Kanada, Australia, Selandia Baru, Bangladesh, dan Puerto Riko.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, baja Indonesia berpeluang menembus pasar internasional lebih luas. Namun untuk itu, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, industri, dan asosiasi dalam menyusun peta jalan ekspor yang jelas dan progresif. Pemerintah perlu memperkuat kapasitas diplomasi dagang, memfasilitasi partisipasi pelaku industri dalam pameran dagang internasional, serta mempercepat harmonisasi standar teknis dan sertifikasi produk baja nasional dengan ketentuan di negara tujuan.
Di saat bersamaan, upaya intelijen pasar dan sistem peringatan dini (early warning system) harus diperkuat untuk mendeteksi potensi kebijakan proteksionisme baru dari negara mitra dagang, serta memberikan respons cepat melalui instrumen pengamanan perdagangan. Fleksibilitas logistik, diversifikasi mitra pelayaran, dan efisiensi distribusi juga menjadi kunci.
Agar produk baja Indonesia kompetitif di pasar global, pemerintah perlu memberikan dukungan konkret melalui insentif fiskal, kemudahan ekspor, penurunan biaya logistik nasional, fasilitasi akses pasar, serta penguatan citra (branding) produk baja nasional sebagai produk andal dan terpercaya. Di tengah gangguan rantai pasok global, persepsi atas kualitas dan komitmen layanan menjadi keunggulan strategis yang tak kalah penting dari sisi harga. Industri baja nasional tidak boleh hanya bertahan dalam situasi global yang penuh tekanan ini. Sebaliknya, ia harus menjadi pelaku aktif yang mampu merebut peluang dan memperluas pasar. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan respons industri yang adaptif, baja Indonesia berpotensi tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dan menjadi pemain global.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Tarif Trump: Tantangan dan Peluang Baru bagi Industri Baja Indonesia”, Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2025/04/14/141341326/tarif-trump-tantangan-dan-peluang-baru-bagi-industri-baja-indonesia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Tarif Trump: Tantangan dan Peluang Baru bagi Industri Baja Indonesia”, Klik untuk baca di Kompas: https://money.kompas.com/read/2025/04/14/141341326/tarif-trump-tantangan-dan-peluang-baru-bagi-industri-baja-indonesia.
2 thoughts on “Tarif Trump: Tantangan dan Peluang Baru bagi Industri Baja Indonesia”