Logam Tanah Jarang: Realita atau Fatamorgana?

Dunia kini berada di ambang revolusi teknologi, didorong oleh inovasi di berbagai sektor seperti kendaraan listrik, energi terbarukan, robotika, eksplorasi antariksa, teknologi komunikasi generasi baru, komputasi canggih, serta sistem pertahanan modern. Di balik lonjakan kemajuan ini, tersembunyi ketergantungan yang semakin besar terhadap Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth Elements (REE), yakni kelompok 17 unsur kimia yang memiliki sifat magnetik, luminesen, dan katalitik unik. Karakteristik luar biasa ini menjadikan LTJ sebagai fondasi utama dalam berbagai aplikasi teknologi masa depan.

Ketergantungan global terhadap LTJ pun melonjak tajam, mendorong negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan Korea Selatan untuk berlomba-lomba mengamankan pasokan. Dominasi Tiongkok yang menguasai sekitar 69 persen produksi LTJ dunia (USGS Mineral Commodity Summary 2025) memunculkan kerentanan strategis baru dalam rantai pasok global. Ketegangan ini mencapai puncaknya dalam perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, ketika selain pemberlakuan tarif dan pembatasan teknologi, Beijing mengancam membalas dengan membatasi ekspor LTJ. Dunia pun tersadar bahwa penguasaan atas LTJ bukan lagi sekadar isu perdagangan, melainkan soal kedaulatan teknologi, ketahanan ekonomi, dan posisi strategis dalam persaingan global

Di tengah ketegangan ini, banyak negara berlomba menemukan alternatif. Australia, Kanada, dan negara-negara Afrika bergerak cepat memperluas produksi mereka. Indonesia, dengan kekayaan alam yang tak kalah melimpah, pun mulai melirik peluang ini. Akankah Indonesia mampu menangkap momen langka ini dan membuktikan bahwa kekayaan geologisnya bukan sekadar potensi di atas kertas? Ataukah peluang ini hanya akan melintas begitu saja, seperti fatamorgana di tengah panasnya gurun globalisasi?

Permulaan yang Menjanjikan

Indonesia saat ini memiliki cadangan logam tanah jarang (LTJ) yang masih terbatas dibandingkan dengan negara-negara produsen utama dunia. Berdasarkan Laporan Kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun 2023, hingga akhir tahun 2023, total sumber daya LTJ Indonesia tercatat sebesar 136 juta ton bijih, yang setara dengan sekitar 119 ribu ton logam. Data spesifik dari Neraca Sumber Daya dan Cadangan Logam Badan Geologi ESDM Tahun 2023 menunjukkan bahwa mineral Xenotim tercatat memiliki total sumber daya sebesar 6.466.257.914 meter kubik bijih dengan kandungan logam sekitar 20.734 ton, dan cadangan terverifikasi sebesar 1.296.800 meter kubik bijih yang mengandung 3.460 ton logam. Sementara itu, mineral Monasit memiliki sumber daya sebesar 6.925.944 meter kubik bijih dan cadangan sebesar 186.629 meter kubik bijih, meskipun estimasi kandungan logam untuk Monasit belum tersedia.

Dalam konteks global, posisi Indonesia dalam hal cadangan LTJ yang telah terverifikasi memang masih relatif kecil. Berdasarkan laporan USGS Mineral Commodity Summaries 2025, Cina memiliki cadangan LTJ terbesar di dunia dengan jumlah mencapai 44 juta ton, diikuti oleh Vietnam sebesar 22 juta ton, Brasil sebesar 21 juta ton, India sebesar 6,9 juta ton, dan Rusia sebesar 3,8 juta ton. Amerika Serikat tercatat memiliki cadangan sebesar 1,9 juta ton, Australia sebesar 1,3 juta ton, Tanzania sebesar 890 ribu ton, Afrika Selatan sebesar 860 ribu ton, Kanada sebesar 830 ribu ton, dan Thailand sebesar 4.500 ton. Dengan demikian, Indonesia saat ini belum masuk dalam kelompok negara dengan cadangan LTJ terbesar dunia.

Namun, keterbatasan cadangan yang terverifikasi ini bukanlah cerminan dari kemiskinan potensi geologi Indonesia. Salah satu faktor utama adalah tahap eksplorasi yang masih sangat awal. Berdasarkan data Badan Geologi ESDM Tahun 2022, dari 28 lokasi mineralisasi logam tanah jarang yang telah teridentifikasi di Indonesia, baru sekitar 9 lokasi atau 30 persen yang telah dieksplorasi awal, sementara 70 persen sisanya masih menjadi target eksplorasi lanjutan. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar potensi Indonesia masih tersembunyi dan menunggu untuk diungkap melalui eksplorasi yang lebih intensif dan sistematik.

Dari perspektif geologi, Indonesia memiliki fondasi alamiah yang sangat mendukung untuk pengembangan deposit logam tanah jarang (LTJ). Keragaman kondisi geologi di berbagai wilayah, mulai dari formasi batuan beku hingga batuan sedimen, ditambah dengan pengaruh proses magmatisme, pelapukan intensif (lateritisasi), dan sedimentasi, menciptakan lingkungan yang sangat kondusif bagi pembentukan mineral pembawa LTJ (Simandjuntak & Santoso, 2020). Keberadaan sabuk timah di Kepulauan Riau dan Bangka Belitung semakin memperkuat potensi ini, karena mineral ikutan seperti Monasit dan Xenotim yang ditemukan di wilayah tersebut memiliki karakteristik geologi yang serupa dengan endapan mineral REE di Australia dan Tiongkok bagian selatan (BRIN, 2023). Selain itu, proses lateritisasi yang berlangsung intensif di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan kemiripan dengan lingkungan pembentukan deposit LTJ jenis ion-adsorption clays di wilayah Tiongkok selatan, yang selama ini menjadi salah satu sumber utama LTJ dunia (Simandjuntak & Santoso, 2020).

Potensi LTJ Indonesia tidak hanya terbatas pada sumber primer, tetapi juga mulai dilihat dari sumber daya non-konvensional seperti abu batubara (fly ash) dari pembangkit listrik dan sedimen dasar laut, mengikuti jejak beberapa negara lain dalam diversifikasi sumber LTJ. Struktur geologi purba dan aktivitas tektonik di beberapa wilayah Indonesia turut membuka peluang bagi pembentukan sistem hidrotermal yang berpotensi mengkonsentrasikan LTJ (ESDM, 2024)

Dengan landasan geologi yang kuat, cakupan eksplorasi yang masih luas, dan berkembangnya teknologi eksplorasi dan ekstraksi modern, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat posisinya dalam rantai pasok global logam tanah jarang di masa depan.

Menapaki Jalan Harapan

Menyadari pentingnya peran strategis logam tanah jarang, Indonesia telah mengambil sejumlah langkah awal untuk mengembangkan potensi ini. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Kelompok Riset Peningkatan Nilai Tambah Mineral Logam Tanah Jarang aktif mengembangkan teknologi ekstraksi dan pemurnian LTJ, serta menjalin kolaborasi riset dengan berbagai mitra nasional maupun internasional dalam bidang critical minerals (BRIN, 2023).

Sebelum integrasi ke dalam BRIN, beberapa unit di bawah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) memainkan peran penting dalam pengembangan teknologi LTJ. Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN BATAN) membangun pilot plant di kawasan Puspiptek, Serpong, yang fokus pada pengolahan monasit menjadi logam tanah jarang melalui proses pelindian, pemisahan unsur radioaktif seperti thorium dan uranium, serta pemurnian LTJ hingga tingkat logam (BATAN, 2020).
Sementara itu, Pusat Sains dan Teknologi Akselerator (PSTA BATAN) di Yogyakarta mengembangkan riset karakterisasi material berbasis logam tanah jarang menggunakan teknologi akselerator, memperkaya basis ilmiah untuk aplikasi energi, teknologi medis, dan industri berbasis LTJ (PSTA BATAN, 2020).

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) di bawah Kementerian ESDM juga aktif dalam penelitian pengolahan LTJ dari berbagai sumber non-konvensional seperti laterit dan abu batubara (fly ash), memperluas diversifikasi sumber daya nasional (Tekmira ESDM, 2023).
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui unit risetnya turut mengembangkan teknologi pemrosesan LTJ dari mineral ikutan, termasuk pengembangan skema semi-pilot untuk ekstraksi mineral kritis (BPPT, 2020).

Selain itu, Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM) di bawah Kementerian Perindustrian mengembangkan teknologi pemurnian logam tanah jarang dan produksi material magnetik berbasis LTJ, seperti magnet NdFeB, guna mendukung program industrialisasi bahan baku strategis (Kemenperin, 2023).

Kontribusi dari perguruan tinggi nasional juga mulai terlihat dalam riset logam tanah jarang. Peneliti Universitas Indonesia telah mengkaji ekstraksi thorium, uranium, dan LTJ dari slag timah dengan pendekatan pelindian asam. Universitas Gadjah Mada mengeksplorasi teknik pemisahan dan pemurnian LTJ dari tailing zirkon menggunakan teknologi pemisahan ionik. Sementara Universitas Pendidikan Indonesia mengembangkan pendekatan pemulihan LTJ dari limbah red mud dengan menggunakan pelarut hijau berbasis cairan ionik eutektik. Riset-riset ini menunjukkan keterlibatan dunia akademik dalam membangun dasar ilmiah pengembangan LTJ di Indonesia.

Selain itu, upaya kolaborasi dengan sektor swasta mulai dirintis untuk mempercepat pengembangan ekosistem industri LTJ nasional. Beberapa perusahaan dalam negeri telah mulai menjajaki kerja sama dalam pengembangan fasilitas pengolahan LTJ, sejalan dengan visi pemerintah membangun rantai nilai domestik berbasis mineral strategis.

Dari sisi kebijakan, Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, telah menetapkan logam tanah jarang sebagai salah satu dari 22 komoditas mineral strategis yang diatur dalam Kepmen ESDM No. 69.K/MB.01/MEM.B/2024. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong hilirisasi di dalam negeri dan meningkatkan nilai tambah mineral strategis, termasuk LTJ.

Berbagai inisiatif yang telah ditempuh menandai awal perjalanan Indonesia dalam menapaki jalan harapan menuju kemandirian industri LTJ. Tantangan seperti penguasaan teknologi lanjutan, kebutuhan investasi besar, dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan memang masih membentang. Namun dengan komitmen yang konsisten, kolaborasi yang kuat, dan visi strategis ke depan, langkah-langkah ini membuka fondasi bagi Indonesia untuk bergerak lebih jauh, menghadapi tantangan eksplorasi, penguasaan teknologi, hingga pembangunan rantai nilai berbasis LTJ secara berkelanjutan di masa depan.

Indonesia telah memulai perjalanan panjang untuk mewujudkan kemandirian di sektor logam tanah jarang (LTJ). Langkah-langkah nyata terus diambil, mulai dari eksplorasi sumber daya, pengembangan teknologi ekstraksi, hingga pembangunan ekosistem riset dan industri domestik. Meskipun tantangan dalam penguasaan teknologi, investasi besar, dan pengelolaan lingkungan masih membentang, optimisme tetap terjaga. Setiap tantangan justru memperkuat tekad Indonesia untuk meretas harapan menjadi kenyataan, membangun kemandirian industri LTJ yang berdaya saing di panggung global.

Namun demikian, jika berkaca pada pengalaman negara-negara lain yang telah lebih dahulu mengembangkan sektor logam tanah jarang, seperti China, Amerika Serikat, dan Australia, terdapat peluang untuk memperkuat dukungan kebijakan secara lebih terstruktur dan sistemik. China, sebagai pemimpin global LTJ, mengembangkan industrinya melalui kebijakan jangka panjang yang mencakup kuota produksi nasional, subsidi penuh untuk riset dan pengembangan, kontrol ekspor bahan mentah, serta program hilirisasi agresif yang mencakup produksi magnet permanen dan material canggih berbasis LTJ (USGS, 2025; OECD, 2022). Pemerintah China juga aktif mengelola pasar domestik melalui konsolidasi industri dan pengaturan harga.

Amerika Serikat mendukung pengembangan sektor ini dengan pendekatan berbasis stimulus fiskal dan penguatan riset teknologi. Melalui Defense Production Act dan Energy Act 2020, pemerintah AS memberikan insentif pajak, mendanai riset teknologi ekstraksi dan daur ulang LTJ, serta memperkuat komitmen pembelian produk LTJ untuk kebutuhan energi dan pertahanan (US DOE, 2023). Langkah-langkah ini dirancang untuk mempercepat kemandirian pasokan dan membangun rantai pasok domestik berbasis logam tanah jarang.

Australia mengadopsi model berbasis pasar terbuka dengan dukungan negara dalam pembiayaan eksplorasi melalui Exploration Incentive Scheme, penyediaan fasilitas ekspor melalui Export Finance Australia, serta pembentukan pusat riset nasional seperti ANSTO Minerals yang berfokus pada teknologi pemrosesan LTJ (Government of Australia, 2022). Pendekatan ini mempercepat pengembangan proyek-proyek critical minerals termasuk logam tanah jarang.

Melihat praktik terbaik dari negara-negara tersebut, terdapat ruang bagi Indonesia untuk melengkapi langkah-langkah yang telah ditempuh. Penyusunan strategi nasional logam tanah jarang yang terintegrasi, pemberian insentif fiskal khusus untuk sektor LTJ, dukungan pembiayaan eksplorasi, serta penguatan pendanaan riset dan teknologi pemrosesan berbasis LTJ dapat menjadi tahapan berikutnya untuk mempercepat pengembangan industri ini. Selain itu, membangun pasar domestik melalui skema kontrak offtake untuk produk berbasis LTJ, serta menerapkan kebijakan ekspor yang mendorong hilirisasi dalam negeri, akan memperkuat daya saing industri nasional.

Dengan fondasi yang sudah dibangun dan komitmen yang terus diperkuat, peluang Indonesia untuk menjadi pemain penting dalam rantai pasok global logam tanah jarang terbuka lebar. Dengan penyesuaian kebijakan yang tepat, perjalanan menuju kemandirian industri logam tanah jarang bukan hanya sebuah kemungkinan, tetapi dapat menjadi bagian integral dari visi besar pembangunan ekonomi nasional ke depan.

Bukan Fatamorgana

Perjalanan Indonesia dalam membangun industri logam tanah jarang memang baru dimulai, tetapi fondasinya telah diletakkan dengan komitmen yang nyata. Berbagai inisiatif eksplorasi, riset, pengembangan teknologi, dan dorongan hilirisasi menunjukkan bahwa potensi LTJ Indonesia bukanlah ilusi di tengah gurun globalisasi. Dengan konsistensi kebijakan, inovasi berkelanjutan, dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan, LTJ Indonesia berpeluang menjadi pilar kemandirian ekonomi sekaligus memperkuat posisi strategis bangsa dalam tatanan industri masa depan. Ini bukan fatamorgana—ini adalah realita yang tengah dibentuk, langkah demi langkah, menuju masa depan yang lebih berdaulat dan berdaya saing.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Logam Tanah Jarang: Realita atau Fatamorgana?”, Klik untuk baca di Kompas: https://money.kompas.com/read/2025/04/30/165026926/logam-tanah-jarang-realita-atau-fatamorgana.