
Pada 30 Mei 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif baja menjadi 50 persen, yang akan diberlakukan secara bertahap sepanjang tahun 2025. Kebijakan ini merupakan langkah agresif untuk mendukung industri baja AS, sekaligus mempertegas orientasi protektif yang telah diambil sebelumnya. Amerika Serikat sendiri mulai menggeser orientasi kebijakan perdagangannya menjadi lebih protektif sejak masa jabatan pertama Presiden Trump. Pada tahun 2018, ia memberlakukan tarif impor sebesar 25 persen terhadap sejumlah produk baja asing melalui Section 232 of the Trade Expansion Act of 1962, yaitu ketentuan hukum yang memberikan kewenangan kepada Presiden AS untuk mengenakan pembatasan impor atas nama keamanan nasional. Pada tahap awal, kebijakan tersebut masih bersifat selektif—hanya berlaku untuk produk dan negara tertentu, khususnya Tiongkok, yang dinilai mengancam kelangsungan industri baja domestik AS. Pendekatan ini berubah secara signifikan setelah Trump kembali menjabat untuk periode kedua. Dalam kebijakan yang dikenal luas sebagai ‘Tarif Trump Jilid Kedua’, diumumkan pada 2 April 2025, cakupan pembatasan impor untuk produk baja diperluas secara menyeluruh: mencakup hampir semua jenis produk baja dari semua negara tanpa kecuali. Tarif tidak lagi diarahkan pada jenis produk atau sumber tertentu, melainkan dijadikan instrumen sistemik untuk menutup keran impor baja AS.
Lantas, bagaimana jika terdapat kebutuhan baja yang tidak dapat diproduksi produsen baja AS? Untuk menjawab kebutuhan tersebut, pemerintah AS menjalankan mekanisme administratif bernama Product Exclusion Process, yakni prosedur yang memungkinkan importir mengajukan permohonan pembebasan tarif apabila dapat membuktikan bahwa produk baja yang dibutuhkan tidak tersedia secara memadai dari produsen domestik. Dengan demikian, meskipun dikemas sebagai kebijakan tarif, Section 232 pada praktiknya juga berfungsi sebagai mekanisme seleksi impor berbasis kebutuhan dan kemampuan industri dalam negeri AS—pendekatan yang secara substansi sepadan dengan sistem pengendalian impor yang dijalankan Indonesia melalui skema Persetujuan Teknis (Pertek).
Di Indonesia, pengendalian terhadap impor baja dijalankan melalui mekanisme Pertek yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian. Pertek merupakan bentuk perizinan impor non-otomatis yang mewajibkan setiap importir untuk mengajukan permohonan disertai data lengkap mengenai spesifikasi produk, rencana penggunaan, serta justifikasi kebutuhan industri. Mekanisme ini memungkinkan pemerintah untuk mengelola impor secara selektif berdasarkan kebutuhan sektor pengguna dan kemampuan pasokan dari produsen dalam negeri. Dengan demikian, Pertek tidak hanya mengatur akses masuk produk baja impor, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen kebijakan untuk memastikan optimalisasi penggunaan produk industri dalam negeri serta peningkatan utilisasi kapasitas nasional. Jika Amerika Serikat menerapkan prinsip serupa melalui pengenaan tarif dan Product Exclusion Process dalam kerangka Section 232, maka Indonesia melaksanakannya melalui Pertek yang mengaitkan kebutuhan industri pengguna dengan kapasitas produsen domestik.
Perbedaan utama antara Indonesia dan Amerika Serikat terletak pada bentuk intervensinya. Indonesia mengatur impor baja melalui pendekatan administratif berbasis perizinan, sedangkan Amerika Serikat menggunakan pendekatan fiskal berbasis tarif. Dalam sistem Indonesia, proses seleksi dilakukan sebelum impor dilaksanakan, melalui evaluasi atas kebutuhan industri pengguna dan kemampuan produsen dalam negeri oleh otoritas terkait. Sebaliknya, dalam sistem AS, tarif sebesar 25 persen langsung dikenakan secara otomatis terhadap seluruh produk baja impor, dan proses seleksi dilakukan setelahnya melalui mekanisme Product Exclusion yang memungkinkan pembebasan tarif apabila tidak ada produsen domestik yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan kata lain, Indonesia menerapkan prinsip “izin terlebih dahulu”, sedangkan Amerika Serikat menganut pendekatan “kenakan tarif dulu, kecualikan belakangan.” Meskipun instrumen hukumnya berbeda, keduanya bertumpu pada prinsip yang sama: impor hanya diperbolehkan jika kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi secara wajar oleh industri dalam negeri—baik dari sisi volume, spesifikasi teknis, maupun ketepatan waktu pengiriman.
Menariknya, mekanisme Pertek yang diterapkan Indonesia justru lebih dapat diterima WTO dibandingkan kebijakan tarif baja yang diberlakukan Amerika Serikat. Hingga saat ini, tidak ada satu pun negara anggota WTO yang secara resmi menggugat kebijakan Pertek Indonesia melalui mekanisme penyelesaian sengketa. Meskipun demikian, sistem ini beberapa kali menjadi sorotan dalam forum seperti Trade Policy Review dan Komite Perizinan Impor WTO, khususnya terkait transparansi prosedur dan kecepatan penerbitan izin. Namun seluruh pertanyaan tersebut berhasil diselesaikan melalui jalur konsultasi terbuka, tanpa pernah berkembang menjadi gugatan formal. Sebaliknya, kebijakan tarif baja AS berdasarkan Section 232 justru telah dinyatakan melanggar ketentuan WTO dalam putusan Panel Sengketa WT/DS544/R (China v. US) yang diumumkan pada 9 Desember 2022. Panel menilai bahwa alasan “keamanan nasional” yang diajukan oleh pemerintah AS tidak terbukti proporsional dan tidak relevan dengan ancaman nyata yang dihadapi. Meskipun Amerika Serikat menolak tunduk pada putusan tersebut, secara substansi pendekatan mereka lebih bertentangan dengan prinsip sistem perdagangan multilateral dibandingkan model administratif berbasis evaluasi kebutuhan industri yang dijalankan Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa meskipun menggunakan pendekatan dan instrumen yang berbeda, Indonesia dan Amerika Serikat pada dasarnya menerapkan prinsip yang serupa: pembukaan akses impor baja dilakukan apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri. Amerika Serikat mewujudkannya melalui kebijakan tarif dan mekanisme pengecualian, sementara Indonesia selama ini mengaturnya melalui sistem perizinan teknis berbasis evaluasi industri. Keduanya mencerminkan peran aktif negara dalam menjaga keberlanjutan sektor strategis, sembari tetap membuka ruang bagi perdagangan yang berimbang.
Arahan Presiden Prabowo untuk menyederhanakan regulasi impor, termasuk mekanisme Pertek, mencerminkan komitmen untuk menata ulang kebijakan industri nasional dalam kerangka kepemimpinan yang lebih terarah, terpusat, dan strategis. Penegasan bahwa pengaturan seperti Pertek hanya dapat diberlakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres) merupakan langkah afirmatif yang menempatkan pengendalian impor sebagai bagian integral dari strategi pembangunan industri yang dipimpin langsung oleh Presiden. Namun agar kebijakan ini dapat berjalan efektif, diperlukan penataan kelembagaan yang cermat agar mekanisme pengendalian tetap efisien dan responsif terhadap kebutuhan industri. Tidak seperti Amerika Serikat yang mengenakan tarif 25 persen secara otomatis dan hanya memproses permintaan pengecualian dalam kasus tertentu, sistem Pertek Indonesia mengharuskan setiap pelaku usaha untuk mengajukan izin secara individual setiap kali akan melakukan impor baja. Oleh karena itu, perlu dirancang sistem pendukung yang kuat agar proses verifikasi tetap berjalan lancar, tanpa menghambat kelangsungan produksi dan rantai pasok industri nasional.
Apa yang dilakukan Amerika Serikat melalui Product Exclusion Process, yang dalam praktiknya menyerupai “Pertek Baja Bergaya USA”, menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengendalian impor merupakan langkah strategis untuk menjaga keberlangsungan dan kedaulatan industri nasional, terutama di sektor-sektor strategis seperti industri baja. Dalam semangat yang sama, arahan Presiden untuk menata ulang kebijakan Pertek perlu ditindaklanjuti secara konsisten agar mekanisme ini tidak hanya mendukung kelancaran usaha dalam memenuhi kebutuhan bahan baku impor, tetapi juga berfungsi secara efektif sebagai instrumen untuk melindungi dan memperkuat fondasi industri dalam negeri.
Artikel ini telah tayang di Kompasiana, klik untuk baca di Kompasiana https://www.kompasiana.com/widodosetiadarmaji5795/6840f35ec925c465783cbfa2/product-exlcusion-process-pertek-baja-bergaya-amerika