
Kebijakan perdagangan Amerika Serikat kembali memasuki babak baru yang lebih agresif. Section 232 dari Trade Expansion Act of 1962, yang sejak 2018 menjadi instrumen proteksi industri baja dengan tarif 25 persen, kini diperkuat secara signifikan. Presiden Donald Trump tidak hanya menaikkan tarif baja hingga 50 persen, tetapi juga memperluas cakupannya ke produk turunan dan barang jadi berbasis baja. Inilah perbedaan mendasar dari kebijakan lama: proteksi tidak lagi berhenti pada produk baja, melainkan menjangkau seluruh rantai nilai hingga barang jadi dan komponen. Dengan langkah ini, Amerika Serikat menerapkan strategi Total Defense dalam perdagangan baja—perlindungan menyeluruh dari hulu hingga hilir.
Menutup Rapat Celah Impor
Eskalasi proteksi industri baja Amerika Serikat mencapai puncaknya pada Agustus 2025 ketika Departemen Perdagangan menambahkan 407 subpos HS baru ke dalam cakupan Section 232 dengan tarif 50 persen. Cakupan tambahan ini tidak hanya mencakup berbagai bentuk produk baja, tetapi juga ratusan kategori barang jadi yang selama ini menjadi jalur alternatif bagi eksportir. Trailer truk, suku cadang otomotif, peralatan rumah tangga, hingga komponen kelistrikan dan knalpot otomotif kini resmi masuk ke dalam jaring tarif tersebut.
Langkah ini menutup rapat jalur masuk yang selama ini dimanfaatkan untuk menghindari tarif produk baja. Jika sebelumnya eksportir masih bisa mengalihkan strategi lewat ekspor barang hilir, kini opsi itu pun terhenti. Bagi pasar global, pesan Washington jelas: proteksi industri baja bukan kebijakan sementara, melainkan strategi jangka panjang yang dijalankan secara konsisten. Sikap keras ini berakar pada pengalaman sebelumnya, ketika tarif produk baja tahun 2018 terbukti tidak cukup efektif.
Alih-alih menekan impor, kebijakan 2018 justru mendorong pergeseran ke produk turunan dan barang jadi berbasis baja. Data menunjukkan lonjakan signifikan pada transformator dan komponen kelistrikan, berbagai suku cadang otomotif, serta peralatan rumah tangga berbasis baja. Pola ini memperlihatkan bagaimana eksportir memanfaatkan celah dengan mengganti ekspor baja menjadi produk hilir yang bebas dari tarif. Gedung Putih menilai fenomena ini berdampak pada “eroding the customer base for U.S. steel producers”—mengikis basis pelanggan produsen baja domestik.
Bagi Amerika Serikat, kegagalan ini bukan sekadar ancaman perdagangan, melainkan persoalan strategis. Baja merupakan industri vital bagi otomotif, energi, dan infrastruktur, serta pada akhirnya menjadi penopang utama pertahanan nasional. Tujuan Section 232 sejak awal adalah menjaga utilisasi pabrik baja di kisaran sehat 80 persen agar industri tetap kuat dan mandiri. Karena itu, ekspansi tarif dipandang sebagai langkah logis—bukan hanya kebijakan dagang, melainkan strategi keamanan nasional.
Baja sebagai Kepentingan Nasional
Ekspansi Section 232 menegaskan kembali bahwa bagi Washington, baja adalah bagian dari national interest. Ia dipandang bukan hanya sebagai industri dasar, melainkan pilar utama yang menopang daya saing manufaktur, infrastruktur, energi, dan pertahanan. Dengan memperluas cakupan tarif, pemerintah ingin memastikan seluruh rantai industri baja terlindungi. Produsen domestik seperti Cleveland-Cliffs menyambut langkah ini karena memberi kepastian investasi dan menjaga lapangan kerja. Dalam kerangka Total Defense, negara dan industri tampil sebagai satu barisan yang saling menguatkan.
Kebijakan ini lahir dari kesadaran bahwa impor barang jadi berbasis baja menciptakan serangkaian dampak yang melemahkan industri domestik. Pertama, impor barang jadi memungkinkan praktik tariff circumvention—produsen asing menghindari tarif dengan mengalihkan ekspor dari baja dasar ke produk hilir. Kedua, strategi ini menurunkan permintaan baja domestik secara tidak langsung. Ketika industri hilir di dalam negeri membeli barang jadi impor, mereka tidak lagi membutuhkan pasokan dari produsen baja lokal. Ketiga, kondisi ini membuat margin keuntungan industri baja menyusut sehingga menghambat investasi, modernisasi teknologi, dan inovasi. Keempat, ketergantungan yang meningkat pada pasokan barang jadi impor menimbulkan risiko keamanan nasional. Jika terjadi krisis geopolitik atau gangguan pasok global, Amerika bisa kehilangan akses pada produk strategis seperti komponen otomotif atau peralatan listrik yang vital.
Bagi negara-negara eksportir, perluasan Section 232 menutup salah satu pasar terbesar di dunia. Industri baja mereka kehilangan ruang penjualan, sementara industri hilir juga terhambat karena produk bernilai tambah tinggi tidak lagi bisa leluasa masuk. Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, dan Uni Eropa kemungkinan akan mengalihkan surplus produk baja dan barang jadi mereka ke kawasan lain. Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sangat berpotensi menjadi sasaran limpahan ini. Tekanan kompetitif bagi industri baja dan manufaktur di kawasan akan semakin berat. Tidak tertutup kemungkinan pula muncul respons berupa tarif balasan atau gugatan ke WTO, yang dapat memicu ketegangan dagang lebih luas.
Konsekuensi domestik juga tak bisa diabaikan. Sektor hilir Amerika—mulai dari otomotif hingga peralatan rumah tangga—akan menghadapi kenaikan biaya produksi akibat harga baja dan barang jadi yang lebih mahal. Konsumen pada akhirnya terkena imbas berupa harga barang yang meningkat. Meski demikian, pemerintah AS menilai manfaat strategis dari memperluas perlindungan—tidak hanya pada industri baja hulu, tetapi juga pada produk turunan dan barang jadi berbasis baja—lebih besar dibandingkan biaya tambahan yang ditanggung sektor hilir dan konsumen. Dengan langkah ini, Washington memastikan kemandirian pasok sekaligus memperkuat fondasi keamanan nasional.
Menguatkan Industri Baja Indonesia
Ekspansi Section 232 menunjukkan dengan gamblang bahwa perlindungan industri baja tidak bisa berhenti pada tarif atas produk baja dasar. Pemerintah AS belajar dari pengalaman bahwa masuknya barang jadi berbasis baja justru menggerus pasar domestik dan melemahkan ekosistem industri secara keseluruhan. Karena itu, cakupan proteksi diperluas hingga ke seluruh rantai nilai dengan tujuan menjaga kemandirian baja sebagai tulang punggung ekonomi sekaligus pertahanan.
Bagi Indonesia, langkah ini menjadi rujukan penting. Industri baja nasional hingga kini belum tumbuh kokoh karena dua tekanan utama: impor produk baja dan membanjirnya barang jadi berbasis baja. Lebih jauh, Indonesia belum pernah memiliki kebijakan tarif yang secara khusus menahan arus barang jadi tersebut. Akibatnya, pasar dalam negeri terdesak oleh produk manufaktur baja impor yang lebih murah daripada produksi lokal. Dampaknya jelas: industri hulu kehilangan pasar, sementara industri hilir sulit berkembang karena harus bersaing langsung dengan barang jadi berbiaya rendah dari luar negeri.
Pembelajaran yang bisa diambil jelas: Indonesia membutuhkan strategi total defense sebagaimana diterapkan Amerika Serikat—menutup celah impor produk akhir berbasis baja agar industri dalam negeri memiliki ruang tumbuh, baik di hulu maupun hilir. Tanpa keberpihakan semacam itu, sulit bagi industri baja nasional untuk berdiri kokoh sebagai fondasi pembangunan. Lebih jauh lagi, kemandirian baja harus dipandang sebagai prasyarat mutlak untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Artikel ini telah terbit di InvestorTrust pada tautan berikut: https://investortrust.id/business/76550/total-defense-perdagangan-baja-amerika-mengungkap-kebijakan-ekspansi-section-232