Tentang Industri Baja Indonesia

Steel is the Mother of All Industries

Dalam sejarah industrialisasi global, tidak ada negara yang berhasil menjadi kekuatan ekonomi besar tanpa fondasi industri baja yang kuat. Sejak Revolusi Industri pertama di abad ke-18, baja telah menjadi elemen tak tergantikan dalam setiap fase kemajuan ekonomi dunia—dari pengembangan mesin uap dan jalur kereta api, pembangunan kota-kota modern, ekspansi industri otomotif dan kimia, hingga transformasi digital dan energi terbarukan saat ini. Sebagai material dasar dalam pembangunan infrastruktur, manufaktur, transportasi, energi, hingga pertahanan, baja terus menjadi tulang punggung peradaban industri modern. Namun penguatan industri baja tidak pernah lahir secara alami—ia selalu dibentuk melalui intervensi dan dukungan aktif dari negara.

Di awal abad ke-20, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat membangun industrinya melalui proteksi tarif, investasi publik, dan kemitraan strategis dengan sektor swasta. Setelah Perang Dunia II, Jepang dan Korea Selatan mendorong pertumbuhan kapasitas baja nasional lewat strategi industrialisasi yang disiplin, regulasi yang konsisten, dan dukungan pembiayaan teknologi jangka panjang. Memasuki era globalisasi, Tiongkok menjalankan konsolidasi industri dan ekspansi besar-besaran berbasis rencana nasional, menjadikannya produsen baja terbesar dunia. Kini India meneruskan pola serupa melalui National Steel Policy dengan target ambisius 300 juta ton per tahun. Seluruh pengalaman ini menegaskan bahwa arah kebijakan yang konsisten dan kolaborasi antar pemangku kepentingan merupakan prasyarat mutlak bagi terbentuknya daya saing industri baja nasional — dan menjadi fondasi yang tak tergantikan dalam mewujudkan visi besar Indonesia Emas 2045. Dalam konteks itulah, Indonesia kini berada di persimpangan penting: membangun fondasi industri baja yang kokoh bukan sekadar opsi, melainkan mandat sejarah untuk menjawab tantangan pembangunan masa depan.

Penerjemahan visi tersebut menuntut transformasi besar-besaran di hampir seluruh sektor pembangunan. Untuk mewujudkannya, Indonesia membutuhkan pasokan baja yang kuat, stabil, dan berkelanjutan. Proyek-proyek strategis seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), pembangunan Giant Sea Wall di sepanjang pesisir utara Jawa, program penyediaan 3 juta rumah rakyat, serta pengembangan sentra-sentra industri dalam kerangka hilirisasi mineral—seperti smelter nikel, tembaga, dan aluminium—akan mendorong lonjakan permintaan baja nasional. Bahkan sektor digital dan pertahanan modern—meskipun berbeda sifatnya—sama-sama bergantung pada struktur dan material baja sebagai penopang utama. Dalam konteks ini, baja bukan hanya menopang pembangunan fisik, tetapi menjadi elemen mendasar bagi terwujudnya cita-cita Indonesia sebagai negara industri maju dan berdaulat.

Indonesia diperkirakan akan menjadi salah satu dari lima kekuatan ekonomi terbesar dunia pada tahun 2045–2050, sebagaimana diproyeksikan oleh PwC, HSBC Global Research, dan Goldman Sachs. Dengan laju pertumbuhan ekonomi tahunan rata‑rata sekitar 5–6 persen dan populasi yang diprediksi mencapai 318 juta jiwa pada 2045, kebutuhan baja nasional akan meningkat tajam. Saat ini, konsumsi baja per kapita Indonesia masih tergolong rendah—sekitar 60–65 kg—dengan kapasitas produksi domestik hanya sekitar 17 juta ton per tahun. Namun seiring peningkatan pendapatan, percepatan industrialisasi, dan pertumbuhan sektor manufaktur, konsumsi baja per kapita diperkirakan akan mencapai 300–350 kg pada 2045. Berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan lonjakan konsumsi per kapita tersebut, kebutuhan baja nasional diperkirakan akan melewati 100 juta ton per tahun. Estimasi ini bersifat realistis karena bertumpu pada dua fondasi utama: proyeksi kekuatan ekonomi Indonesia dalam dua dekade mendatang, serta pola historis bahwa peningkatan GDP per kapita di berbagai negara selalu diiringi kenaikan konsumsi baja secara signifikan. Sebagai pembanding, konsumsi baja per kapita pada 2024 di Jepang mencapai 419 kg, Korea Selatan 924 kg, dan Tiongkok 601 kg. Negara-negara ASEAN pun menunjukkan tren serupa: Thailand mencatat 242 kg per kapita, Vietnam telah melampaui 740 kg, Malaysia 119 kg, dan bahkan Singapura—meski tanpa basis industri berat—mencapai lebih dari 490 kg per kapita karena intensitas konstruksi dan kompleksitas ekonominya. Dengan mempertimbangkan tren global, proyeksi domestik, dan dinamika konsumsi per kapita, kebutuhan Indonesia yang diperkirakan akan melampaui 100 juta ton pada 2045 merupakan estimasi yang rasional dan layak dijadikan arah strategis pembangunan industri baja nasional.

Namun, upaya Indonesia untuk memperkuat industri baja nasional tidak berlangsung dalam situasi yang mudah. Di tingkat global, industri baja tengah menghadapi tantangan serius berupa kelebihan kapasitas kronis. OECD mencatat bahwa pada tahun 2023, kapasitas produksi baja dunia telah melampaui permintaan sebesar 602 juta ton, dan diperkirakan akan membengkak menjadi 721 juta ton pada 2027. Ketimpangan kapasitas ini diperparah oleh praktik perdagangan yang tidak seimbang—termasuk ekspor dengan harga sangat rendah dari negara-negara yang mengalami kelebihan kapasitas, yang sering kali diperkuat oleh berbagai bentuk dukungan kebijakan pemerintah, seperti subsidi energi, fasilitas pembiayaan murah, insentif ekspor dan pajak, serta penyediaan lahan dan infrastruktur. Situasi inilah yang kemudian mengancam keberlangsungan industri baja di negara lain dan mendorong munculnya gelombang proteksionisme di berbagai kawasan.

Tiongkok, sebagai produsen baja terbesar dunia dengan output lebih dari 1 miliar ton per tahun, menjadi episentrum tekanan ini. Pada 2024, negara tersebut mengekspor hingga 117 juta ton baja ke pasar global, menciptakan tekanan besar terhadap industri baja di banyak negara. Negara-negara produsen utama merespons dengan kebijakan protektif yang makin agresif. Amerika Serikat, misalnya, telah memperkuat tarif baja sejak 2018 melalui Section 232 terhadap produk asal Tiongkok, dan kembali menaikkan tarif pada 2024 yang diberlakukan secara menyeluruh terhadap semua negara. Kebijakan ini berada di luar lebih dari 320 instrumen trade remedies yang aktif diberlakukan, termasuk tindakan anti-dumping dan countervailing duties.

Uni Eropa juga memperkuat perlindungan industrinya melalui mekanisme Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) untuk menyeimbangkan aspek lingkungan dan daya saing, disertai lebih dari 100 instrumen trade remedies aktif terhadap berbagai produk baja impor. Di kawasan Asia, India dan sejumlah negara ASEAN seperti Thailand dan Malaysia turut memanfaatkan instrumen pengamanan perdagangan seperti anti-dumping dan safeguard untuk menjaga keberlanjutan industrinya.

Indonesia juga telah menerapkan sejumlah kebijakan pengamanan perdagangan, dan terus memperkuat kapasitasnya dalam memanfaatkan instrumen-instrumen tersebut. Ke depan, optimalisasi pemanfaatan trade remedies akan menjadi bagian penting dari strategi nasional untuk membangun industri baja yang tangguh, adil, dan berdaya saing dalam menghadapi tekanan eksternal yang semakin kompleks.

Selain tekanan perdagangan global, tantangan lain yang tidak kalah krusial adalah transisi menuju ekonomi rendah karbon. Industri baja global saat ini menyumbang sekitar 7–9 persen dari total emisi karbon dunia, menjadikannya salah satu sektor yang paling mendapat tekanan untuk melakukan dekarbonisasi. Seiring dengan rencana ekspansi kapasitas baja nasional menuju lebih dari 100 juta ton per tahun, potensi lonjakan emisi menjadi perhatian yang tidak bisa diabaikan. Karena itu, transformasi teknologi menuju produksi baja hijau bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keniscayaan strategis yang harus dirancang sejak awal.

Berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan—yang kini dapat memensiunkan pabrik-pabrik lama yang telah melewati usia ekonomis—Indonesia menghadapi tantangan yang berbeda. Sebagian besar fasilitas produksi baja nasional masih tergolong baru dan dibangun dengan menggunakan teknologi berbasis batu bara yang hingga kini masih dianggap paling kompetitif dari sisi biaya produksi. Apabila Indonesia ingin bertransformasi menuju teknologi produksi baja rendah emisi, maka dibutuhkan investasi yang sangat besar dan berisiko meningkatkan ongkos produksi hingga 20–50 persen, sebagaimana diperkirakan oleh sejumlah lembaga internasional termasuk World Economic Forum.

Untuk menjembatani tantangan tersebut, diperlukan kebijakan pemerintah yang pro-transisi. Ini mencakup insentif fiskal bagi teknologi hijau, akses pembiayaan inovatif yang kompetitif, serta penerapan strategi pengadaan yang memberikan preferensi terhadap produk baja rendah emisi.

Transformasi ini juga menjadi prasyarat agar industri baja Indonesia tetap relevan dalam ekosistem perdagangan global yang kian selektif terhadap jejak karbon. Mekanisme seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diterapkan Uni Eropa adalah sinyal kuat bahwa standar lingkungan akan segera menjadi hambatan non-tarif baru dalam arus perdagangan internasional. Karena itu, kesiapan industri baja dalam menghadapi transisi menuju net zero emission harus menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi pembangunan industri nasional jangka panjang.

Industri baja bukan sekadar soal produksi logam, melainkan cerminan kesiapan suatu bangsa dalam membangun masa depannya secara mandiri. Dalam konteks Indonesia, membangun kapasitas baja nasional hingga melewati 100 juta ton per tahun bukanlah semata ambisi, melainkan keharusan strategis untuk menopang pembangunan jangka panjang dan kemandirian industri nasional.

Di tengah tantangan global berupa kelebihan kapasitas, praktik perdagangan yang tidak adil, dan tekanan transisi menuju ekonomi rendah karbon, Indonesia tidak bisa mengandalkan mekanisme pasar semata. Diperlukan kepemimpinan negara yang tegas, arah kebijakan yang konsisten, serta kolaborasi lintas pemangku kepentingan—dari pemerintah pusat hingga pelaku industri, dari lembaga pembiayaan hingga institusi riset dan teknologi.Dengan kebijakan yang berpihak, infrastruktur industri yang terintegrasi, dan keberanian mengambil langkah strategis sejak dini, industri baja Indonesia dapat menjadi fondasi kokoh bagi kemandirian dan daya saing ekonomi nasional. Inilah saatnya menempatkan baja sebagai pilar utama dalam perjalanan mewujudkan Indonesia sebagai kekuatan industri baru dunia pada 2045.