SMInsights: Berita Baja Mingguan (1–6 September 2025)

Pekan pertama September 2025 ditandai oleh pelemahan harga di Tiongkok dan Turki, penguatan terbatas di Amerika Serikat, serta stabilisasi di ASEAN, sementara arus perdagangan global masih dibanjiri ekspor Tiongkok di tengah pasar AS yang tertutup tarif dan Eropa yang menunggu kepastian penerapan penuh CBAM. Maraknya kebijakan proteksi juga perlu menjadi perhatian, mulai dari provisional duties Kanada, penyelidikan anti-dumping Indonesia, safeguard India, hingga price undertakings Korea Selatan, yang memperlihatkan semakin meluasnya tren trade remedies. Di sisi investasi, Australia dan AS memunculkan rencana pabrik baru berbasis EAF, India menyiapkan insentif nasional untuk green steel, sedangkan Eropa justru menghadapi tantangan pendanaan proyek hijau. Keseluruhan perkembangan ini menegaskan tiga isu utama yang perlu dicermati: risiko oversupply akibat ekspor Tiongkok, fragmentasi perdagangan akibat proteksi, serta ketidakpastian transisi hijau yang bergantung pada dukungan pendanaan dan kebijakan negara.

I. Perkembangan Harga Baja

Memasuki pekan pertama September 2025, pergerakan harga baja global cenderung melemah tipis di sebagian besar kawasan, meski beberapa segmen menunjukkan stabilisasi. Di Tiongkok, harga HRC spot tercatat RMB 3.393/t atau setara sekitar USD 471/t, relatif stagnan dari pekan sebelumnya. Rebar spot turun ke RMB 3.155/t atau sekitar USD 438/t, menegaskan lemahnya permintaan konstruksi. Produk lain juga bergerak variatif, dengan CRC berada di kisaran USD 565/t, galvanis USD 593/t, coil berwarna USD 715/t, dan welded pipe sekitar USD 504/t.

Pasar Amerika Serikat mencatat penguatan terbatas. HRC domestik ex-works Midwest naik ke USD 902/t dari USD 880 pekan lalu, meskipun sektor otomotif masih menghadapi ketidakpastian rantai pasok.

Eropa menunjukkan tren beragam. Harga HRC domestik di Eropa Utara tercatat sekitar EUR 575/t ex-works atau USD 620–670/t, sedikit melemah dari akhir Agustus. Namun CRC domestik di Eropa Selatan justru naik menjadi EUR 630–650/t ex-works, sementara HDG berada di kisaran EUR 650–690/t. Peningkatan ini mencerminkan adanya pemulihan pasca-liburan musim panas, meski permintaan masih rapuh di sektor otomotif dan konstruksi.

Di Turki, harga rebar FOB melemah ke USD 542/t dari USD 535–545 sebelumnya. Harga scrap HMS 80:20 CFR turun tipis ke USD 342/t. ASEAN menunjukkan stabilisasi, dengan HRC impor di level USD 501/t dan rebar USD 476/t, didorong oleh aktivitas pembelian yang mulai meningkat di pasar Vietnam dan Indonesia.

India relatif stabil. Harga rebar domestik di Raipur berada di kisaran INR 39.700/t atau setara USD 475/t, dengan wire rod sekitar USD 488/t dan HRC ex-Mumbai sekitar USD 596/t. Harga scrap shredded turun ke USD 366/t, menekan margin produsen.

Ringkasan Harga Baja (USD/ton) – Minggu I September 2025

KawasanHRCCRCGalvanisCoil BerwarnaPipaRebarWire RodScrap
Tiongkok471 ↓565 ↓593 ↓715 →504 ↓438 ↓466 ↓
AS902 ↑1.095 →1.085 →1.350 →1.100 →920 →425 ↑
Eropa620–670 ↓735–748 ↑650–690 ↑1.000 →935 →592 →300 →
Turki545–550 →542 ↓545–550 ↓342 ↓
India596 →640 →695 →800 →505 →475 →488 →366 ↓
ASEAN501 →545 →645 →820 →650 →476 →355 →

Catatan:
↑ = naik dari pekan sebelumnya
↓ = turun dari pekan sebelumnya
→ = stabil (≤ ±0,5%)

II. Perkembangan Perdagangan Baja Global

Arus perdagangan baja pada pekan pertama September 2025 masih ditandai oleh derasnya ekspor dari Tiongkok yang mencari pasar di luar negeri. Produsen baja di sana, menghadapi lemahnya permintaan domestik, terus mendorong rebar dan wire rod ke pasar Asia dan Timur Tengah. Lonjakan arus keluar ini menambah persaingan global, karena banyak negara juga berusaha mencari pasar ekspor di tengah kondisi permintaan yang lemah.

Di Amerika Serikat, impor baja hampir berhenti total sejak perluasan tarif 50 persen diberlakukan. Pasar long products domestik kini sepenuhnya dipenuhi suplai dalam negeri, sehingga aliran baja dari Asia dan Eropa tertutup rapat. Kondisi ini memaksa produsen dari luar AS untuk mengalihkan pengiriman mereka ke kawasan lain, terutama Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia.

Eropa masih dibanjiri impor meskipun permintaan belum pulih. Setelah libur musim panas, aktivitas pembelian memang mulai meningkat, tetapi belum cukup untuk menyeimbangkan arus masuk. Pabrik-pabrik domestik yang sempat mengurangi produksi di musim panas mencoba menaikkan output lagi pada September, namun tingginya pasokan impor tetap menekan pasar.

Kondisi global semakin kompetitif karena arus baja yang tidak bisa masuk ke pasar Amerika kini mencari tempat di Eropa, Asia, dan Afrika Utara. Persaingan antar produsen menjadi semakin ketat, dengan setiap eksportir berusaha mempertahankan pangsa pasar di tengah permintaan yang terbatas.

III. Kebijakan dan Trade Remedies

Pekan pertama September 2025 ditandai dengan maraknya kebijakan trade remedies di berbagai negara. Kanada melalui CBSA menetapkan provisional anti-dumping duties atas impor kawat baja karbon dan paduan dari sepuluh negara, dengan tarif bervariasi antara 3,5% hingga 138,6%. Produk asal China dikenakan bea antara 3,5%–114,2%, sedangkan impor dari Taiwan, India, Italia, dan Spanyol menghadapi tarif maksimum 138,6%.

Di Indonesia, KADI resmi memulai penyelidikan anti-dumping terhadap HRC asal China (Wuhan Iron & Steel Group), mencakup 18 pos tarif HS 7208. Proses ini dibuka sejak 1 September 2025 dengan tenggat 10 hari kerja untuk partisipasi pihak berkepentingan.

Sementara itu, India melalui DGTR mengeluarkan rekomendasi safeguard tiga tahun atas produk baja datar non-paduan dan paduan, dengan bea masuk bertahap 12% di tahun pertama, turun menjadi 11% di tahun ketiga【SMM 18/8/2025】. India juga menerima petisi baru dari asosiasi industri stainless steel domestik (ISSDA) untuk penyelidikan anti-dumping terhadap produk stainless murah yang dinilai merugikan produsen lokal.

Korea Selatan, melalui Korea Trade Commission (KTC), merekomendasikan penerapan price undertakings bagi sembilan eksportir HRC asal Tiongkok, dengan opsi alternatif bea anti-dumping final sebesar 27,91%–34,10% untuk periode lima tahun. Saat ini masih berlaku bea sementara antara 27,91%–38,02% yang telah berjalan sejak April 2025.

Di sisi lain, Tiongkok menghadapi tekanan global yang semakin besar. Data resmi mencatat hingga Agustus 2025 sudah ada hampir 110 investigasi anti-dumping dan anti-subsidi yang diajukan negara-negara lain terhadap produk baja China, mulai dari wire rod, HRC, pipa baja, hingga stainless steel coil.

Ringkasan Kebijakan dan Trade Remedies (Minggu I September 2025)

NegaraInstrumenProdukKeputusan/ Status TerbaruTarif/Angka
KanadaProvisional ADSteel Wire (10 negara)Bea sementara diberlakukan per 4 Sep 2025China 3,5–114,2%; Taiwan/India/Italia/Spanyol 138,6%; Malaysia 3,7–16,6%; Portugal 5,1–43,5%; Thailand 15,9–29,6%; Turki 24,3–79,6%; Vietnam 13,4–138,6
IndonesiaAD InvestigationHRC (China)KADI mulai penyelidikan 1 Sep 2025Mencakup 18 pos tarif HS 7208
IndiaSafeguardFlat products (non-alloy & alloy)DGTR rekomendasi safeguard 3 tahun12% → 11,5% → 11%
IndiaAD PetitionStainless steelISSDA ajukan petisi ke DGTRMenunggu investigasi
KoreaAD/UndertakingHRC (China)Rekomendasi price undertaking untuk 9 eksportirAD final 27,9–34,1% (5 tahun); AD sementara 27,9–38,0%
ChinaAD/CVD (global)Produk baja eksporMenghadapi hampir 110 investigasi asing (Jan–Aug 2025)

IV. Investasi Peningkatan Kapasitas & Green Steel

Pekan pertama September 2025 memperlihatkan beberapa perkembangan penting dalam agenda investasi kapasitas baru dan transisi hijau industri baja. Di Australia, proposal pembangunan pabrik green steel berbasis Electric Arc Furnace (EAF) di Toowoomba, Queensland, memasuki tahap revisi dokumen izin. Proyek senilai sekitar A$1 miliar ini dirancang untuk memanfaatkan scrap lokal dengan kapasitas 350 ribu ton per tahun, dan diklaim mampu memenuhi lebih dari separuh kebutuhan rebar di kawasan Queensland.

Di Eropa, Stegra yang sebelumnya dikenal sebagai H2 Green Steel tengah berupaya menghimpun tambahan pembiayaan untuk melanjutkan proyek hydrogen-based DRI di Boden, Swedia. Perusahaan ini sebelumnya telah mengamankan pendanaan sekitar €6,5 miliar pada awal 2024, namun lonjakan biaya dan tekanan pasar membuat mereka harus mencari tambahan dana agar proyek tetap berjalan sesuai jadwal. Perkembangan ini menunjukkan tantangan nyata pendanaan bagi proyek baja hijau di tengah kondisi pasar global yang semakin ketat.

Di India, pemerintah menegaskan kembali komitmennya melalui Green Steel Mission dengan menyiapkan insentif nasional untuk mendorong adopsi teknologi rendah emisi, termasuk pemanfaatan EAF, DRI berbasis hidrogen, dan integrasi energi terbarukan dalam proses produksi baja. Kerangka kebijakan ini diumumkan sebagai langkah untuk mempercepat transisi industri baja India sekaligus memperkuat daya saingnya di tengah regulasi global yang semakin menuntut produk hijau.

Sementara itu di Amerika Serikat, Nippon Steel mengumumkan rencana investasi besar dengan membangun pabrik EAF baru senilai US$4 miliar. Rencana ini diumumkan pada akhir Agustus dan mulai menjadi perhatian pada pekan pertama September karena akan menambah portofolio investasi rendah emisi di pasar Amerika Utara, sekaligus memperlihatkan strategi diversifikasi Nippon Steel dalam menghadapi perubahan pasar global.

Ringkasan Investasi & Green Steel (Minggu I September 2025)

Perusahaan/ProgramLokasiTeknologi / LingkupKapasitas / TargetNilai Investasi
GM Steel (proposal)Toowoomba, Queensland, AustraliaElectric Arc Furnace berbasis scrap (rebar)350 ribu ton per tahun±A$1 miliar
Stegra (eks H2 Green Steel)Boden, SwediaHydrogen-DRI + EAF (green steel)n/a€6,5 miliar sudah diamankan, mencari tambahan dana
Pemerintah India (Green Steel Mission)India (nasional)Insentif adopsi teknologi hijau (EAF, H₂-DRI, renewables)Peningkatan kapasitas green steel nasionaln/a
Nippon SteelAmerika SerikatPabrik EAF barun/aUS$4 miliar

V. Isu Strategis yang Perlu Dicermati

Pekan pertama September 2025 ditandai oleh tiga isu utama yang berpotensi memengaruhi arah pasar baja global. Pertama, derasnya ekspor Tiongkok yang terus membanjiri pasar Asia Tenggara dan Timur Tengah. Dengan lemahnya permintaan domestik, pabrikan Tiongkok semakin agresif menyalurkan produk, khususnya HRC dan rebar, sehingga menimbulkan tekanan persaingan yang semakin ketat bagi produsen regional. Kondisi ini menimbulkan risiko oversupply di ASEAN, terutama ketika beberapa negara belum memiliki instrumen proteksi yang cukup efektif.

Kedua, kebijakan proteksi di Amerika Serikat dan Eropa menciptakan fragmentasi perdagangan yang makin nyata. Di AS, perluasan tarif 50 persen terus menahan arus impor, sementara di Eropa, importir memilih menunggu kepastian penuh implementasi CBAM pada Oktober. Kombinasi dua kebijakan ini berimplikasi pada meningkatnya arus trade diversion ke pasar Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Ketiga, keberlanjutan proyek green steel menghadapi tantangan serius dari sisi pendanaan. Kasus Stegra di Swedia memperlihatkan bahwa meskipun proyek hijau didukung kebijakan dan regulasi, realisasi finansial masih terganjal biaya tinggi dan iklim investasi yang belum stabil. Situasi ini kontras dengan India yang justru memperkenalkan insentif nasional untuk green steel, memperlihatkan perbedaan signifikan antara negara maju yang menghadapi hambatan biaya dan negara berkembang yang berupaya mempercepat transisi melalui dukungan fiskal.

Sumber Data:

SunSirs, CUSteel, SteelMint, Fastmarkets, Eurometal, Steel Market Update (SMU), AISU, Argus/Platts, TradingEconomics, AustralianSteel.com, LME, MSN.