Saatnya Industri Baja Menjadi Prioritas Pembangunan Nasional

Pembangunan infrastruktur menjadi bagian penting dari agenda pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Hal ini tercermin dalam Konferensi Internasional Infrastruktur 2025 yang dibuka secara langsung oleh Presiden pada 11 Juni 2025 di Jakarta Convention Center. Dalam forum tersebut, pemerintah memaparkan rencana pengembangan berbagai proyek strategis—meliputi jaringan jalan tol, sistem air minum, pengelolaan limbah, transportasi massal, dan proyek ikonik seperti Giant Sea Wall yang menjadi perhatian khusus Presiden. Di balik antusiasme terhadap agenda pembangunan infrastruktur ini, satu hal mendasar kerap luput dari perhatian: tidak akan ada pembangunan infrastruktur tanpa industri baja yang kuat di belakangnya.

Baja adalah the mother of all industries. Julukan ini bukan sekadar slogan kosong, melainkan cerminan dari kenyataan bahwa baja menjadi fondasi dasar bagi hampir seluruh sektor strategis—mulai dari pembangunan infrastruktur, otomotif, alat berat, permesinan, energi, pertanian, pertahanan, hingga seluruh sistem produksi modern. Di berbagai negara maju, industri baja tidak dipandang sebagai komoditas biasa, melainkan sebagai instrumen kedaulatan dan ketahanan nasional. Amerika Serikat, misalnya, menggunakan dalih national security untuk mengenakan tarif tinggi terhadap baja impor dan menolak akuisisi asing atas industri strategisnya. India dan Tiongkok secara terbuka menempatkan baja sebagai penghela industrialisasi dan pilar dari agenda strategis nasional mereka. Steel is a national interest, karena tanpa kendali atas industri baja, mustahil membangun kedaulatan industri—bahkan kedaulatan negara itu sendiri.

Dari perspektif ekonomi, industri baja memiliki dampak pengganda (multiplier effect) yang sangat besar dibandingkan sektor industri lainnya. Kajian Oxford Economics (2019) menunjukkan bahwa setiap USD 1 nilai tambah di industri baja akan mendorong USD 2,5 aktivitas ekonomi di rantai pasok dan hingga USD 13 di sektor pengguna akhir. Dalam hal tenaga kerja, setiap satu pekerjaan di sektor baja menciptakan 6,5 pekerjaan tambahan di sepanjang rantai pasok dan 35 pekerjaan tambahan di sektor pengguna. Secara global, industri baja mendukung lebih dari 259 juta lapangan kerja serta menyumbang USD 8,2 triliun terhadap PDB dunia, atau sekitar 8 persen dari total PDB (2017). Data ini menunjukkan bahwa baja bukan hanya national interest karena perannya dalam menciptakan kemandirian industri dan menjaga kedaulatan negara, tetapi juga karena nilai ekonomi yang dimilikinya. Memiliki dampak ekonomi yang begitu luas dan mendalam, industri baja justru menjadi kunci penting bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen yang telah dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Ironisnya, di tengah peran strategis baja yang tak tergantikan, industri ini justru belum diposisikan sebagai sektor prioritas dalam perencanaan pembangunan nasional. Padahal untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, kebutuhan baja diperkirakan akan melonjak menjadi lebih dari 100 juta ton per tahun—lima kali lipat dari kapasitas saat ini. Untuk mencapainya, Indonesia harus menambah kapasitas sekitar 100 juta ton dalam dua dekade ke depan, dengan nilai investasi sedikitnya USD 100 miliar. Ini berarti negara harus mampu membangun pabrik baja terintegrasi senilai USD 5 miliar setiap tahun mulai saat ini. Tanpa perencanaan yang matang, terpadu, dan dimulai sejak sekarang, target tersebut akan menjadi mustahil tercapai—dan Indonesia berisiko membangun masa depannya di atas fondasi yang rapuh.

Baja dalam Perspektif Perencanaan Strategis Nasional

Dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015–2035 yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015, industri baja memang disebut dalam dokumen tersebut, namun tidak mendapatkan penekanan sebagai sektor prioritas utama. Hal ini terlihat dari tiga indikator utama. Pertama, industri baja tidak muncul secara eksplisit dalam peta Bangun Industri Nasional, melainkan digolongkan secara umum dalam kelompok besar Industri Logam Dasar dan Bahan Galian Bukan Logam. Kedua, secara klasifikasi strategis, industri baja tidak termasuk dalam kategori industri andalan, meskipun secara fungsi seharusnya setara dengan industri hulu strategis lain—seperti pangan dan energi—yang justru dikategorikan sebagai andalan karena perannya sebagai penyedia bahan baku utama. Ketiga, meskipun dalam bagian Penahapan Pembangunan Industri Prioritas terdapat penyebutan “Industri Pengolahan dan Pemurnian Besi dan Baja Dasar”, bagian ini tidak disertai penekanan khusus dibandingkan sektor-sektor lain. Dengan demikian, belum tersedia rancangan kebijakan yang secara eksplisit memosisikan baja sebagai sektor prioritas utama yang menjadi motor penggerak industrialisasi nasional.

Dengan kata lain, baja memang belum dikategorikan sebagai industri prioritas utama yang memperoleh perhatian dan penekanan kebijakan secara khusus, serta belum mendapatkan afirmasi atas peran strategisnya sebagai penggerak utama industrialisasi nasional. Bahkan penyebutannya pun tidak berdiri sendiri, melainkan dilebur dalam kelompok “logam dasar” bersama komoditas logam lainnya. Akibatnya, tidak tersedia desain kebijakan yang secara khusus memosisikan baja sebagai motor penggerak pembangunan industri manufaktur—padahal hampir seluruh sektor prioritas dalam RIPIN secara langsung bergantung pada rantai pasok baja domestik yang kuat dan efisien, baik sebagai bahan baku, bahan pendukung, maupun material utama dalam pembangunan fasilitas produksi dan infrastruktur.

Visi Indonesia Emas 2045 yang merupakan representasi dari arah pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, menetapkan tiga kelompok industri prioritas: industri padat karya berorientasi ekspor, industri berbasis sumber daya alam bernilai tambah tinggi, dan industri teknologi tinggi. Masing-masing kelompok tersebut mencantumkan secara eksplisit sektor-sektor andalan—seperti makanan dan minuman, tekstil, otomotif, furnitur, semikonduktor, baterai listrik, alat kesehatan, dan farmasi. Sementara itu, tidak ditemukan penyebutan terhadap industri baja, baik sebagai sektor tersendiri maupun bagian dari strategi pembangunan nasional secara eksplisit maupun implisit.

Hal ini menjadi catatan penting, mengingat dari sisi geopolitik, ketahanan nasional, dan dampak ekonominya yang sangat besar, industri baja justru berpotensi menjadi elemen kunci dalam menopang seluruh target industrialisasi menuju Indonesia Emas. Ketiadaan posisi eksplisit industri baja dalam RPJPN ini menunjukkan bahwa sektor ini belum mendapatkan pengakuan sebagai instrumen transformasi struktural ekonomi, dan masih dipandang sebagai bagian pelengkap dalam rantai pasok industri lainnya.

Hal serupa juga tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025. Dalam dokumen ini, industri baja disebut dalam klasifikasi umum sebagai bagian dari kelompok “logam dasar besi dan baja”. Meskipun tercantum, tidak ditemukan arahan kebijakan yang secara khusus difokuskan untuk penguatan sektor baja, baik dalam bentuk indikator prioritas, agenda pembangunan sektoral, maupun proyek strategis nasional yang menempatkan baja sebagai penghela pembangunan industri manufaktur.

Fokus utama RPJMN diarahkan pada penguatan hilirisasi sumber daya alam seperti nikel, tembaga, dan bauksit, serta pengembangan sektor energi baru terbarukan, kendaraan listrik, dan semikonduktor. Seluruh sektor ini tentu memerlukan dukungan material dasar seperti baja, sehingga menjadi penting untuk memastikan adanya sinergi kebijakan yang mendukung kesiapan rantai pasok industri logam, termasuk baja, agar agenda hilirisasi dapat berjalan lebih optimal dan berkelanjutan.

Dengan demikian, RPJMN 2025–2029 membuka ruang untuk memperkuat peran industri baja ke depan, terutama melalui pendekatan lintas sektor yang terintegrasi. Hal ini menjadi momentum bagi semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendorong agar kebijakan pengembangan industri baja ditempatkan sebagai prioritas dalam kerangka transformasi industri nasional yang lebih tangguh dan berdaya saing

Jika dicermati secara keseluruhan, ketiga dokumen perencanaan strategis nasional—yakni RIPIN 2015–2035, RPJPN 2025–2045, dan RPJMN 2025–2029—belum sepenuhnya mencerminkan posisi industri baja sebagai sektor strategis yang mendapatkan perhatian khusus. Meskipun tercantum sebagai bagian dari kelompok logam dasar, industri baja belum mendapatkan pengakuan eksplisit sebagai sektor prioritas utama yang memiliki peran kunci dalam menopang agenda industrialisasi dan pembangunan ekonomi jangka panjang.

Padahal, dengan mempertimbangkan pentingnya baja dalam mendukung infrastruktur, manufaktur, energi, hingga pertahanan, penguatan sektor ini dapat menjadi fondasi penting dalam memperkuat daya saing nasional. Oleh karena itu, ke depan diperlukan penajaman arah kebijakan dan afirmasi yang lebih kuat terhadap industri baja dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional, agar sejalan dengan semangat transformasi ekonomi menuju Visi Indonesia Emas 2045.

Ketiadaan posisi eksplisit industri baja sebagai sektor prioritas utama dalam dokumen perencanaan nasional menunjukkan bahwa industri ini belum mendapatkan perhatian yang sepadan dengan nilai strategis yang dimilikinya. Tanpa menjadikan baja sebagai sektor prioritas utama secara integral dari strategi transformasi ekonomi, maka pembangunan sektor-sektor hilir—seperti otomotif, elektronika, energi, hilirisasi mineral dan industri, serta pertahanan—akan berlangsung tanpa fondasi yang kokoh. Belajar dari pengalaman berbagai negara yang berhasil membangun industrinya seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Uni Eropa, Tiongkok, dan India, kita bisa menarik kesimpulan bahwa tidak ada negara yang mampu menciptakan kemandirian industri tanpa lebih dulu membangun industri baja yang kuat. Saat ini, Indonesia tengah berada pada momentum penting untuk mewujudkan visi Indonesia Emas melalui penguatan basis industri nasional. Namun demikian, masih diperlukan penguatan atas strategi dan arah investasi serta struktur kelembagaan di sektor baja. Tanpa perubahan pendekatan, industri baja nasional akan terus tertinggal di saat negara-negara lain telah menjadikannya sebagai instrumen utama dalam membangun kedaulatan ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan langkah korektif secara menyeluruh yang menyentuh jantung perencanaan pembangunan nasional.

Menjadikan Baja sebagai Sektor Prioritas Pembangunan

Jika Indonesia ingin mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada kekuatan industrinya sendiri secara berkelanjutan, serta menjamin kedaulatan dan kepentingan nasional, maka reposisi industri baja sebagai sektor prioritas nasional merupakan langkah yang tak dapat ditunda. Langkah ini perlu dilakukan melalui pengakuan secara eksplisit dalam dokumen perencanaan, yang kemudian diikuti dengan kebijakan konkret dan lintas sektoral yang mengintegrasikan kepentingan industri baja ke dalam arsitektur pembangunan nasional.

Langkah pertama adalah memasukkan industri baja secara eksplisit ke dalam dokumen perencanaan strategis nasional—baik Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), maupun dokumen turunan sektoral lainnya. Pengakuan formal ini akan menjadi dasar politik dan administratif untuk mengarahkan prioritas kebijakan, alokasi sumber daya, koordinasi lintas kementerian, serta pembentukan instrumen-instrumen pendukung lainnya. Tanpa afirmasi eksplisit ini, industri baja akan terus diperlakukan sebagai sub sektor pelengkap, padahal perannya sangat mendasar dalam menopang seluruh agenda industrialisasi jangka panjang.

Langkah kedua adalah menyusun roadmap industri baja nasional yang terintegrasi, yang tidak hanya memetakan arah pengembangan sektoral, tetapi juga menjembatani kepentingan lintas sektor—seperti infrastruktur, energi, manufaktur, logistik, industri hijau, dan pertahanan. Roadmap ini harus menetapkan target kapasitas nasional yang sejalan dengan proyeksi kebutuhan baja untuk Indonesia Emas 2045, strategi penguatan rantai pasok hulu-hilir, penguasaan teknologi, serta skema pembiayaan investasi yang realistis. Di dalamnya juga harus dimuat kerangka kebijakan proteksi, insentif fiskal dan non-fiskal, serta peta jalan transisi menuju industri baja rendah karbon. Roadmap ini bukan hanya berfungsi sebagai rencana kerja semata, tetapi harus menjadi panduan utama yang mengarahkan pembangunan industri baja secara menyeluruh dan konsisten..

Langkah ketiga, berdasarkan arah dan prioritas yang tertuang dalam roadmap tersebut, pemerintah perlu mendorong agar industri baja ditetapkan sebagai bagian dari portofolio investasi strategis nasional oleh Danantara. Sebagai entitas yang bertugas mengelola investasi strategis negara, Danantara memiliki posisi unik untuk menjembatani perencanaan jangka panjang dengan eksekusi strategis yang terukur dan terarah. Target peningkatan kapasitas baja nasional hingga 100 juta ton per tahun pada 2045 akan membutuhkan investasi lebih dari USD 100 miliar, angka yang jauh melampaui kapasitas pembiayaan APBN maupun daya dukung swasta nasional. Dalam konteks inilah, peran Danantara menjadi vital—sebagai agregator pembiayaan jangka panjang, katalis kemitraan strategis, serta fasilitator sinergi antar-BUMN yang dibutuhkan untuk membangun industri baja dari hulu hingga hilir. Penempatan industri baja ke dalam portofolio utama Danantara tidak hanya akan memperkuat posisi sektor ini dalam ekosistem pembangunan, tetapi juga menjadi instrumen negara untuk mengarahkan struktur industri ke arah yang lebih mandiri dan berdaya saing.

Langkah keempat adalah memperkuat kelembagaan negara dalam tata kelola industri baja nasional. Di berbagai negara, kelembagaan yang kuat terbukti menjadi fondasi pengembangan industri baja yang berdaya saing. India, misalnya, memiliki Ministry of Steel yang secara khusus merumuskan kebijakan dan program pengembangan sektor baja. Tiongkok mengandalkan jaringan lembaga riset dan inovasi yang terkoordinasi untuk menopang kemajuan industrinya. Indonesia juga perlu membentuk institusi yang secara eksplisit memiliki mandat, otoritas, dan sumber daya untuk memimpin penguatan sektor baja nasional. Kehadiran lembaga semacam ini akan memperkuat koordinasi lintas kementerian dan pemangku kepentingan, serta menyatukan berbagai inisiatif dalam kerangka yang lebih terintegrasi. Dengan kepemimpinan yang kuat dan mandat yang jelas, lembaga ini dapat menjadi penggerak transformasi industri baja menuju ekosistem yang mandiri, tangguh, dan berkelanjutan.

Langkah kelima adalah merumuskan rencana perlindungan dan pemberian insentif yang terintegrasi dalam kerangka perencanaan strategis jangka panjang. Di tengah meluasnya praktik perdagangan tidak adil dan gelombang proteksionisme global, kebijakan penguatan industri baja tidak cukup hanya responsif terhadap dinamika jangka pendek. Indonesia perlu menetapkan desain perlindungan berbasis kebutuhan sektor hilir, memperkuat implementasi Neraca Komoditas, mendorong kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang konsisten, serta memberikan insentif fiskal dan non-fiskal yang mendorong peningkatan kapasitas dan daya saing industri nasional. Perencanaan ini harus menjadi bagian dari roadmap dan dimasukkan secara tegas dalam dokumen perencanaan pembangunan, agar industri baja memiliki kepastian arah dan dukungan kebijakan yang berkelanjutan.

Reposisi industri baja dalam kebijakan pembangunan nasional bukan sekadar langkah simbolik, melainkan pijakan awal menuju transformasi struktural yang membutuhkan visi, komitmen politik, dan tata kelola pemerintahan yang konsisten. Penetapan baja secara eksplisit sebagai sektor prioritas utama dalam dokumen perencanaan merupakan langkah awal yang krusial untuk membangun arah kebijakan yang solid. Dengan perencanaan yang menyeluruh dan pelaksanaan yang terarah, industri baja dapat menjadi fondasi kokoh dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Tanpa itu semua, cita-cita kemandirian industri hanya akan menjadi narasi kosong—tidak lebih dari sekadar omon-omon.

Artikel ini telah tayang di Kompasiana, klik untuk baca di Kompasiana: https://www.kompasiana.com/widodosetiadarmaji5795/685255eaed641514ac1e88d2/saatnya-industri-baja-menjadi-prioritas-pembangunan-nasional

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *