
Baja, the mother of Industries.
Sebagai hulu dari berbagai sektor pembangunan negara, baja adalah salah satu kunci penting yang perlu mendapat perhatian. Baja merupakan kepentingan nasional, penentu kemajuan dan kedaulatan bangsa yang sangat berperan dalam berbagai bidang seperti industri manufaktur, perdagangan, transportasi, konstruksi, hingga instalasi karya seni. Konsumsi baja menunjukkan tingkat kemajuan dan kemakmuran. Sedangkan produksi baja merupakan indikator kedaulatan dan kemandirian suatu bangsa. Sumbangsih baja akan sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, hingga kini baja masih belum menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan nasional.
Baja dan Kemakmuran.
Dalam lima tahun mendatang, Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% melalui industrialisasi nasional yang bertumpu pada hilirisasi, penguasaan teknologi, dan sumber daya manusia. Hal ini dituangkan dalam Asta Cita ke-4, yaitu “Memperkuat pembangunan SDM, sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas” dan Asta Cita ke-5 yaitu “Melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.”
Sejalan dengan Visi Indonesia Emas 20245, peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia tentu akan berdampak pada peningkatan konsumsi baja. Jika konsumsi baja hingga akhir tahun 2025 ini diperkirakan menyentuh ~20 juta ton, maka pada tahun 2045 mendatang konsumsi baja diproyeksikan akan melonjak hingga ~87 juta ton (asumsi optimis, berdasarkan data BPS). Baja tidak hanya menjadi unsur pendukung, namun dapat menjadi pemeran penting yang perlu segera diantisipasi ketersediaannya. Hal yang menjadi pertanyaan bersama adalah, seberapa siapkah kita?
Ketersediaan Baja di Pasar Nasional.
Data BPS menunjukkan bahwa China merupakan pemasok baja terbesar di pasar lokal Indonesia. Sepanjang tahun 2020-2024, China menduduki tempat teratas sebagai produsen baja untuk Indonesia, yang disusul oleh Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam. Produk baja yang mendominasi pasar lokal adalah reinforced bar/rebar yang banyak digunakan dalam sektor konstruksi. Tingginya ketergantungan negara akan produk baja impor tentu menimbulkan kekhawatiran yang mendalam. Hal ini berkaitan erat dengan kemandirian dan kedaulatan industri, yang akan sangat dipengaruhi oleh pasokan asing. Dalam jangka panjang, jika masalah ini tidak segera diatasi, tentu berpotensi mengganggu stabilitas nasional.
Menghadirkan produk baja lokal hingga menyentuh pasar memang bukan pekerjaan singkat. Untuk menyelesaikan permasalahan baja, dibutuhkan analisis dan telaah mendalam, yang selanjutnya perlu dituangkan dalam blueprint nasional untuk menjamin ketersediaan komoditas tersebut. Sinergi dari berbagai sudut yang mencakup teknologi, faktor industri dan ekonomi, serta keberlanjutan proses menjadi kunci penting dalam upaya mewujudkan kemandirian baja nasional. Jalan panjang ini harus segera dimulai, dengan melakukan satu langkah: menyusun riset terpadu.
Baja dalam Peta Jalan Prioritas Riset.
Pada tanggal 7 – 9 Agustus 2025, bertempat di Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung, Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) telah berhasil menyelenggarakan Konvensi Sains, Teknologi, dan Invensi Industri 2025 (KSTI 2025). Acara ini diharapkan dapat menjadi meeting point yang baik antara ilmuwan, industri, pemerintah, media, serta masyarakat. Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, menyatakan bahwa potensi sumber daya alam Indonesia merupakan peluang besar untuk melakukan hilirisasi dan transformasi industrialisasi. KSTI 2025 dengan tema “Sains dan Teknologi untuk Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi” tersebut menghasilkan 48 Peta Jalan Prioritas Riset Dinamis dan Multi Pihak yang akan disempurnakan dalam tiga bulan ke depan. Peta jalan riset tersebut meliputi delapan sektor strategis, antara lain energi; pertahanan; digitalisasi (kecerdasan buatan dan semikonduktor); hilirisasi dan industrialisasi; kesehatan; pangan; maritim; serta material dan manufaktur maju.
Hadirnya para CEO Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam KSTI 2025 tentu memberikan harapan yang besar akan kemungkinan dimulainya upaya untuk mewujudkan baja sebagai prioritas nasional. Namun demikian, dari seluruh produk yang dipamerkan, sangat disayangkan bahwa teknologi dan sistem produksi baja secara holistik belum tersentuh dalam perhelatan tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang cukup menarik, bagaimana posisi baja dalam peta jalan riset nasional di masa depan?
Dukungan untuk Baja Nasional.
Dalam rangka mewujdkan kemandirian industri nasional, perlu dilakukan upaya penyatuan visi dan itikad baik dari pemangku kebijakan untuk merintis produksi baja nasional secara terintegrasi. Salah satu bentuk dukungan untuk pengembangan baja adalah melalui riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset nasional maupun perguruan tinggi, dengan dukungan penuh dari para pelaku industri.
Persoalan baja tidak bisa lagi didudukkan secara simbolis dan praktis, semata-mata berfungsi sebagai pembalut luka sementara namun tidak mengakar pada inti permasalahan. Baja perlu dilihat sebagai komoditas nasional yang perlu dipikirkan bersama. Riset-riset terkait teknologi baja harus disusun secara serius, dengan target dan dampak yang jelas dan terukur. Kerja sama antara industri dan lembaga riset sebaiknya tidak berhenti pada riset yang bersifat parsial dan jangka pendek, atau sekadar menjadi sarana penyaluran dana CSR yang hanya menguntungkan pihak industri. Diperlukan adanya kesepahaman, rasa tanggung jawab dan saling percaya antara industri dan lembaga riset, yang dipayungi oleh pemerintah. Negara perlu hadir dalam pengembangan teknologi baja nasional, dengan memberikan perlindungan akan keberlangsungan riset serta memberikan peluang pasar agar produk hasil riset dapat sampai ke masyarakat.
Tentunya, tidak mudah untuk mulai mengurai benang kusut dunia baja di Indonesia. Akan tetapi, belum terlambat untuk duduk bersama, menyusun langkah, dan menentukan arah kebijakan bagi kepentingan bangsa. Dua dekade menuju Indonesia Emas mungkin tidak terasa lama. Oleh karena itu, diperlukan komitmen nyata dari seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan industri baja menjadi fondasi kokoh bagi pembangunan nasional.