SMInsights: Berita Baja Mingguan (14–20 September 2025)

Pekan ketiga September 2025 menegaskan paradoks perdagangan baja global. Ekspor Tiongkok kian mendekati rekor baru meski proteksi meluas dari Eropa hingga Mesir dan Korea Selatan. Harga internasional relatif datar, namun peta investasi justru bergerak: Eropa menahan ekspansi hijau, sementara Asia Tenggara mempercepat kapasitas baru dan proyek HBI. Di tengah arus ini, ancaman banjir impor ke Indonesia kian besar, bersamaan dengan tuntutan menentukan arah investasi menuju baja rendah emisi.

I. Perkembangan Harga Baja (14–20 September 2025)

Di Tiongkok, harga bergerak dalam rentang sempit dengan kecenderungan lemah pada long product dan relatif stabil pada flat product. HRC berada di kisaran USD 470–475/t FOB, selevel dengan pekan sebelumnya. CRC bertahan di USD 565/t, sementara galvanis masih di USD 590–595/t. Coil berwarna stabil di USD 710–715/t, dan welded pipe pada USD 500–505/t. Untuk long product, rebar berada di USD 430–435/t dan wire rod USD 465–470/t, keduanya sedikit lebih lemah dibanding pekan lalu.

Di Asia Tenggara, harga tetap datar dengan permintaan terbatas. HRC impor berada di kisaran USD 500–505/t, selevel dengan pekan sebelumnya. Rebar di kawasan ini juga bertahan pada USD 475–480/t, mencerminkan tekanan suplai dari Tiongkok yang masih tinggi.

Pasar India cenderung stabil dengan variasi tipis antar produk. HRC domestik berada di kisaran USD 590–595/t, sedangkan CRC USD 730/t. HR plate tercatat USD 635–665/t. Untuk long product, rebar berada di USD 475–525/t dan wire rod USD 480–490/t. Pergerakan tipis ini mengindikasikan pasar yang tenang dengan margin produsen masih tertekan.

Di Turki, rebar FOB bertahan di USD 540–545/t, sementara wire rod stabil di USD 545–550/t. Scrap HMS 80:20 CFR melemah tipis ke USD 338/t dari USD 342/t pekan sebelumnya, menekan posisi produsen meski permintaan dari Timur Tengah menjaga aktivitas.

Di Eropa, harga menunjukkan stabilisasi. HRC domestik di Eropa Utara berada pada €570–590/t ex-works, dan di Italia €545–550/t ex-works. CRC tetap di €670–685/t (Utara) dan €640–650/t (Selatan). Galvanis berada di €670–690/t (Utara) dan €650–685/t (Selatan). Rebar Italia melemah ke €530–580/t, turun dari kisaran pekan lalu, sejalan lemahnya dukungan dari konstruksi.

Di Amerika Serikat, harga HRC mulai menunjukkan potensi kenaikan setelah melemah dalam beberapa pekan terakhir. Transaksi spot pekan lalu tercatat di atas USD 840/t, sementara Nucor mempertahankan harga konsumen pada USD 875/t. Sebagian besar indeks masih berada di kisaran USD 805–815/t, tetapi potensi penguatan menuju USD 865–885/t mulai terbuka seiring sinyal restocking inventory. Untuk CRC, harga bertahan di sekitar USD 1.050/t.

Untuk bahan baku, iron ore 62% Fe CFR China tercatat USD 105/t (tipis lebih tinggi w/w). Billet Rusia FOB berada di USD 435–442/t, billet Turki USD 455–465/t. Pasar scrap global melemah, dengan USD 338/t CFR Turki, menekan margin produsen long product.


Ringkasan Harga Baja – Minggu III September 2025  (USD kecuali dinyatakan euro)

KawasanHRCCRCGalvanisCoil BerwarnaPipaRebarWire RodScrap
Tiongkok470–475 →565 →590–595 →710–715 →500–505 →430–435 ↓465–470 ↓
ASEAN500–505 →545 →640–650 →815–825 →645–655 →475–480 →355 →
India590–595 →730 →695 →800 →505 →475–525 →480–490 →366 ↓
Turki545–550 →n/an/an/an/a540–545 →545–550 →338 ↓
Eropa (NE/IT/SE)€570–590 → / €545–550 →€670–685 → / €640–650 →€670–690 → / €650–685 →n/a€935 →€530–580 ↓n/aUSD 300 →
AS805–875 ↑1.050 →n/an/an/an/an/a425 ↑

Keterangan: ↑ naik w/w; ↓ turun w/w; → stabil (≤±0,5%); n/a tidak tersedia pekan ini.

II. Perkembangan Perdagangan Baja Global

Perdagangan baja global pada pekan ketiga September 2025 masih dibayangi oleh banjir ekspor dari Tiongkok yang mendorong pergeseran besar dalam arus dagang. Data Reuters (16/9) menunjukkan bahwa ekspor baja Tiongkok tahun ini diperkirakan mencapai rekor 115–120 juta ton, naik 4–9% dibanding 2024. Lonjakan ini terjadi meski berbagai hambatan dagang kian ketat, dengan 54 langkah proteksi baru diberlakukan sejak 2024. Bagi produsen Tiongkok, strategi “jual sebanyak mungkin sekarang” menjadi langkah defensif di tengah konsumsi domestik yang melemah setelah pasar properti runtuh. Namun, ekspor masif ini juga memicu risiko backlash proteksionis dari mitra dagang besar.

Pola destinasi ekspor pun bergeser. Pengiriman Tiongkok ke kawasan dengan hambatan rendah seperti Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika Utara tumbuh pesat—ekspor ke Arab Saudi naik 24%, ke Malaysia 14%, dan ke Thailand 13% dalam tujuh bulan pertama 2025. Sebaliknya, ekspor ke mitra dagang tradisional justru anjlok, dengan Vietnam turun 20% dan Korea Selatan 10% karena terimbas bea antidumping. Seorang pedagang di Tiongkok timur mengakui bahwa “hampir tidak ada order dari Vietnam dan Korea Selatan, sehingga mencari pasar baru adalah satu-satunya pilihan.”

Selain rotasi geografis, terjadi pula pergeseran struktur produk. Jika sebelumnya Tiongkok cenderung mengekspor produk bernilai tambah tinggi seperti hot-rolled strip dan cold-rolled coil, tahun ini ekspor didominasi oleh produk semi-finished dan long product. Ekspor billet naik tiga kali lipat, sedangkan rebar melonjak 77% yoy. Sebaliknya, ekspor hot-rolled thin wide strip turun 23%. Pergeseran ini menunjukkan tekanan struktural, karena meskipun volume ekspor naik 10% dalam delapan bulan pertama tahun ini, nilai dolar ekspor justru turun 1% akibat porsi produk bernilai rendah yang lebih besar. Analis Kpler dan Kallanish menilai tren ini menandai kemungkinan ekspor Tiongkok segera mencapai puncak, dengan proyeksi 2026 turun ke 100–105 juta ton.

Dinamika ekspor Tiongkok ini berinteraksi langsung dengan transformasi besar di Asia Tenggara. Laporan SMM (18/9) menegaskan bahwa kawasan ini tengah menghadapi “perlombaan kapasitas” terbesar dalam sejarahnya, dengan lebih dari 100 juta ton kapasitas baru direncanakan—didominasi investasi perusahaan Tiongkok. Produksi baja kasar kawasan meningkat dari 45 juta ton pada 2020 menjadi 62 juta ton pada 2024, dan diproyeksikan mendekati 70 juta ton pada 2025. Dua negara kini menguasai panggung: Vietnam menyumbang 36% produksi dan Indonesia 27%, membentuk duopoli yang semakin menonjol.

Dorongan permintaan di ASEAN datang dari proyek infrastruktur masif: pembangunan Ibu Kota Nusantara di Indonesia, ekspresway utara–selatan dan bandara Long Thanh di Vietnam, industri otomotif Thailand, hingga program “Build, Build, Build” di Filipina. Faktor ini mendorong konsumsi baja yang kuat dan menopang ekspansi kapasitas. Namun, pertumbuhan ekspor Vietnam yang menembus 13 juta ton pada 2024 belum mampu mengimbangi kebutuhan impor baja bernilai tinggi. ASEAN secara keseluruhan masih mengimpor 66 juta ton pada 2024, dengan ketergantungan pada cold-rolled sheet otomotif, silicon steel, plate kapal, dan pipa migas dari Jepang, Korea Selatan, serta Tiongkok.

Paradoks ini menciptakan struktur dagang yang kompleks: ekspor produk bulk (HRC, rebar, billet) tumbuh cepat, sementara impor produk specialty tetap tinggi. Risiko overcapacity pun membayangi, apalagi sebagian besar investasi baru di Vietnam, Malaysia, dan Indonesia masih berfokus pada produk massal. Di sisi lain, tren global dekarbonisasi menuntut transformasi hijau, memaksa perusahaan di ASEAN mulai mengadopsi teknologi EAF, DRI, hingga hydrogen-based steelmaking. Dengan demikian, ASEAN kini menempati posisi ganda dalam perdagangan baja global: sebagai hub ekspor baru untuk produk bulk berbiaya rendah, sekaligus pasar besar bagi impor produk bernilai tambah tinggi.

Implikasinya, arus perdagangan baja global pada 2025 semakin terfragmentasi. Ekspor masif dari Tiongkok menekan pasar tradisional dan memaksa rotasi ke kawasan baru, sementara ledakan kapasitas ASEAN mempertebal ketergantungan dunia pada rantai pasok Asia. Namun, dengan overcapacity di satu sisi dan kebutuhan impor produk high-end di sisi lain, struktur perdagangan ini rawan gejolak baru. Pasar global kini memasuki fase di mana ekspansi volume dan transisi hijau berjalan beriringan, namun arah keseimbangannya masih penuh ketidakpastian.

III. Kebijakan dan Trade Remedies

Gelombang kebijakan proteksi baru yang semakin mempersempit ruang gerak perdagangan baja internasional terus terjadi pada pekan ketiga September 2025. Uni Eropa resmi meluncurkan investigasi anti-dumping terhadap impor cold-rolled flat steel (CRC) dari Jepang, Taiwan, Turki, India, dan Vietnam pada 18 September. Investigasi ini menarget periode Juli 2024–Juni 2025 dan harus selesai dalam 14 bulan. Kelima negara tersebut menyumbang 68% impor CRC ke Uni Eropa pada 2024, setara 2,69 juta ton. Pada Januari–Juli 2025 saja, impor dari lima negara itu sudah mencapai 1,49 juta ton, dengan volume terbesar dari India (251 ribu ton), Taiwan (244 ribu ton), dan Turki (200 ribu ton). Keputusan ini muncul setelah pengaduan Eurofer yang menuding praktik dumping merugikan industri baja Eropa.

Mesir juga mengambil langkah proteksi agresif dengan menerapkan bea safeguard sementara selama 200 hari terhadap impor billet, HRC, CRC, galvanis, dan PPGI. Tarif yang dikenakan bervariasi: HRC 13,6% CIF (min. EGP 3.673/t), CRC 11,11% (min. EGP 4.152/t), GI 12,16% (min. EGP 4.812/t), PPGI 4,94% (min. EGP 2.584/t), dan billet 16,2% (min. EGP 4.613/t). Pemerintah Mesir menegaskan kebijakan ini sesuai aturan WTO dan bertujuan memberi ruang bagi produsen domestik menghadapi banjir impor.

Di Asia Timur, Korea Selatan menetapkan bea anti-dumping sementara atas impor HRC asal Jepang (31,58–33,57%) dan Tiongkok (28,16–33,10%). Kebijakan ini memperkuat posisi Hyundai Steel dan produsen domestik lainnya, sekaligus memaksa importir mencari pasokan alternatif dari India atau ASEAN.

Dari Amerika, Meksiko mengumumkan rencana kenaikan tarif impor yang luas mencakup baja asal Tiongkok dan negara non-FTA. Kebijakan ini masih menunggu rincian HS code, namun diproyeksikan akan meningkatkan hambatan akses ke pasar Meksiko dan mendorong buyer lokal lebih bergantung pada pasokan dalam blok USMCA.

Uni Eropa juga memberi sinyal akan memperkenalkan mekanisme baru untuk menahan arus impor baja, sebagai respons atas banjir ekspor Tiongkok yang diperkirakan mencapai 115–120 juta ton tahun ini. Langkah ini melengkapi serangkaian kebijakan yang sedang berjalan, menandakan proteksionisme global kian sistematis.

Kebijakan-kebijakan ini mencerminkan tren konsolidasi proteksi lintas kawasan. Uni Eropa memperketat pengawasan CRC, Mesir menutup pintu bagi hampir semua produk utama flat dan semi-finished, Korea Selatan menekan impor HRC dari Tiongkok dan Jepang, sementara Meksiko mulai mengatur ulang tarif baja secara struktural. Keseluruhan dinamika ini memperkuat fragmentasi pasar global yang sebelumnya sudah terguncang oleh banjir ekspor Tiongkok.

Ringkasan Trade Remedies Minggu III September 2025

KasusProdukNegara asal terdampakBesaran Bea/TarifStatus
UE – Investigasi AD CRCCold-rolled flat steel (HS 7209)Jepang, Taiwan, Turki, India, Vietnamn/a (dalam investigasi)Inisiasi 18 Sep 2025, selesai ≤14 bulan; provisional duties dapat berlaku ≤7 bulan
Mesir – Safeguard sementaraHRC, CRC, GI, PPGI, billetSemua negaraHRC 13,6% CIF (min. EGP 3.673/t); CRC 11,11% (min. EGP 4.152/t); GI 12,16% (min. EGP 4.812/t); PPGI 4,94% (min. EGP 2.584/t); billet 16,2% (min. EGP 4.613/t)Berlaku 14 Sep 2025 – 1 Apr 2026 (200 hari)
Korea Selatan – AD sementara HRCHot-rolled coilTiongkok, JepangCN: 28,16–33,10%; JP: 31,58–33,57%Tarif sementara berlaku, keputusan final 2026
Meksiko – Tarif impor baruProduk baja beragamTiongkok & negara non-FTANaik signifikan (detil per HS belum dipublikasikan)Diumumkan 18 Sep 2025, implementasi menunggu aturan turunan
UE – Mekanisme baruSemua baja imporSemua negara eksportirBelum diumumkanPernyataan resmi awal Sep 2025; draft kebijakan dalam persiapan

IV. Investasi Peningkatan Kapasitas & Green Steel

Terdapat berbagai perkembangan penting dari sisi investasi kapasitas dan green steel. Di Eropa, arah transformasi hijau terlihat dari dua perkembangan besar. Di satu sisi, Jindal Steel International milik Naveen Jindal mengajukan penawaran non-binding senilai hingga €4 miliar untuk mengambil alih unit baja Thyssenkrupp, dengan komitmen investasi €2 miliar untuk mengubahnya menjadi produsen baja rendah emisi terbesar di Eropa. Strateginya termasuk memanfaatkan pasokan bahan baku berbasis hidrogen dari Oman untuk menopang transisi. Namun di sisi lain, Salzgitter menunda ekspansi tahap lanjutan proyek SALCOS sekitar tiga tahun, meski tahap pertama yang mencakup elektroliser 100 MW, fasilitas DRI, dan EAF tetap berjalan. Keputusan ini mencerminkan ketidakpastian ekosistem hidrogen yang belum matang serta kondisi pasar yang menekan.

Di Asia Tenggara, dinamika investasi ditandai dengan lonjakan kapasitas sekaligus pergeseran ke bahan baku hijau. Di Sabah, Malaysia, fase pertama proyek HBI berkapasitas 2,5 juta ton/tahun resmi beroperasi. Produk HBI ini berbasis gas alam dan disiapkan untuk transisi bertahap ke hidrogen. Hanwa Jepang mengambil hak pemasaran global, menandai minat kuat terhadap bahan baku rendah karbon. Laporan SMM juga menyoroti gelombang ekspansi kapasitas di ASEAN dengan rencana lebih dari 100 juta ton tambahan, didorong investasi perusahaan Tiongkok. Vietnam dan Indonesia kini menguasai hampir dua pertiga produksi baja kawasan, membentuk duopoli regional. Namun, fokus investasi yang masih didominasi produk umum meningkatkan risiko overcapacity, sementara kebutuhan impor untuk baja spesial bernilai tambah tetap tinggi.

Faktor kebijakan global turut memicu arah investasi. Uni Eropa menegaskan implementasi penuh CBAM mulai 1 Januari 2026, dengan konsultasi publik mengenai metodologi emisi dan penyesuaian sertifikat yang sedang berlangsung. Hal ini memaksa perusahaan baja untuk mengamankan jalur pasokan DRI/HBI rendah karbon sebagai strategi mitigasi. Di sisi teknologi, jalur H2-DRI-EAF masih menjadi arus utama, sementara opsi elektrometalurgi langsung seperti yang dikembangkan startup AS mulai mendapat perhatian, memperlihatkan spektrum pilihan teknologi dalam perlombaan dekarbonisasi baja.

Ringkasan Investasi & Green Steel – Minggu III September 2025

ProyekTeknologi & KapasitasNilaiStatusCatatan
Jindal → Thyssenkrupp (DE)Transformasi low-emission; integrasi H2 supply Oman€2 miliar (capex)Penawaran non-binding hingga €4 miliarStrategi ubah TKSE jadi produsen hijau terbesar Eropa
Salzgitter SALCOS (DE)100 MW H2 elektroliser + DRI + EAFn/aFase-1 jalan; ekspansi ditunda ±3 tahunHambatan: ekosistem hidrogen & kondisi pasar
Green Esteel HBI (Sabah, MY)HBI 2,5 Mtpa (gas → H2 bertahap)US$7,3 miliar (bertahap)Fase-1 on-stream Sep 2025Hanwa ambil rights pemasaran global
ASEAN capacity race>100 Mtpa planned add’l capacity (Vietnam +34,5 Mt; Indonesia +15,2 Mt; Malaysia +17,1 Mt)n/aRencana jangka menengah; realisasi ±40–50 Mtpa dlm 5 thnDuopoli Vietnam–Indonesia; risiko overcapacity & transisi hijau

V. Isu Strategis yang Perlu Dicermati

Perkembangan baja global pada pekan ketiga September 2025 menegaskan arah perdagangan baja global yang kian terpolarisasi. Pertama, ekspor Tiongkok diperkirakan akan menembus rekor baru, dengan proyeksi 115–120 juta ton tahun ini. Volume tersebut bukan hanya lebih tinggi dibanding capaian 2024, tetapi juga melampaui ekspektasi awal yang justru memperkirakan penurunan akibat gelombang hambatan dagang. Pergeseran pasar tujuan ke Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika Utara, serta peningkatan ekspor produk semi-finished seperti billet dan rebar, menandai strategi agresif Tiongkok untuk menjaga utilisasi industri di tengah permintaan domestik yang melemah. Fenomena ini menunjukkan bahwa arus ekspor Tiongkok masih akan menjadi faktor dominan yang membentuk dinamika perdagangan baja dunia.

Kedua, respons proteksionis global terus berlanjut dan semakin meluas. Uni Eropa memulai investigasi anti-dumping atas CRC dari lima negara Asia, Mesir menerapkan safeguard menyeluruh pada hampir seluruh produk flat dan billet, Korea Selatan mengenakan bea dumping sementara atas HRC dari Tiongkok dan Jepang, selain itu Meksiko menyiapkan paket tarif luas yang mencakup baja. Semua kebijakan ini berlangsung hanya dalam hitungan pekan, menandakan tren proteksi yang makin sistematis dan lintas kawasan. Proteksi tidak lagi bersifat kasuistik, melainkan menjadi strategi struktural untuk menahan tekanan ekspor Tiongkok dan menjaga keberlangsungan industri domestik.

Ketiga, bagi Indonesia, kombinasi lonjakan ekspor Tiongkok dan maraknya proteksi global menghadirkan risiko ganda. Di satu sisi, pasar tradisional ekspor Indonesia bisa tertekan akibat limpahan produk Tiongkok yang dialihkan dari pasar utama. Di sisi lain, Indonesia sendiri menghadapi ancaman banjir impor yang masuk melalui jalur ASEAN maupun langsung dari Tiongkok. Tanpa penguatan kebijakan trade remedies yang cepat dan menyeluruh, industri baja nasional berisiko semakin kehilangan pangsa pasar domestik.

Ancaman tersebut muncul bersamaan dengan gelombang investasi kapasitas dan green steel yang terus berlangsung. Rencana ekspansi lebih dari 100 juta ton di Asia Tenggara, dengan dominasi Vietnam dan Indonesia, memberi peluang sekaligus risiko. Sementara itu, proyek berbasis HBI, DRI, dan EAF mulai menunjukkan arah transformasi hijau, meskipun masih dalam tahap awal dan menghadapi ketidakpastian teknologi serta pasar. Kontras ini menunjukkan bahwa Indonesia dan kawasan ASEAN tengah berdiri di persimpangan: menjadi basis ekspor produk baja umum yang menambah tekanan global, atau mengarahkan investasi ke jalur green steel dan baja spesial yang selaras dengan tren dekarbonisasi dunia.

Keseluruhan dinamika pekan ini memperlihatkan bahwa lanskap baja global tengah bergerak menuju situasi yang lebih terfragmentasi, penuh proteksi, dan sarat investasi baru. Bagi Indonesia, kesiapan menghadapi banjir impor, kelincahan dalam memanfaatkan peluang ekspor, serta keberanian mengambil posisi dalam transisi hijau akan menjadi faktor penentu daya saing industri baja nasional ke depan.

Sumber Data:

SunSirs, CUSteel, SteelMint, Fastmarkets, Eurometal, Steel Market Update (SMU), AISU, Argus/Platts, TradingEconomics, AustralianSteel.com, LME, SFM.