
Pekan terakhir Agustus 2025 ditandai oleh konsolidasi pasar baja global di tengah lemahnya permintaan dan berlanjutnya tekanan pasokan. Harga spot masih cenderung melemah, namun kontrak berjangka mulai mencerminkan optimisme pemulihan pada kuartal mendatang. Ketidakpastian permintaan di sektor konstruksi dan manufaktur terus membayangi, sementara proteksionisme perdagangan dan kebijakan lingkungan memperkuat arah pasar yang lebih ditentukan oleh regulasi ketimbang keseimbangan pasokan dan permintaan. Di sisi investasi, proyek ekspansi kapasitas di berbagai negara berkembang tetap berjalan, kontras dengan stagnasi proyek baja hijau di kawasan maju akibat tingginya biaya energi dan kurangnya dukungan finansial.
I. Perkembangan Harga Baja
Tiongkok mencatat harga domestik yang stabil dengan kecenderungan melemah tipis. HRC domestik berada di CNY 3.413 per ton atau sekitar USD 480, rebar HRB400 di CNY 3.226 per ton atau USD 453, CRC di USD 562, galvanis di USD 597, coil berwarna (PPGI) di USD 944, dan pipa las di sekitar USD 515. Data indeks CUSteel menegaskan tren penurunan tipis bulanan sebesar 1,2 persen, sementara produk hilir masih lebih resilien. Untuk ekspor, SteelMint menempatkan HRC FOB Rizhao pada USD 480 per ton, sejalan dengan data futures LME (USD 474), dengan produk lain seperti CRC USD 550, galvanis USD 575, coil berwarna USD 628, pipa USD 515, dan rebar USD 452. Harga scrap acuan internasional (HMS 80:20 CFR Turki) berada di USD 345 per ton.
Amerika Serikat/Amerika Utara mengalami tren harga spot yang melemah. HRC domestik tercatat di USD 810 per ton, lebih rendah dari pekan sebelumnya, sementara CRC naik tipis ke USD 1.095 per ton dan galvanis ke USD 1.085 per ton. Coil berwarna bertahan di USD 1.350 per ton, pipa di USD 1.100 per ton, dan rebar di USD 920 per ton. Scrap domestik AS menguat ke USD 425 per ton. Di sisi lain, kontrak berjangka LME menempatkan HRC North America pada USD 948 per ton, menunjukkan optimisme pasar jangka pendek.
Uni Eropa menunjukkan stagnasi harga dengan kecenderungan melemah. HRC domestik di Italia berada di €540 per ton (sekitar USD 629), sementara Eropa Utara di €572,5 per ton (sekitar USD 666). Perbedaan antara offer pabrikan (hingga €630) dan harga yang bisa dicapai pembeli (€570–580) menahan transaksi baru. Produk lain seperti CRC, galvanis, coil berwarna, pipa, dan scrap bertahan pada level sebelumnya, dengan rebar melemah ke USD 592 per ton dari USD 594.
Turki relatif stabil. HRC ekspor bertahan di USD 555 per ton, rebar FOB di USD 549 per ton, dan wire rod di USD 550–555 per ton. Scrap CFR Turki tercatat di USD 348 per ton, sejalan dengan data AISU. Produk lain seperti CRC, galvanis, coil berwarna, dan pipa berada di kisaran harga sebelumnya.
India mencatat penguatan harga pada flat products. HRC ex-Mumbai berada di USD 594 per ton, naik dari pekan lalu, sementara rebar bervariasi: Raipur stabil di USD 475 per ton, Jalna turun tipis ke USD 521 per ton. Wire rod di USD 485 per ton dan billet ex-Raipur di USD 440 per ton. Scrap CFR Nhava Sheva bertahan di USD 333 per ton. CRC di sekitar USD 640, galvanis USD 695, coil berwarna USD 800, dan pipa USD 505.
ASEAN menunjukkan penguatan harga impor. HRC CFR Asia Tenggara berada di USD 501 per ton, naik dari USD 500 pekan sebelumnya. CRC naik ke USD 545 per ton dari USD 538, galvanis ke USD 645 dari USD 640, coil berwarna stabil di USD 820, pipa naik ke USD 650, dan rebar tetap di USD 479. Scrap stabil di USD 355 per ton.
Ringkasan Harga Baja (USD/ton) – Periode 23–30 Agustus 2025
Kawasan | HRC | CRC | Galvanis | Coil Berwarna | Pipa | Rebar | Scrap |
Tiongkok | 480 ↑ | 562 ↑ | 597 ↑ | 944 ↑ | 515 → | 453 ↓ | 345 ↓ |
AS | 810 ↓ | 1.095 ↑ | 1.085 ↑ | 1.350 → | 1.100 → | 920 → | 425 ↑ |
Uni Eropa | 629–666 → | 754 → | 894 → | 1.000 → | 935 → | 592 ↓ | 300 → |
Turki | 555 → | 660 → | 755 → | 850 → | 725 → | 549 → | 348 → |
India | 594 ↑ | 640 → | 695 → | 800 → | 505 → | 475–521 → | 333 → |
ASEAN | 501 ↑ | 545 ↑ | 645 ↑ | 820 → | 650 ↑ | 479 → | 355 → |
Catatan:
↑ / ↓ = perubahan naik/turun dari pekan 16–22 Agustus 2025
→ = harga pekan ini terverifikasi stabil (≤ ±0,5%)
n/a = tidak ada pembaruan data pekan ini; angka diambil dari pekan lalu
II. Perkembangan Perdagangan Baja Global
Dinamika pasar Tiongkok terus mendominasi perdagangan internasional. Permintaan dalam negeri yang lesu mendorong pabrikan untuk menggenjot volume ekspor produk seperti HRC dan billet, yang kemudian membanjiri pasar Asia Tenggara dan Timur Tengah. Meski demikian, volume ekspor diperkirakan akan sedikit menurun dalam beberapa bulan ke depan seiring dengan upaya pemerintah Tiongkok menyeimbangkan pasokan. Beijing telah mengisyaratkan kebijakan pembatasan produksi baja untuk periode 2025–2026. Namun, belum ada kepastian terkait pengaturan ekspor, sehingga meskipun kebijakan ini berpotensi mengurangi tekanan pasokan global, risiko banjir impor baja Tiongkok masih tetap tinggi dan perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan pelaku industri di negara-negara tujuan ekspor
Dampak kebijakan proteksionisme di Amerika Serikat semakin terlihat. Data lisensi impor menunjukkan penurunan signifikan, konsekuensi langsung dari penerapan tarif 50 persen. Kebijakan ini tidak hanya menargetkan baja primer, tetapi juga membatasi pasokan produk hilir seperti komponen otomotif, turbin, dan mesin, sehingga menimbulkan risiko tambahan pada rantai pasok industri manufaktur AS.
Uni Eropa masih menunjukkan aktivitas yang lamban pasca-liburan musim panas. Importir tetap berhati-hati dan menahan kontrak baru sambil menunggu kejelasan implementasi penuh CBAM pada Oktober. Kondisi ini membuat pasokan di pasar lokal tetap rendah, sehingga produsen hanya dapat mengandalkan transaksi dalam jumlah terbatas dan bersifat selektif.
Turki melanjutkan strategi impor bahan baku murah dari Rusia dan Tiongkok yang memungkinkan pabrik-pabrik domestik menjaga tingkat produksi dan daya saing. Stabilitas pasokan bahan baku ini disertai dengan permintaan ekspor produk jadi ke Timur Tengah dan Afrika yang tetap konsisten, sehingga ekspor baja Turki dapat dipertahankan.
India menghadapi pasar yang masih lesu akibat musim monsoon dan libur nasional. Namun, pola impor mulai bergeser. Kebijakan anti-dumping terhadap HRC asal Vietnam memaksa importir mencari alternatif pasokan dari negara lain, sebuah pergeseran yang berpotensi mengubah arus perdagangan baja di kawasan Asia Selatan.
ASEAN semakin menjadi pusat persaingan pasokan global, terutama dengan volume ekspor besar dari Tiongkok. Walaupun tekanan suplai dari luar negeri cukup besar, permintaan di kawasan ini menunjukkan tanda peningkatan, yang membantu menyeimbangkan pasokan impor dengan kebutuhan domestik dan menjaga pasar tetap aktif.
III. Kebijakan dan Trade Remedies
Amerika Serikat
Departemen Perdagangan AS pada 26–29 Agustus mengeluarkan final determination AD/CVD untuk produk corrosion-resistant steel (CORE) dari sejumlah negara, termasuk Meksiko dan Taiwan. Kebijakan ini melanjutkan proses di ITC untuk penetapan order resmi.
India
Masih menunggu keputusan pemerintah terkait rekomendasi safeguard tiga tahun untuk HRC dan CRC.
Australia
Komisi Anti-Dumping menunda penerbitan Statement of Essential Facts (SEF) untuk tinjauan bea anti-dumping rebar asal Tiongkok. Keputusan final ditargetkan Februari 2026.
Uni Eropa dan Kawasan Lain
Uni Eropa fokus pada persiapan implementasi penuh CBAM Oktober. Inggris, Korea Selatan, Jepang, dan ASEAN tidak mengeluarkan kebijakan baru pekan ini.
Ringkasan Kebijakan dan Trade Remedies (23–30 Agustus 2025)
Negara | Status Kebijakan | Kebijakan Baru/Remedies | Cakupan |
AS | Berlaku efektif | Final AD/CVD CORE | Baja corrosion-resistant |
India | Menunggu keputusan | Rekomendasi safeguard 3 tahun | HRC, CRC |
Australia | Dalam tinjauan | Penundaan SEF review AD rebar | Rebar asal Tiongkok |
IV. Investasi Peningkatan Kapasitas & Green Steel
Pekan ini ditandai oleh akselerasi investasi di India dan AS. JSW Steel dan APMDC resmi membentuk JV untuk proyek Konijedu Marlapadu, menargetkan kapasitas konsentrat bijih besi 1,3 juta ton per tahun. Di AS, Hyundai Steel mengumumkan investasi USD 5,8 miliar untuk pabrik EAF di Louisiana berkapasitas 2,7 juta ton per tahun dengan target operasi 2029. Oman tetap melanjutkan proyek Meranti Green Steel di Duqm (DRI/HBI berbasis gas dan hidrogen hijau) dengan target FID 2026 dan COD 2029. Sebaliknya, Eropa dan AS masih menghadapi stagnasi pada proyek baja hijau lainnya akibat biaya energi tinggi dan kurangnya dukungan finansial.
Tabel 1. Investasi Penambahan Kapasitas (Update 23–30 Agustus 2025)
Negara/Wilayah | Perusahaan/Proyek | Kapasitas (juta ton/tahun) | Status/Update | Target Operasi |
India | JSW–APMDC (APJSW) – Konijedu Marlapadu | 1,3 Mtpa (konsentrat) | JV resmi terbentuk | Tahap awal |
AS (Louisiana) | Hyundai Steel – pabrik baru | 2,7 | Investasi USD 5,8 miliar | 2029 |
Tabel 2. Investasi Green Steel/Dekarbonisasi (Update 23–30 Agustus 2025)
Negara/Wilayah | Perusahaan/Proyek | Teknologi | Status/Update | Alasan |
AS | Hyundai Steel – Louisiana | EAF | Proyek greenfield | Dekarbonisasi & supply otomotif |
Oman | Meranti Green Steel – Duqm | DRI/HBI gas + H₂ | FID 2026; COD 2029 | Investasi baru |
V. Isu Strategis yang Perlu Dicermati
Pekan ini, isu strategis utama adalah rencana pemerintah Tiongkok untuk membatasi produksi baja pada periode 2025–2026. Kebijakan ini pada satu sisi dipandang positif karena berpotensi menahan kelebihan pasokan dan mengurangi tekanan ekspor, tetapi pada sisi lain masih menyisakan ketidakpastian. Belum jelasnya aturan mengenai ekspor membuka peluang bahwa surplus produksi tetap akan dialihkan ke pasar luar negeri. Kondisi ini menuntut pemerintah Indonesia dan pelaku industri baja nasional untuk terus memantau dan mengantisipasi potensi banjir impor dari Tiongkok, terutama ke kawasan ASEAN.
Di luar Tiongkok, dinamika pasar baja global semakin ditentukan oleh faktor kebijakan. Proteksionisme perdagangan seperti perluasan tarif di Amerika Serikat dan persiapan implementasi penuh CBAM di Uni Eropa menegaskan bahwa arah pasar lebih banyak dipengaruhi regulasi daripada sekadar keseimbangan pasokan-permintaan. Sementara itu, kontras juga terlihat antara negara berkembang yang agresif menambah kapasitas dan negara maju yang justru menunda atau membatalkan proyek baja hijau akibat tekanan biaya energi.
Kombinasi antara kebijakan pembatasan produksi di Tiongkok, proteksionisme di pasar utama, serta ketidakpastian transisi energi di Eropa dan Amerika Serikat memperlihatkan bahwa industri baja global tengah memasuki fase di mana intervensi kebijakan menjadi faktor penentu utama. Bagi Indonesia, hal ini menegaskan urgensi memiliki strategi perdagangan dan industri yang adaptif, tidak hanya untuk menjaga pasar domestik dari limpahan impor, tetapi juga untuk memanfaatkan peluang ekspor di tengah pergeseran arus perdagangan dunia.
Sumber Data
SunSirs, CUSteel, SteelMint, Fastmarkets/Eurometal, Steel Market Update (SMU), AISU, Argus/Platts, TradingEconomics, AustralianSteel.com, LME.