
Beijing – Pemerintah Tiongkok berencana memangkas produksi baja pada periode 2025–2026 sebagai bagian dari upaya menekan kelebihan kapasitas (overcapacity) dan meningkatkan efisiensi industri. Menurut dokumen resmi yang dikaji Reuters, langkah ini akan mencakup pembatasan ketat terhadap kapasitas baru, penutupan fasilitas lama yang tidak efisien, serta dorongan pada produksi dengan teknologi lebih maju (Reuters, 28 Agustus 2025).
Rencana tersebut dituangkan dalam Steel Industry Growth Stabilization Work Plan yang dirilis oleh lima kementerian Tiongkok, termasuk Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi (MIIT), Kementerian Sumber Daya Alam, Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Perdagangan, serta Administrasi Negara untuk Regulasi Pasar. Dokumen ini menekankan bahwa regulasi produksi baja akan dilakukan secara presisi, dengan target meningkatkan nilai tambah industri peleburan dan pengerolan logam ferrous sekitar 4 persen per tahun pada periode 2025–2026 (SteelOrbis, 28 Agustus 2025).
Meskipun pemerintah tidak menetapkan target pemangkasan yang spesifik, sejumlah pihak memperkirakan produksi baja Tiongkok pada 2025 akan turun menjadi kurang dari 980 juta ton, lebih rendah dibandingkan 2024 yang mencapai 1,005 miliar ton. Data Biro Statistik Nasional Tiongkok mendukung prediksi ini, dengan mencatat produksi baja mentah sepanjang Januari–Juli 2025 sebesar 594,47 juta ton, turun 3,1 persen atau setara 19 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (SteelOrbis, 28 Agustus 2025).
Reuters mencatat bahwa pemangkasan produksi akan dicapai dengan memaksa penutupan tanur yang usang dan tidak efisien serta memberi dukungan pada perusahaan dengan teknologi lebih maju. Dokumen perencanaan juga menyoroti ketidakseimbangan antara kelebihan pasokan dan lemahnya permintaan, yang dinilai menghambat pertumbuhan industri baja (Reuters, 28 Agustus 2025; The Standard, 28 Agustus 2025; MarketScreener, 28 Agustus 2025).
Upaya restrukturisasi serupa pernah dilakukan pada 2023, tetapi gagal sebagian karena Beijing memberikan sinyal yang tidak konsisten kepada produsen baja mengenai seberapa agresif pemerintah akan memangkas kapasitas. Rencana terbaru kali ini menekankan investasi pada teknologi baru, peningkatan penggunaan baja dalam pembangunan infrastruktur dan perumahan, serta stabilitas pasokan bahan baku, termasuk bijih besi dan batubara kokas (Reuters, 28 Agustus 2025; MarketScreener, 28 Agustus 2025).
Selain fokus pada produksi domestik, pemerintah juga menyebut perlunya peningkatan pengelolaan ekspor baja. Namun, dokumen tidak memberikan detail lebih lanjut mengenai kebijakan ekspor ini. Ketidakjelasan ini menimbulkan diskusi di kalangan analis apakah pemerintah Beijing akan menindak tegas praktik ekspor yang menghindari pajak nilai tambah. Beberapa perkiraan menyebutkan bahwa sepertiga ekspor baja Tiongkok pada 2023 dilakukan melalui skema tersebut, sehingga setiap upaya serius untuk membatasinya berpotensi menekan ekspor secara signifikan (Reuters, 28 Agustus 2025; MarketScreener, 28 Agustus 2025).
Sementara itu, ekspor baja Tiongkok melonjak dalam dua tahun terakhir dan memicu tuduhan dumping dari berbagai negara mitra dagang. SMInsights telah melaporkan bahwa ekspor baja dari Januari hingga Juli 2025 mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, menempatkan total tahunan pada jalur untuk melampaui rekor 2015 (Hot News: Indonesia Target Ekspor Baja China Semester I 2025). Lonjakan ini diperkuat dengan peningkatan ekspor billet baja dan produk setengah jadi lainnya, yang dinilai sebagai upaya produsen Tiongkok untuk menghindari tarif perdagangan (Reuters, 28 Agustus 2025; MarketScreener, 28 Agustus 2025).
Menurut laporan Reuters, meskipun terdapat rencana pemotongan produksi, pasar masih belum melihat dampak nyata dari kebijakan ini terhadap pasokan global. SteelOrbis mencatat bahwa pemotongan tersebut terutama diarahkan untuk menyeimbangkan kondisi permintaan domestik yang sedang lesu, sementara belum ada sinyal pelemahan ekspor ke pasar internasional. Bahkan, sepanjang Januari–Juli 2025, ekspor baja Tiongkok justru mencatat rekor tertinggi. MarketScreener menilai ketidakjelasan detail rencana pemerintah membuat banyak pelaku pasar dan analis memilih bersikap wait and see terhadap arah kebijakan Beijing ke depan. Meskipun kabar ini seolah membawa angin segar, dalam konteks Indonesia, pemerintah dan pelaku industri baja perlu mencermati secara seksama langkah yang diambil Beijing, agar dapat melakukan mitigasi sedini mungkin terhadap risiko membanjirnya pasokan baja Tiongkok ke pasar domestik.