
Pekan ketiga Oktober 2025 menandai kembalinya dinamika pasar baja global setelah masa transisi pasca-libur di Tiongkok. Harga domestik Tiongkok menguat serentak, mendorong tren positif di kawasan, namun sentimen pasar tetap rapuh akibat kelebihan pasokan, margin tipis, dan pemulihan permintaan yang lambat. Di sisi perdagangan global, proteksionisme terus menguat. Reformasi TRQ Eropa dipastikan mempersempit ruang ekspor, khususnya bagi produsen Asia. Sementara itu, geliat investasi tetap terfokus di Asia Tenggara dan India—baik melalui ekspansi kapasitas stainless Indonesia maupun proyek baja hijau di India—namun adopsi teknologi rendah karbon global justru melambat, terbebani oleh biaya tinggi dan ketidakpastian pasar. Di tengah perubahan lanskap global ini, Indonesia menghadapi tiga tantangan utama: memastikan perlindungan pasar domestik secara konsisten, memanfaatkan momentum ekspor ke pasar terbuka seperti Uni Eropa pasca-putusan WTO, dan menyusun roadmap transisi industri secara adaptif tanpa terburu-buru mengadopsi model yang berisiko melemahkan daya saing.
I. Perkembangan Harga Baja Minggu III Oktober 2025
Memasuki pekan ketiga Oktober, harga baja global bergerak naik tipis dengan Tiongkok menjadi lokomotifnya. Di sana, harga domestik menguat serentak: HRC berada di USD 470 per ton dari 455–460 dolar per ton pekan lalu, CRC naik ke 555–570, galvanis ke 590–595, dan coil berwarna melebar hingga 710–920. Produk long ikut menanjak; rebar tercatat di 440–460 dari 410–415, wire rod ke 490 dari 465–470, dan pipa las ke 505 dari 485–490. Namun laporan Mysteel pekan 13–17 Oktober menyebut pasar domestik masih dibayangi kelebihan pasokan: output CRC meningkat, stok pedagang berada di titik tertinggi sejak April 2024, dan pemulihan permintaan hilir berjalan lambat. Dalam konteks tersebut, penguatan pekan ini lebih mencerminkan penyesuaian pasca-libur daripada perubahan tren yang mendasar. CRC menjadi segmen paling rentan untuk terkoreksi kembali, sementara HRC dibatasi oleh kelimpahan pasokan dan level FOB China yang tertahan di kisaran USD 460.
Di Asia Tenggara, harga HRC mengalami penguatan ringan seiring stabilnya penawaran dari produsen utama. Patokan HRC CFR Vietnam naik ke USD 520–530 dari 500–505, menyusul keputusan Formosa Ha Tinh untuk mempertahankan harga alokasi terbaru. Kenaikan ini mencerminkan penyesuaian terhadap harga referensi kawasan, bukan dorongan dari sisi permintaan. Pasar regional masih cenderung berhati-hati, dengan pelaku usaha memperkirakan pemulihan baru akan terjadi pada awal 2026.
India justru menunjukkan pelemahan harga pada segmen coil dasar. HRC turun ke USD 570–640 dari 625–655, rebar ke 455–505 dari 470–480, dan wire rod ke 450–455. Sebaliknya, CRC bertahan di 700–730 dan galvanis menguat tipis ke 780–790 dari 775–785. Harga scrap CFR Nhava Sheva terkoreksi ke sekitar USD 325 dari 330–380, memberi ruang diskon pada penawaran HRC. Di sisi ekspor, penawaran HRC India ke Eropa melemah seiring minimnya permintaan baru akibat ketidakpastian kebijakan safeguard dan CBAM di Uni Eropa. Produsen cenderung mempertahankan margin di produk hilir, sementara kompetisi di segmen ekspor coil dasar masih tinggi.
Di Turki, harga rebar ekspor tercatat stabil di kisaran USD 540–545 FOB. Pasar domestik masih menunjukkan lemahnya permintaan, menyebabkan produsen enggan menaikkan harga. Meski sempat ada harapan pemulihan pada awal September, pasar kembali stagnan pada pekan ketiga Oktober. Inventori yang tinggi di kalangan produsen dan pedagang turut membatasi ruang kenaikan harga, sementara pasar ekspor tetap menghadapi kendala struktural berupa kuota Uni Eropa.
Sementara itu, kawasan Timur Tengah dan Mesir mencatat pergerakan harga yang beragam. Rebar domestik di Mesir berada di kisaran USD 715–780 dari 715–790. Beberapa produsen seperti El-Marakby dan Ashry Steel menurunkan harga, sementara produsen besar seperti Ezz Steel mempertahankan level sebelumnya. Hal ini mencerminkan lemahnya permintaan lokal dan perbedaan strategi antar pelaku industri dalam merespons tekanan biaya serta volatilitas pasar.
Eropa mulai menunjukkan penguatan terbatas, terutama pada HRC yang naik ke USD 615–625 dari 600–610. CRC stabil di kisaran 700–710 dan HDG menguat ke 710–740 dari 705–725. Sejumlah produsen besar, termasuk ArcelorMittal, menaikkan penawaran untuk pengiriman Desember dan Januari, namun realisasi transaksi masih terbatas karena tingginya resistensi dari pembeli. Ketidakpastian seputar CBAM dan revisi kebijakan safeguard juga membuat sebagian besar pelaku pasar memilih menunggu perkembangan lebih lanjut sebelum melakukan pembelian dalam volume besar. Kenaikan ini juga mendapat dorongan spekulatif dari usulan reformasi sistem TRQ Uni Eropa, yang mencakup pemotongan kuota, penaikan tarif, dan penghapusan carry-over, sebagaimana mulai dibahas menjelang 2026.
Di Amerika Serikat, HRC spot naik tipis ke USD 820–860 dari 810–850. Harga tetap tinggi disebabkan oleh gangguan pasokan akibat pemeliharaan pabrik dan terbatasnya volume impor. Namun harga scrap yang mulai melemah serta permintaan hilir yang belum pulih sepenuhnya menahan laju penguatan. Potensi restocking menjelang akhir tahun menjadi satu-satunya faktor pendukung dalam waktu dekat, sementara prospek jangka menengah masih bergantung pada stabilitas ekonomi dan arah belanja sektor manufaktur.
Secara keseluruhan, pekan ini ditandai oleh rebound teknikal dari Tiongkok yang mendorong sedikit optimisme ke pasar global, namun penguatan di banyak kawasan masih bersifat hati-hati. Ketidakpastian struktural seperti kebijakan CBAM, kuota UE, dan tekanan stok domestik di negara produsen utama masih menjadi hambatan utama bagi tren kenaikan yang lebih kuat.
Ringkasan Harga Baja – Minggu III Oktober 2025 (USD/ton)
| Kawasan | HRC | CRC | GI/HDG | Color | Pipa Las | Rebar | Wire Rod | Scrap |
| Tiongkok | 470 ↑ (FOB 460) | 560 ↑ | 595 ↑ | 815 ↑ | 505 ↑ | 450 ↑ | 490 ↑ | n/a |
| ASEAN | CFR VN 525 ↑ | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a |
| India | 605 ↓ | 715 → | 785 ↑ | n/a | n/a | 480 → | 455 n/a | 325 ↓ |
| Turki | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | FOB 545 ↑ | n/a | n/a |
| Middle East / Mesir | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | 750 ↓ | n/a | n/a |
| Eropa | 620 ↑ | 705 → | 725 ↑ | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a |
| Amerika Serikat | 840 ↑ | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a | n/a |
Keterangan: ↑ naik w/w; ↓ turun w/w; → stabil (≤ ±0,5%); n/a tidak tersedia. Kurs: RMB/USD = 7,30; INR/USD = 83,23; EUR/USD = 1,06; TRY/USD = 28,23; EGP/USD = 30,85
II. Perkembangan Perdagangan Baja Global – Minggu III Oktober
Pekan ketiga Oktober 2025 mencerminkan arah baru dalam lanskap perdagangan baja dunia: ekspor Tiongkok kembali mencetak rekor bulanan, sementara kawasan lain memperketat perlindungan pasar domestik. Di saat Eropa mempercepat rencana reformasi kuota dan tarif, India justru berbalik menjadi importir netto karena lonjakan permintaan domestik. Di sisi lain, ASEAN tetap menjadi pasar terbuka, meskipun ekspor dari Indonesia dan Vietnam mulai menunjukkan peningkatan selektif. Secara keseluruhan, peta suplai global kian terpolarisasi antara negara pemasok murah seperti Tiongkok dan negara tujuan dengan akses yang makin tertutup.
Dari sisi data perdagangan, ekspor baja Tiongkok pada September 2025 tercatat sebesar 10,47 juta ton, tertinggi dalam empat bulan terakhir dan naik 10% dibanding Agustus. Secara kumulatif Januari–September, total ekspor mencapai 87,96 juta ton atau tumbuh 9,2% dibanding tahun lalu. Sebaliknya, impor hanya sekitar 0,55 juta ton, menandakan posisi Tiongkok sebagai eksportir netto yang dominan. Arus baja ini sebagian besar ditujukan ke kawasan Asia, Timur Tengah, dan sebagian Eropa, dengan banyak negara pengimpor mengeluhkan harga ekspor yang sangat rendah.
Sikap protektif semakin menguat di Eropa dan Amerika Serikat. Uni Eropa mengusulkan pemangkasan kuota impor bebas bea hingga 47% dan menaikkan tarif out-of-quota menjadi 50%. Langkah ini merupakan respons atas membanjirnya baja murah, termasuk dari Tiongkok, Vietnam, dan Turki. Di Amerika Serikat, kebijakan tarif 50% sejak Juni telah menurunkan impor baja hingga 27,7% YoY pada Agustus, menjadikan pangsa baja impor hanya 16% dari total konsumsi—tingkat terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, India mengalami perubahan peran. Meskipun ekspor baja India secara kumulatif naik 22% YoY pada periode April–Agustus, konsumsi domestik yang tumbuh 9% membuat India menjadi importir netto pada September. Pemerintah India mengusulkan tarif 11–12% untuk menahan arus masuk baja murah, terutama dari Tiongkok. Ini menandai tekanan nyata terhadap produsen domestik di tengah permintaan dalam negeri yang tetap tinggi.
Di kawasan ASEAN, arus suplai masih didominasi oleh impor, terutama dari Tiongkok. Di sisi lain, muncul sentimen positif ekspor. Kemenangan Indonesia dalam sengketa WTO dengan Uni Eropa membuka kembali akses ekspor ke pasar Eropa, memperkuat posisi Indonesia sebagai eksportir utama di Asia Tenggara. Di sisi lain, Vietnam mencatat ekspor 773 ribu ton pada September, naik 18% dari bulan sebelumnya, meski secara tahunan masih turun.
Stok baja di pasar utama tetap dalam kendali. Di Tiongkok, laporan Mysteel mencatat bahwa stok pedagang meningkat tipis setelah libur Golden Week, namun penurunan produksi dan peningkatan ekspor membantu menyeimbangkan pasokan. Di Eropa dan Amerika Serikat, inventori berada pada level sehat namun cenderung ketat, seiring destocking dan rendahnya volume impor. India mencatat konsumsi baja yang melebihi produksi domestik pada September, menandakan potensi pengetatan stok dalam waktu dekat.
Dengan latar ini, arus suplai global kini mengarah pada dua tren besar: pertama, negara eksportir seperti Tiongkok memperluas penetrasi melalui strategi harga rendah; kedua, negara importir seperti EU dan AS semakin agresif membatasi masuknya baja asing..
III. Kebijakan & Trade Remedies – Minggu III Oktober
Pekan ketiga Oktober 2025 menandai gelombang proteksionisme baja global yang terus berlanjut. Di tengah tekanan kelebihan pasokan dan lonjakan ekspor dari Tiongkok, semakin banyak negara memperketat instrumen perlindungan pasar melalui bea masuk anti-dumping (BMAD), safeguard, bea imbalan (CVD), dan kuota tarif (TRQ). Eskalasi ini bukan hanya mencerminkan kekhawatiran atas dumping dan subsidi, tetapi juga ketegangan geopolitik dan ketidakpastian struktur perdagangan baja dunia.
Tiongkok tetap menjadi pusat perhatian karena ekspornya yang membanjir ke pasar global. Menurut GMK Center, hingga awal Oktober, total 62 negara telah menerapkan 207 tindakan trade remedies terhadap baja China, mencakup hampir semua produk utama: HRC, CRC, rebar, wire rod, stainless, galvanis, dan pipa. Negara-negara seperti AS, UE, Kanada, Meksiko, Inggris, dan Australia menjadi penyumbang utama tindakan tersebut. Di sisi domestik, Tiongkok juga memperpanjang BMAD sebesar 20,2–103,1% terhadap billet dan plat stainless dari UE, Inggris, Korsel, dan Indonesia, berlaku lima tahun sejak Juli 2025. Lonjakan ekspor China yang mencapai 118 juta ton pada 2024 dipicu oleh kelebihan kapasitas dan subsidi besar-besaran—diperkirakan lima kali lebih besar dari rerata global—yang memungkinkan produsen China menekan harga ekspor.
India bergerak cepat dalam merespons potensi banjir impor. Direktorat Perdagangan India (DGTR) membuka investigasi anti-dumping atas produk cold-rolled stainless steel seri 300/400 dari China, Indonesia, dan Vietnam. Pemerintah juga merekomendasikan bea masuk anti-dumping untuk baja listrik non-oriented (CRNO) dari China sebesar USD 223–415 per ton. Tak hanya itu, sejak April, India telah menerapkan safeguard sementara berupa BMTP 12% atas flat steel tertentu, dengan rencana memperpanjangnya hingga tiga tahun (dengan tarif bertahap 12% → 11,5% → 11%). Kebijakan ini mencerminkan keseriusan India menjaga daya saing domestik di tengah gelombang proteksi global.
Uni Eropa pada 7 Oktober 2025 mengusulkan reformasi besar atas kerangka safeguard-nya yang akan kadaluarsa 2026. Proposal tersebut mencakup pemangkasan kuota bebas tarif hingga 47% (menjadi sekitar 18,3 juta ton per tahun) dan kenaikan tarif di atas kuota dari 25% menjadi 50%. Karena langkah ini menyimpang dari konsesi tarif di WTO, UE berencana melakukan renegosiasi dengan mitra dagang sesuai Pasal XXVIII GATT. Selain itu, UE juga memperkuat instrumen anti-dumping. Akhir September, tarif definitif diberlakukan atas HRC dari Vietnam, Jepang, Mesir, dan Thailand—masing-masing 6,9% hingga 30%. Investigasi baru juga dibuka terhadap CRC dari India, Jepang, Turki, Vietnam, dan Taiwan.
Amerika Serikat mempertahankan pendekatan tarif tinggi dengan perluasan cakupan. Sejak Juni 2025, tarif Section 232 atas baja naik menjadi 50% dari sebelumnya 25%. Pada Agustus, AS menambahkan 407 kategori produk turunan baja dan aluminium ke dalam daftar tarif tinggi, mencakup barang konsumsi hingga komponen manufaktur. Di sisi lainnya, Departemen Perdagangan AS menyelesaikan berbagai investigasi BMAD dan CVD, termasuk terhadap HRC dari China, India, Indonesia, Belanda, Thailand, Ukraina, dan Taiwan, serta plat baja karbon dari Belgia, Italia, Korea Selatan (termasuk subsidi terhadap POSCO). Produk lain yang turut dikenai proteksi meliputi rebar, OCTG, pipa seamless, welded, dan stainless. Efek domino kebijakan ini mulai terasa di kawasan berkembang, termasuk ASEAN, dengan peningkatan risiko limpahan ekspor baja murah ke pasar yang lebih terbuka.
Di kawasan ASEAN, berbagai negara memperkuat lini pertahanannya. Indonesia, melalui KADI, tengah menyelidiki ulang dumping HRC dari produsen China WISCO, yang sebelumnya lolos dari BMAD. Pemerintah juga telah memperpanjang BMAD lima tahun untuk HRC dari China (mayoritas 20%), India, Rusia, Kazakhstan, Belarusia, Taiwan, dan Thailand. Evaluasi lanjutan tengah dilakukan untuk BMAD alloy HRC dan profil I dan H-Beam. Vietnam resmi menetapkan BMAD final hingga 27,83% untuk HRC asal China, sementara Formosa—eksportir utama Vietnam—dikenai tarif 12,1% oleh UE. AS juga tengah menyelidiki CRC Vietnam. Thailand mengusulkan perpanjangan BMAD CRC dari China, Vietnam, dan Taiwan, serta mengawasi potensi circumvention melalui baja berlapis ZAM dari China. Malaysia mengambil pendekatan campuran: memperpanjang BMAD untuk CRC China dan Jepang, namun mencabutnya untuk produk serupa asal Vietnam dan Korea. Malaysia juga menerapkan tarif provisi 3,86–57,9% atas produk galvanis dari China, Korea, dan Vietnam.
Di luar ASEAN, Turki memperluas proteksi dari HRC ke produk hilir. Asosiasi produsen SOGAD mendesak penerapan BMAD pendahuluan atas CRC, galvanis, dan baja lapis warna dari China dan Korea setelah lonjakan impor yang signifikan. Pemerintah Mesir mengambil langkah safeguard darurat sejak 14 September dengan menerapkan BMTP global untuk berbagai produk flat steel seperti HRC (13,6%), billet, CRC, dan galvanis. Kebijakan ini akan berlaku 200 hari dan telah dilaporkan ke WTO.
Negara-negara lain juga bergerak. Korea Selatan mulai 1 September menerapkan BMAD sementara terhadap HRC dari China dan Jepang sebesar 28–33%. Brasil mengaktifkan BMAD tetap atas produk canai datar dan stainless CR dari China. Kanada memperluas cakupan tindakan AD atas wire rod dan corrosion-resistant steel dari berbagai negara. Meksiko, selain memulai investigasi baru atas pipa dan kawat baja, juga mencabut AD terhadap produk tertentu bila dinilai tidak lagi merugikan.
Peta global ini menunjukkan konsolidasi besar-besaran instrumen proteksi baja. Di tengah risiko oversupply dan harga ekspor yang merosot, hampir semua negara besar berlomba memperkuat pagar impornya. Indonesia pun harus mencermati perkembangan ini secara strategis, karena risiko limpahan ekspor dari negara yang kini tertutup aksesnya ke AS dan Eropa makin besar. Dalam konteks ini, trade remedies bukan lagi alat pelengkap, melainkan kebutuhan utama untuk menjaga kemandirian industri nasional.
Ringkasan Trade Remedies Baja Global – Minggu III Oktober 2025
| Yuridiksi | Instrumen | Produk | Asal Negara | Tarif / Status | Tanggal Efektif |
| Uni Eropa | Reformasi Safeguard | Seluruh produk baja dalam sistem kuota | Global | Kuota impor turun 45%; tarif di luar kuota 50%; verifikasi melted & poured | N/A |
| Uni Eropa | Bea AD Definitif (HRC) | Hot-Rolled Coil | Mesir, Jepang, Thailand, Vietnam | 6,9–12,3% (berlaku 5 tahun) | 2 Okt 2025 |
| Uni Eropa | Investigasi AD Baru | Cold-Rolled Coil & Sheet | Tiongkok, India, Jepang, Taiwan, Vietnam | Investigasi awal berjalan | N/A |
| Mesir | Safeguard Sementara | Billet, CRC, Galvanis, Prepainted Flat Steel | Semua negara | 4,9–12,1% (≈USD 95–100/ton), berlaku 200 hari | 14 Sep 2025 |
| India | Investigasi AD Baru | Stainless Cold-Rolled Steel seri 300/400 | Tiongkok, Indonesia, Vietnam | Investigasi dimulai awal Oktober | Awal Okt 2025 |
| India | Rekomendasi BMAD Final | Baja listrik canai dingin non-oriented (CRNO) | Tiongkok | USD 223,82–414,92/ton, menunggu keputusan Kemenkeu | Rekomendasi awal Okt |
| Brasil | Perpanjangan Bea AD | Flat Rolled Carbon Steel, Stainless CRC, Seamless Pipe | Tiongkok, Korsel, Ukraina | Diperpanjang 5 tahun | 7 Okt 2025 |
| Kanada | Bea AD Sementara | Carbon & Alloy Steel Wire | UE, Turki, Vietnam, Indonesia | Bea sementara berlaku | 5 Okt 2025 |
| Meksiko | Perluasan & Investigasi AD | Bar, Plate, Seamless Pipe, Wire Rope | Rusia, Ukraina, Taiwan, Malaysia, Vietnam | Tarif diperluas & investigasi baru dimulai | 1 Okt 2025 |
| Vietnam | BMAD Final HRC | Hot-Rolled Coil | Tiongkok | Final AD 27,83%, berlaku 5 tahun mulai 6 Juli | 6 Jul 2025 |
| Vietnam | Kena BMAD UE | Hot-Rolled Coil | Vietnam | 12,1% (Formosa), Hoa Phat dibebaskan | 30 Sep 2025 |
| Vietnam | Diinvestigasi AS | Cold-Rolled Coil | Vietnam | Diselidiki bersama negara lain untuk periode Jul 2024–Jun 2025 | Sedang berlangsung |
| Thailand | Sunset Review BMAD CRC | Cold-Rolled Coil | Vietnam, Tiongkok, Taiwan | Usulan lanjutkan BMAD 4,22–20,11% selama 5 tahun | Awal Okt 2025 |
| Thailand | Investigasi AD Baru | H-Beam | Tiongkok | Investigasi baru dimulai | Oktober 2025 |
| Malaysia | BMAD Sementara GI | Galvanis | Tiongkok, Korsel, Vietnam | 3,86–57,9%, berlaku 120 hari | 7 Jul 2025 |
| Malaysia | Akhiri BMAD CRC Lebar | CRC (≥1300 mm) | Vietnam, Korsel | Bea dicabut sejak 23 Juni | 23 Jun 2025 |
| Malaysia | Lanjutkan BMAD CRC | CRC | Tiongkok, Jepang | Diperpanjang 5 tahun, tarif 4,76–26,39% | Juni 2025 (review) |
| Turki | Usulan BMAD Baru | CRC, Galvanis, Painted Steel | Tiongkok, Korsel | Permohonan BMAD sementara karena lonjakan 31–53% | Oktober 2025 |
| Mesir | Safeguard Global | HRC, Billet, CRC, Galvanis | Semua negara | HRC: 13,6%, Billet: 16,2%, CRC: 11,11%, Galvanis: 12,16%; berlaku 200 hari | 14 Sep 2025 |
| Korea Selatan | Bea AD Sementara | Hot-Rolled Coil | Tiongkok, Jepang | 28%–33% (China), 31,6%–33,6% (Jepang), berlaku 4 bulan | 1 Sep 2025 |
IV. Investasi Peningkatan Kapasitas & Green Steel – Minggu II Oktober
Pada medio Oktober 2025, dinamika investasi di sektor baja menunjukkan dua garis besar: ekspansi kapasitas tradisional di pasar strategis dan inisiatif green steel (baja rendah jejak karbon). Kedua tren ini akan menjadi penentu daya saing industri baja di masa depan.
Di kawasan Asia Tenggara, salah satu proyek mencolok adalah kolaborasi antara POSCO dan Tsingshan untuk mendirikan pabrik stainless steel baru di Morowali, Sulawesi, Indonesia, dengan kapasitas produksi tahunan sekitar 2 juta ton. Proyek ini diinisiasi melalui joint venture, di mana POSCO mengambil porsi 44,1 % dari PT Xinheng Metal Indonesia dan Tsingshan mempertahankan 55,88 %. Investasi POSCO diperkirakan lebih dari 1 triliun won Korea, yang menunjukkan ambisi mereka memperkuat basis produksi stainless di Asia Tenggara.
Sementara itu, di India, perusahaan ACME Group mengumumkan inisiatif besar untuk membangun fasilitas baja “hijau” (Green HBI/DRI) senilai ₹5,000 crore untuk kapasitas 1,2 juta ton per tahun, menggunakan hidrogen hijau sebagai bagian dari proses reduksi. Proyek ini terpadu dengan sumber energi terbarukan milik ACME sendiri dan telah menyepakati skema penjualan take-or-pay terhadap 0,8 juta ton produk hijau ke perusahaan Vietnam selama 10 tahun.
Pada skala global, terdapat pergeseran dinamika dalam pengembangan green steel. Startup Swedia Stegra (dulu H2 Green Steel) membuka putaran pendanaan baru sekitar €975 juta untuk mendukung pembangunan pabrik baja berbasis hidrogen di Boden, Swedia. Pendanaan ini mencakup sekitar 15 % dari total biaya proyek, dan diperlukan untuk menutup kenaikan biaya serta menggantikan subsidi negara yang tertunda. Namun, sejumlah proyek green steel di Eropa dilaporkan mengalami penundaan karena ketidakpastian pasar, teknis, dan biaya energi yang fluktuatif.
Selain itu, perusahaan Jerman SHS – Stahl-Holding-Saar diumumkan berhasil mengamankan pembiayaan sebesar €1,7 miliar (USD ~$1,7 miliar) untuk program transformasi hijau bernama Power4Steel, sebagai bagian dari konversi manufaktur baja menuju pemakaian energi rendah karbon.
Secara konseptual, investasi pada green steel dan teknologi reduksi rendah karbon menghadapi hambatan besar: biaya hidrogen hijau dan listrik terbarukan yang masih tinggi, kebutuhan besar pasokan scrap berkualitas, serta keterbatasan skala produksi teknologi di luar tahap pilot.
Ringkasan Investasi & Proyek Baja – Minggu II Oktober
| Negara/Kawasan | Proyek | Nilai Investasi | Fokus/Kapasitas | Keterangan |
| Indonesia | POSCO–Tsingshan Stainless JV di Morowali | > KRW 1 triliun | Kapasitas ~2 juta ton stainless steel | Ekspansi basis produksi stainless POSCO di Asia Tenggara |
| India | ACME Green HBI Facility | ₹5.000 crore | 1,2 juta ton/tahun HBI berbasis hidrogen hijau | Proyek green steel dengan take-or-pay 10 tahun ke pembeli Vietnam |
| Swedia | Stegra (H2 Green Steel) – Hydrogen-based Steel Plant | €975 juta (pendanaan) | Fasilitas baja berbasis hidrogen di Boden | Dana tambahan 15% dari total proyek; untuk nutupi lonjakan biaya |
| Jerman | SHS – Power4Steel Green Transformation Program | €1,7 miliar | Transformasi fasilitas ke energi rendah karbon | Didukung pembiayaan besar; fokus emisi rendah dan efisiensi energi |
V. Isu Strategis yang Perlu Dicermati
Pekan ketiga Oktober 2025 menandai sejumlah dinamika penting dalam industri baja global yang perlu dicermati secara saksama oleh pemerintah dan pelaku usaha baja Indonesia. Selain tren harga dan arus perdagangan, tekanan proteksionisme serta pergeseran arah investasi global menciptakan lanskap baru yang penuh tantangan. Berikut isu-isu utama yang perlu menjadi perhatian:
1. Ancaman Banjir Impor di Kuartal IV 2025 hingga 2026
Kenaikan ekspor baja China pasca-Golden Week, ditambah dengan kebijakan proteksi ketat di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Timur Tengah, membuka potensi pengalihan surplus baja global ke pasar Asia Tenggara. Indonesia menjadi target potensial, terutama untuk produk HRC, CRC, dan baja lapis. Langkah cepat berupa penguatan pengawasan impor, harmonisasi tarif bea masuk dan BMAD, serta percepatan penyelidikan KADI menjadi sangat penting untuk meredam lonjakan pasokan tidak fair.
2. Peluang Akses Pasar Uni Eropa Pascakeputusan WTO
Kemenangan Indonesia atas Uni Eropa di forum WTO (DS616) membuka peluang signifikan bagi produsen stainless nasional untuk merebut pasar Eropa yang makin ketat kuotanya. Namun, peluang ini dibayang-bayangi oleh rencana kebijakan TRQ yang diberlakukan tahun depan. Pelaku usaha dan Pemerintah perlu memastikan pemanfaatan putusan WTO secara aktif agar keunggulan kompetitif tidak sia-sia.
4. Ketimpangan Daya Saing dalam Transisi Green Steel
Meskipun sejumlah investasi green steel diumumkan sepanjang pekan ini, perlu dicermati bahwa mayoritas proyek yang berhasil dijalankan justru terjadi di negara maju yang didukung oleh subsidi besar, regulasi insentif, dan infrastruktur teknologi yang memadai. Di sisi lain, ketidakpastian kebijakan global—termasuk arah pemerintahan Trump yang tidak pro-penurunan emisi—membayangi kelanjutan proyek di berbagai negara. Beberapa inisiatif bahkan sudah diumumkan mengalami penundaan.
Kondisi ini menegaskan bahwa transisi menuju baja rendah karbon bukan semata persoalan komitmen lingkungan, tetapi sangat dipengaruhi oleh daya saing industri secara global. Bagi sejumlah negara, efisiensi biaya dan keberlanjutan industri tetap menjadi prioritas yang lebih mendesak dibanding percepatan dekarbonisasi.
Indonesia perlu mencermati dinamika ini secara hati-hati. Adopsi teknologi rendah emisi yang terlalu dini tanpa dukungan fiskal dan kesiapan pasar justru berisiko membebani struktur biaya dan melemahkan daya saing industri nasional. Pemerintah perlu segera menyusun roadmap transisi industri baja yang komprehensif dan adaptif, dengan ruang evaluasi berkala untuk merespons perubahan cepat dalam kebijakan dan dinamika pasar global.
5. Fragmentasi Pasar Global
Pasar baja global kini bergerak menuju fragmentasi yang ditandai oleh semakin banyaknya hambatan perdagangan seperti tarif khusus, kuota impor, dan persyaratan asal produksi. Kebijakan seperti CBAM Uni Eropa, tarif Section 232 Amerika Serikat, serta reformasi kuota tarif di berbagai kawasan telah menciptakan segmentasi pasar yang tidak lagi mengandalkan prinsip efisiensi global, melainkan kepatuhan terhadap aturan domestik masing-masing negara.
Kondisi ini menuntut respons strategis dari pemerintah dan pelaku industri Indonesia untuk menyesuaikan struktur produksi, arah investasi, serta strategi ekspor. Tanpa penyesuaian cepat, produsen baja nasional berisiko kehilangan akses pasar utama akibat hambatan administratif maupun teknis yang tidak terantisipasi.
Sumber Data: SunSirs, CUSteel, SteelMint, Fastmarkets, Eurometal, Steel Market Update (SMU), AISU, Argus/Platts, TradingEconomics, AustralianSteel.com, LME, SFM.