Hot News: Baja Global 2026 Mulai Pulih

Jakarta, 16 Oktober 2025 — The World Steel Association (worldsteel) pada 13 Oktober merilis Short Range Outlook (SRO) untuk 2025–2026. Pada 2025, permintaan diperkirakan tetap (flat) dibanding 2024 di sekitar 1.750 juta ton; pada 2026, diproyeksikan pulih moderat sebesar 1,3 persen sehingga mencapai 1.773 juta ton. Worldsteel menyatakan prospek ini ditopang resiliensi ekonomi global, kekuatan investasi infrastruktur publik di sebagian besar ekonomi utama dunia, dan ekspektasi pelonggaran kondisi pembiayaan. Di sisi lain, worldsteel menegaskan adanya hambatan berupa biaya produksi yang masih tinggi dan daya beli, meningkatnya tensi dagang yang menekan ekspor barang padat-baja (steel-intensive goods), serta ketidakpastian geopolitik yang menekan kepercayaan pelaku ekonomi.

Menurut WSA, di Tiongkok permintaan masih turun sekitar dua persen pada 2025. Penurunannya melambat menjadi sekitar satu persen pada 2026 seiring stabilisasi pasar perumahan. Risiko proyeksi tetap condong turun karena kondisi perdagangan global yang menantang dan ruang fiskal daerah yang terbatas.

Di negara berkembang di luar Tiongkok, pertumbuhan kuat. Laju permintaan diperkirakan 3,4 persen pada 2025 dan 4,7 persen pada 2026. India menjadi motor utama bersama sejumlah negara ASEAN dan MENA.

Untuk India, WSA menilai permintaan “melaju”. Pertumbuhannya sekitar sembilan persen pada 2025 dan 2026, didorong kenaikan di hampir semua sektor pengguna baja. Level 2026 diproyeksikan hampir 75 juta ton lebih tinggi dibanding 2020.

Di Eropa, permintaan naik 1,3 persen pada 2025 dan 3,2 persen pada 2026. Dorongannya berasal dari inflasi yang lebih rendah, pelonggaran kredit, perbaikan pendapatan riil, serta belanja infrastruktur dan pertahanan.

Di Amerika Serikat, permintaan rebound 1,8 persen pada 2025 dan tumbuh 1,8 persen lagi pada 2026. Kenaikan 2025 ditopang penyesuaian produksi menghadapi tarif yang lebih tinggi dan belanja infrastruktur yang berlanjut. Pada 2026, permintaan didorong kebutuhan perumahan, investasi swasta, kemudahan pembiayaan, dan turunnya ketidakpastian.

Untuk kelompok ekonomi maju secara keseluruhan, WSA memperkirakan kontraksi 0,5 persen pada 2025. Pada 2026, kelompok ini pulih 1,5 persen. Uni Eropa dan Amerika Serikat diproyeksikan menyentuh titik terendah pada 2025 lalu tumbuh moderat setelahnya, sementara Jepang dan Korea tetap lesu.

Di Afrika, konsumsi yang lama datar di kisaran 35–40 juta ton mulai bangkit sejak 2023. Rata-rata pertumbuhan sekitar 5,5 persen per tahun dan diperkirakan mencapai sekitar 41 juta ton pada 2025.

Di Amerika Tengah dan Selatan, pertumbuhan sekitar 5,5 persen pada 2025. Pemicunya rebound dua digit di Argentina dan kenaikan sekitar lima persen di Brasil melalui program perumahan sosial. Meski demikian, level kawasan masih sekitar dua juta ton di bawah 2013.

Beberapa analis menilai prospek harga 2026 akan membaik sejalan dengan pemulihan permintaan global yang terfragmentasi secara regional. Eropa berpeluang memimpin kenaikan harga baja secara bertahap berkat normalisasi stok, disiplin impor, dan membaiknya pembiayaan; Amerika Serikat cenderung mempertahankan level harga premium karena proteksi dan dorongan proyek infrastruktur; sementara di Asia, harga berpotensi tertahan lebih lama hingga destocking selesai dan muncul tanda pemulihan permintaan di Tiongkok. Dengan demikian kenaikan harga baja tidak seragam lintas kawasan dan sangat sensitif terhadap dinamika perdagangan.

Di atas semua itu, OECD memperingatkan kelebihan kapasitas global tetap membesar akibat proyek ekspansi yang berjalan dan direncanakan—mayoritas di Asia—yang melebihi laju pertumbuhan konsumsi beberapa tahun ke depan. Kesenjangan kapasitas–permintaan yang tinggi berisiko menahan utilisasi pabrik dan mengikis pemulihan margin, bahkan ketika volume permintaan naik pada 2026. Dalam konteks ini, ekspor Tiongkok menjadi variabel penentu karena selisih kapasitas dan lemahnya sektor properti mendorong pengalihan pasokan ke pasar ekspor; apabila produksi domestik tidak disesuaikan dan ekspor tetap agresif, tekanan harga akan bertahan di Asia dan merembet ke kawasan lain, sehingga pemulihan mudah rapuh. Sebaliknya, keberhasilan menahan ekspor melalui penyesuaian produksi, pengelolaan stok, dan kebijakan yang konsisten akan memperkuat peluang kenaikan harga yang lebih berkelanjutan, terutama di Eropa dan Amerika Serikat.

Bagi Indonesia, arah 2026 cenderung positif, tetapi sangat bergantung pada realisasi proyek infrastruktur dan proyek strategis nasional serta percepatan pertumbuhan manufaktur. Ekspor stainless tetap menjadi penopang, sementara baja karbon domestik sangat peka terhadap arus impor dan pergerakan harga ekspor Tiongkok. Jika disiplin pengelolaan kelebihan kapasitas global tidak membaik, proteksionisme global menguat, dan ekspor Tiongkok bertahan tinggi, maka ruang kenaikan harga di pasar domestik menyempit dan pemulihan utilisasi mudah tergerus. Sebaliknya, bila ekspor Tiongkok mereda dan kebijakan pengamanan pasar serta kebijakan peningkatan daya saing industri dijaga konsisten, permintaan di Indonesia berpeluang tumbuh lebih solid dan margin industri lebih terlindungi.